D-E-L-A-P-A-N

72 12 1
                                    

[Rama Surya Tjandra] Love, lagi apa?

[Rama Surya Tjandra] Love, sibuk banget ya?

Nirina pikir kesibukan Rama akan membuat pria itu menghilang dari hidupnya untuk beberapa hari. Ternyata tidak demikian. Penampakan Rama memang tidak muncul ke hadapan Nirina, tapi pesan dan panggilan dari pria itu masih menghantui waktu-waktu damainya.

[Nirina] Lagi makan, Mas.

[Rama Surya Tjandra] Boleh call g? Mumpung aku longgar, nih

Belum sempat Nirina menuliskan balasan, sebuah panggilan video dari Rama masuk ke ponselnya.

Duh, ngapain sih nih orang pake video call segala?

Dengan berat hati, Nirina menggeser ikon gagang hijau. Terpampanglah wajah tampan Rama yang tampak begitu lelah. Rambutnya lepek, tidak seperti biasanya yang selalu tertata rapi dan wangi. Di belakang Rama terlihat ada ranjang bertingkat dan beberapa jas dokter yang tergantung.

"Mas Rama lagi di mana, tuh?" tanya Nirina kepo.

[Lagi di ruang residen, Love. Aku kangen banget tau. Kamu lagi makan siang apa?]

Nirina sebenarnya agak enggan memamerkan bekalnya. "Nih, nasi goreng dingin. Pagi ini spesial, agak gosong. Soalnya ada cowok yang terus ngirim chat. Aku jadi nggak konsen nyiapin bekal."

Mendapat cibiran seperti itu Rama pun terbahak.

[Hahaha. Maafin cowok ganteng ini, ya. Gimana kalau aku pesenin makan siang aja sebagai gantinya?]

"Nggak usah, Mas. Saya udah mau selesai, kok, udah hampir kenyang."

[Hebat, lho, kamu. Ribet kuliah, tapi masih sempat menyiapkan bekal. Ntar pas kamu ke apart, aku mau dong dimasakin sama kamu.]

"Yakin? Masakan saya nggak layak dimakan manusia, lho, Mas," bohong Nirina.

[Yakin-yakin aja, sih. Selama yang bikinin kamu, aku percaya rasanya pasti enak. Kamu di mana sih, Love, kok belakang kamu banyak semak-semak gitu?]

"Saya lagi di halaman samping lab."

[Hah? Bukannya di sana tempat petugas lab nguburin mayat-mayat bekas praktikum, ya? Ngapain makan di sana? Ngeri banget!]

Dengan insecure, Nirina menjawab, "Saya malu aja makan bareng yang lain. Bekal saya ala kadarnya. Kadang kalau nggak sempet bikin bekal, saya cuma jajan gorengan atau cilok buat ganjal perut. Menyedihkan, ya?"

Tutur kata Nirina menusuk hati Rama. Rasa nyeri itu menjalar cepat dan kuat. Rama bukan kasihan pada nasib miskin Nirina. Ia merasa sedih pacarnya hidup seperti itu, harus-sembunyi-sembunyi agar tidak memperlihatkan kondisinya yang serba kekurangan.

[Ya, tapi ngumpetnya jangan di tempat seekstrem itu, dong. Ngumpet di hati aku, kek.]

"Iiih, Mas Rama!"

[Besok jadi kan ke apart?]

Nirina mengangguk. "Tapi abis magrib ya, Mas. Saya ada kuliah sampai sore soalnya."

[Oke, yang penting pastikan kamu datang.]

"Udah ya, Mas. Saya tutup dulu."

[Jangan, dong! Aku masih kangen, Love. Aku tuh baru menikmati senengnya punya pacar lagi setelah sekian lama, jadi kamu yang pengertian, dong, kalau aku kemaruk sama kamu.]

"Emang Mas Rama lama nggak pacaran?"

Rama mengangguk yakin. [Udah lama banget.]

"Kapan terakhir punya pacar?"

Dikerjain Mas DokterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang