🍁10

70 4 0
                                    

Vara memutuskan pulang saja meski dengan tangan kosong. Hari ini dia tidak berhasil mendapat pekerjaan, juga sedikit sial karena bertemu dengan pria asing yang menurutnya gila.

"Mau minjem rahim katanya? Itu cowok bego apa gimana sih? Kenapa nggak nyari istri aja kalau mau punya anak? Astaghfirulloh, ingin ku memaki dan menjotos wajahnya!!! Aish..." Vara mengacak rambutnya frustasi.

Gadis itu menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan begitu sampai depan pintu rumah.

"Assalamualaikum, Papa... " teriak Vara setelah mengetuk pintu.

Aneh. Padahal Vara berteriak cukup keras, kenapa Papanya belum juga membuka pintu? Padahal biasanya Vara baru mengetuk pintu sekali saja Papanya langsung muncul. Apa Papanya tidak ada di rumah?

Alhasil Vara membuka pintu mandiri yang untungnya tidak dikunci.

"Papa" panggil Vara karena belum juga menemukan Papanya. Biasanya kan jam segini masih tiduran di atas karpet sambil masang koyo di pinggangnya.

"Papa, kemana sih?" Gerutu Vara karena di kamar juga tidak ada. Alhasil Vara masuk kamar untuk mengambil baju ganti lalu keluar lagi dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Namun begitu membuka pintu kamar mandi, Vara dikejutkan oleh Papanya yang terbaring tak sadarkan diri di kamar mandi dengan kepala yang terluka dengan darah yang hampir mengering.

"PAPAAA!" Teriak Vara langsung berlari menghampiri Papanya.

Vara panik dengan air mata berlinang, namun ketika masih merasakan detak jantung di dada Papanya, Vara langsung berlari keluar untuk meminta pertolongan.

Namun sayang, Papa Vara tidak bisa bertahan sedikit lebih lama. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Papa Vara menghembuskan napas terakhirnya.

Vara menyeka air matanya, berusaha tetap tenang sebelum mengambil ponselnya. Dia ingin menelpon Hasa untuk memberi tahu keadaannya saat ini, juga ingin mengatakan kalau hatinya saat ini begitu hancur. Berharap sahabatnya akan datang dan memberi pelukan hangat lalu membisikan kata penenang untuknya.

Namun...

"Iya, Vara..."

"Hasa, kenapa?" Tanya Vara karena malah mendapati suara serak Hasa di seberang telepon. Dapat Vara pastikan kalau Hasa sedang tidak baik-baik saja dan mungkin pria itu sedang menangis?

"Vara... Bunda masuk rumah sakit. K-kata dokter kankernya tumbuh lagi. Aku takut Vara... Aku nggak mau kehilangan Bunda"

Mendengar tangisan Hasa membuat hati Vara semakin hancur. Akhirnya gadis itu mematikan sambungan teleponnya dan mulai menangis sesenggukan.

Sebenarnya Vara ingin memberi kata penenang untuk Hasa seperti biasanya, menghibur pria itu agar tidak patah semangat.

Tapi sekarang keadaannya berbeda. Bisa dibilang saat ini Vara lebih membutuhkannya, tapi gadis itu lebih memilih bungkam dan hanya bisa menangis sendirian untuk mengeluarkan rasa sesak di dadanya.

•🍁🍁🍁•

Tiga hari sudah berlalu sejak Papa Vara dimakamkan. Gadis itu tak bisa hanya berdiam diri dan terus meratapi nasib seperti ini. Vara masih ingat dengan jelas kalau ada hutang yang harus segera ia lunasi.

Setia[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang