🍁8

64 6 0
                                    

Meera masih setia berdiam diri di kursi kasir, setelah menyuruh para pegawainya pulang dan memasang papan closed di pintu depan kafe, wanita itu kini memandang sendu ke arah Vara yang masih enggan bergerak dari tempatnya, seakan tengah meratapi kepergian pria tadi.

Benar, sedari tadi Meera melihat semuanya. Mulai dari awal kedatangan Mark, lalu pertemuan antara Vara dan Hasa. Tentu saja Meera tahu siapa Hasa, karena hampir setiap hari Vara tak pernah absen membicarakan pria itu. Apalagi hampir setiap malam pria itu juga datang ke kafenya.

Meera beranjak dari tempatnya, lalu mengikuti Vara yang tadi terlihat memasuki dapur. Langkah Meera terhenti ketika melihat Vara berjongkok di pojokan bawah meja pantry, tubuhnya bergetar dengan kepala tertunduk membelakangi Meera.

Kedua tangan Meera mengepal, wanita itu menghembuskan napas kesal. Entah mengapa melihat Vara seperti itu membuatnya marah. Jika merasa sedih kenapa Vara tak menangis meraung saja? Kenapa harus membekap mulutnya sendiri dengan clemek agar tak bersuara seperti itu? Apa Vara sebegitu tidak inginnya orang lain tahu? Termasuk Meera?

Meera menghembuskan napas pelan, lalu berjalan menghampiri Vara dan menepuk pelan pundak wanita itu.

Vara berjengit, lalu menoleh dengan wajah sembabnya.

"Bisa nggak... sesekali kalau mau nangis di depan aku, jangan sendirian di pojokan kayak gini?"

Vara masih menangis, namun tetap tanpa suara. Wanita itu memegangi dada kirinya yang terasa sesak dan sakit. Meera sudah tidak tahan lagi, ditariklah wanita itu ke dalam pelukannya.

"Please, Var... kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan kayak gini. Udah, keluarin aja. Aku udah tutup kafenya kok, jadi nggak usah sungkan kalau semisal mau ngamuk sekalian. Aku temenin"

Akhirnya tangis Vara pecah, wanita itu menangis sesenggukan di pelukan Meera.

"Kamu masih punya aku. Jangan pernah merasa sendiri, oke?!" Akhirnya Meera juga ikutan nangis. Bener-bener nggak tega melihat Vara serapuh ini.

"M-Meera... "

"Iya, Var... aku di sini"

"M-Meera... a-aku cinta sama Hasa" kata Vara masih sesenggukan.

"Iya aku tahu"

"A-aku nggak mau dia pergi, Meera..."

"Kalau gitu jangan biarin Hasa pergi"

"T-tapi aku nggak pantes buat dia"

"Apa yang membuat kamu berpikir gitu sih, Var? Kamu pantes kok sama Hasa. Menurutku, Hasa juga cinta banget sama kamu"

"Aku jahat Meera... aku bukan wanita baik-baik"

Meera semakin bingung, namun dia tak berani untuk bertanya.

"Aku nggak masalah jika setelah ini kamu juga akan pergi ninggalin aku"

"Vara..."

"Aku... demi uang, a-aku menjual bayiku. A-aku jahat banget kan, Meera...?"

Meera membelalak kaget, namun wanita itu tak langsung buka suara dan membiarkan Vara melanjutkan kalimatnya yang tak lain adalah isi hati yang sudah lama wanita itu pendam sendirian.

Mungkin sudah saatnya Meera tahu.

•🍁🍁🍁•


Hasa menikmati makanan yang tersaji di meja itu dengan santai, mengabaikan pandangan aneh orang di sekitarnya, juga teguran Jinan yang sedari tadi menyikut pundaknya.

Bagaimana tidak, sementara para rekan kerja sedang berdiri menyambut kedatangan tamu penting, yang tak lain adalah Pak donatur dan istrinya, Hasa malah asik sendiri menyantap makanan di depannya, bahkan Pak direktur saja belum sempat mencicipi makanan tersebut barang seujung sendok pun karena pria tua itu juga ikut menyambut kedatangan dua tamu penting yang baru datang itu.

Setia[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang