E-M-P-A-T

84 14 3
                                    

Nirina mendadak merasa menjadi gadis paling dungu karena ia mau-mau saja dibawa Rama ke apartment sang dokter tajir. Super Penthouse, unit paling prestisius di The Voily Apartment, diluncurkan dalam jumlah sangat terbatas, hanya 4 unit dalam 1 lantai. Berada di lantai tertinggi, yaitu 72 atau lebih tepatnya di pucuk gedung.

Ini gimana caranya lari dari sini kalo posisi kami ada di puncak gedung? Woyla, aku salah pilih target!

"Karen, kok bengong?" panggil Rama setelah membuka pintu dan masuk lebih dulu. "Yuk, kamu bisa pakai kamar mandi, atau langsung di kamar utama."

"U-untuk apa?" tanya Nirina bego.

Rama mengangkat tangannya yang masih memegang paper bag berisi lingerie yang tadi Nirina pilih. "Untuk mencoba ini, 'kan?"

Nirina hanya mengangguk lemas sambil mengambil paper bag yang Rama ulurkan. Ia masuk ke apartment, mengekori si pemilik.

"Are you okay?" Rama bertanya karena wajah Nirina tampak pucat pasi.

Nirina membalas, "O-okay, kenapa juga nggak okay? Di mana toiletnya?"

Rama menunjuk arah kamar utama. "Pakai aja toilet di dalam kamar itu."

Dengan dada berdentum Nirina masuk ke sana. Pikirannya terus berperang dengan hatinya.

Nih udah terlalu jauh, Na. Jangan lanjutkan!

Halah, baru gini doang. Jangan gentar! Lanjutkan Nirina! Kamu bisa!

Nggak ada untungnya kamu lanjut, terlalu bahaya. Cepetan pergi dari sini!

Udah deh, jangan cemen. Rama cuma penasaran, abis lihat badan Nirina yang tepos, dia pasti nggak nafsu buat lanjut.

Tangan Nirina meraba dada, memang tak besar, bahkan lebih besar ukuran bakpao dua ribuan yang biasa dijual di depan sekolah-sekolah. Tangan yang lain kemudian meraba pantatnya, tak semok juga. Satu-satunya kelebihan Nirina hanya tinggi dan langsing, tapi ia tak yakin tubuh seperti itu layak dipertontonkan.

Yakin Rama nggak akan nafsu buat lanjut? Gimana kalau ternyata Rama suka? Toh badan Nirina nggak jelek-jelek amat, malah bagus kayak Idol K-Pop.

Ya nggak gimana-gimana, kalau emang Rama suka ya biarin aja. Toh nggak rugi juga kalau Nirina hamil anak Rama. Doi tajir melintir, bisa menjamin kesejahteraan Nirina dan keluarga.

Jangan ngaco deh, mana mau orang seperti Rama tanggung jawab ke cewek miskin kayak Na. Yang ada abis dipake, dibuang.

"Cukup!" Nirina menghentikan imajinasinya berdebat liar dan semakin liar. "Aku akan lanjutkan, karena Rama cuma penasaran. Seperti kata Karen."

Buru-buru Nirina melepaskan pakaiannya, berganti dengan baju haram yang tadi ia beli. Meskipun gugup parah dan tidak percaya diri, Nirina tetap melakukannya, demi 29 juta yang masih belum dibayar oleh Karen.

Ia berjalan mengendap-endap seperti maling. Kedua tangannya menyilang ke dada. Nirina mengeluh orang gila mana yang menciptakan lingerie dengan bahan menerawang dan dijahit begini ketat sekali. Puting Nirina yang cuma sebesar biji pepaya bisa tampak menyempul jelas. Sungguh memalukan. Untung saja bagian bawah tertutup rumbai-rumbai renda.

Gini amat nyari duit. Batin Nirina mengeluh.

Belum cukup waktu bagi Nirina menenangkan diri serta mempersiapkan batin untuk memamerkan tubuhnya yang hanya berbalut pakaian kurang bahan, sebuah tepuk tangan menggema di kamar mewah itu.

Prok prok prok prok prok ....

Rama dengan tatapan kagum mengapresiasi pemandangan di hadapannya lewat tepukan meriah. "Luar biasa, Karen. Coba turunkan tangan kamu yang ngehalangin itu deh."

Dikerjain Mas DokterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang