Nathaniel Olivier

71 43 186
                                    

⚠️Warning! Adegan kekerasan!⚠️
Mohon bijak dalam membaca, segala hal yang tertulis dalam cerita ini hanya fiktif belaka untuk hiburan semata.
Bukan untuk ditiru apalagi di coba!
16+
.
.
.
.
.
.
.
.

Rafael benar-benar terisak sendirian di dalam ruangan perawatannya, apa yang dilakukan orang-orang itu pada kehidupannya? Semua yang dimilikinya sudah tidak ada.

"Kenapa aku tidak ikut mati bersama dengan mereka?" lirihnya sebari menjambak rambutnya di sudut ruangan.

Dengan penuh keraguan, Kin berusaha masuk kedalam kamar Rafael. Sontak penghuni kamar tersebut tersentak kaget dan mencoba menjauhkan diri dari Kin.

"STOP! Jangan dekati aku lagi! Aku tidak ingin kau mati seperti yang lain ... aku ... aku tidak mau ditinggal lagi!" teriaknya histeris dengan wajah pucat, mata yang sembab dan pipi yang dibasahi air mata.

"Rafael, aku tidak akan mati."

Namun, seberapa banyak Kin melontarkan kata-kata untuk menenangkannya, Rafael tetap bergumam sendiri.

Kin memegang kedua bahu temannya itu dan menatap Rafael dalam, sepersekian detik tatapan tajam dari Kin berhasil membuat Rafael terdiam dan berhenti menangis dan meronta.

"Aku tahu ini berat, tapi sampai kapan kau akan terpuruk dan membunuh dirimu sendiri secara perlahan?" Kin terus menatap mata yang penuh dengan rasa marah, sedih dan dendam itu.

"Aku tidak tahu siapa yang bersalah atas kematian keluargamu dan Vani sahabat kita. Tapi yang aku tahu, semua ini pasti ada hubunganya denganmu! Perbaikilah sekarang, atau tidak sama sekali!"

Kin meninggalkan kamar Rafael dan duduk di kursi tunggu, ia sempat menetralkan rasa bingung dan sedihnya yang bercampur itu.

Tling!

Mendapat notifikasi dari ponselnya, Kin menatap layar benda persegi panjang itu dan beranjak dari rumah sakit. Ia mengetik sebuah nama di ponselnya dan mulai menghubungi orang tersebut.

"Ayah, aku butuh kendaraan pribadi sekarang. Maaf, jika aku melanggar aturan padahal umurku belum menginjak delapan belas tahun."

"Tidak perlu khawatir, besok kau boleh mengendarai sepeda motor yang akan aku belikan untukmu, anakku."

"Terimakasih, maaf aku selalu merepotkan." Iapun menutup sambungan teleponnya.

Kin sempat tersenyum kecil dan pergi menuju suatu tempat. Sepanjang perjalanan, matanya lagi-lagi berusaha mencari siapa kira-kira yang terlibat dalam kasus pembunuhan kali ini.

"Lelucon macam apa ini? Seorang pembunuh mencari pelaku pembunuhan?" Kin menepis pikirannya tentang hal itu, hingga ia sampai di sebuah gedung tua yang sudah tidak terurus lagi.

Ia masuk dan pergi ke lantai 3 gedung itu, terlihat sekumpulan anak sebayanya bahkan lebih tua sedikit darinya berada disana.

Ketika Kin datang, mereka langsung berdiri dan sempat menundukkan badan mereka pda Kin.

"Keren ... Ku kira anak buah Rafael hanya kalian berempat." Kin menunjuk empat orang dengan seragam yang sama dengannya.

"Jadi ada urusan apa kau meminta kami berkumpul disini?" tanya salah satu diantara mereka.

"Siapa saja musuh Rafael?" tanya Kin langsung tanpa sebuah basa-basi.

"Kalau itu ... Terlalu banyak jika harus disebutkan satu-persatu. Tetapi, jika yang paling bermasalah dan hampir bertarung dengan taruhan nyawa dengan Rafael itu baru satu orang."

KINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang