Empat

651 92 9
                                    

Keesokan hari tiba begitu cepat. Beberapa pria dewas berwajah sangar datang. Menggiring Hali ke tempat yang berbeda dengan Taufan pergi. Orang-orang itu seperti membiarkan Taufan keluar kamar tanpa pengawasan. Tidak seperti dirinya yang terus diawasin.

Lalu seorang pria bertopi menghampiri. 

Dia berkata dengan tegas, "Di sini. Di tempat pelatihan ini. Semua perintahku adalah mutlak. Jadi, jangan sekali-kali kau berani membantah apalagi melawan, apa kamu mengerti!"

Hali mengangguk patuh, dalam hati mah dia mana peduli. Ia tidak merasa terintimidasi. Di tempat pelatihan sebelumnya telah membuatnya cepat beradaptasi disituasi seperti ini.

"Sampai lima tahun ke depan. Kau akan dilatih cara bertahan hidup. Latihan di sini harus lebih serius dari tempat pelatihan sebelumnya. Ingatlah kata-kataku ...

Bahwa, jangan percaya siapapun. Bahkan jika itu saudaramu sendiri. Tidak ada orang yang dapat kau percayai kecuali dirimu sendiri. Bahkan disepanjang hidupmu!"

Bersamaan dengan perkataan itu mereka menyuruhnya berdiri menghadap tembok. Lalu menguji daya tahan tubuh dengan cara menyiram Hali menggunakan selang air dari dua sisi selama berjam-jam sampai ia menggigil kedinginan.

Setelah itu, Hali diperiksa kesehatan oleh seorang dokter ilegal. Sore harinya, Hali mendapati lengan kanannya diberi tato berbentuk barcode seperti yang dimiliki Taufan.

Di malam setelah kembali dalam kamar, Hali merasa tubuhnya menggigil. Siraman air yang dingin dan tato di lengannya yang masih terasa perih serta berdenyut membuatnya pusing.

Malam itu pun, Hali memutuskan untuk tak jadi membujuk Taufan karena ia perlu mengistirahatkan tubuhnya. 

Ia tidur meringkung menghadap tembok, berusaha menghangatkan tubuh. Selimut yang disediakan dalam kamar itu terlalu tipis. Rasanya angin malam yang datang dari ventilasi udara di lubang kecil atas sisi tembok kamarnya terasa menusuk kulit. Membuatnya semakin menggigil kedinginan.

Namun, Hali sempat terkejut ketika selembar selimut lain terlempar melapisi selimutnya. Ia menoleh ke belakang.

Taufan ternyata sedang berdiri di sisi ranjangnya. Masih dengan ekspresi dingin. Seulas senyuman datar terukir.

"Dengar, aku berubah pikiran."

Hali melempar tatapan bingung. Dan Taufan kembali melanjutkan perkataannya. "Ayo kita berjuang bersama untuk keluar dari sini. Lalu bertemu dengan Gempa dan Ibu."

Entah apa yang mendorong Taufan sampai berubah pikiran dengan cepat. Meski ada sebersit rasa curiga yang hinggap dalam hati, tapi Hali mencoba menepisnya. 

..

.

Pagi hari tiba. Semua anak-anak yang ada di dalam kamar secara serentak buru-buru keluar setelah mendengar bel berdering nyaring. Hali yang tidak tahu apa-apa hanya mengikuti Taufan.

Mereka berbaris rapi saling berhadapan satu sama lain. Berbaris di lorong kamar. Lalu seorang pria bersenjata datang lagi memberi aba-aba untuk berhitung.

Seorang pria yang sebut saja dia bernama Retakka. Orang yang kemarin menyiram Hali dengan selang air sekaligus menato lengannya dengan menyakitkan.

Retak'ka memberi perintah latihan di hari itu. Seperti melakukan push up dengan beban 50 kg di punggung mereka, lalu berjalan merayap melewati kawat besi berduri.

Kemudian siang sampai sorenya mereka semua berlari berpuluh-puluh putaran mengelilingi lapangan luas. Tidak boleh berhenti. Sekalinya ada yang berhenti maka akan mendapat hukuman berupa cambukan.

"Cepat lari lagi! Siapa yang menyuruhmu berhenti, bodoh!" Retak'ka berseru murka sambil menyabeti punggung salah satu anak yang tampak kelelahan.

"Huh, kejam sekali si muka tanpa hidung itu," dengus Hali merasa kasihan pada anak yang jatuh tadi ditengah laju larinya. Ia juga sama capeknya, tapi masih sanggup berlari meskipun kakinya mulai menjerit minta berhenti.

"Yaa, begitulah keadaan di sini." Taufan selangkah di depannya ikutan bergumam.

Diputaran berikutnya, Halilintar merasa kakinya sudah tidak sanggup lagi. Ia terjatuh dengan napas memburu. Keringat berkucuran deras membasahi kaus lengan pendeknya. 

Retak'ka tentu tak tinggal diam. Pria kasar itu menghampiri. Cambuk di tangannya digenggam erat siap digunakan.

"Heh, berdiri! Tidak ada waktu untukmu beristirahat!"

Ctak!

Satu cambukkan mengenai punggung, membuat Hali tersentak. Ia menoleh ke arah Retak'ka sambil melempar tatapan kesal. Menurutnya semua latihan ini berlebihan. Lebih kejam daripada latihan di tempat sebelumnya. 

Pria itu pun menaikkan sebelah alisnya. Wajahnya berkerut tidak suka. "Apa?! Kenapa menatapku seperti itu? Mau menantang?"

Sebelum Hali berniat membalas, Taufan datang. Adiknya itu segera berlutut di hadapan Retak'ka sambil membungkukkan kepala. "Tolong maafkan dia! Sebagai gantinya, biarkan aku yang mengatasi."

Lalu Taufan berdiri setelah mendapat decihan sinis dari Retak'ka. 

Taufan berbalik, dia berjongkok dan menunjuk punggungnya pada Hali.

"Cepat naik ke punggungku. Aku akan menggendongmu!"

Halilintar tentu terkejut. Padahal Taufan tak perlu melakukan ini demi dirinya. "Eh, tapi—"

"Cepat naik!!" Taufan memaksa.

Pada akhirnya Hali pun menurut dengan terpaksa. Taufan kembali melanjutkan larinya. Sempat membuat Hali merasa takjub. Bisa-bisa Taufan masih memiliki tenaga setelah latihan ekstrim sejak tadi pagi.

"Selama berada di tempat ini, kita harus saling menolong," ucap Taufan yang membuat Hali merasa kepribadian Taufan mulai kembali seperti dulu. 

. .

.

"Apa tidak ada jalan lain untuk kita kabur dari tempat ini?" 

Malamnya, ketika mereka berada dalam kamar, Hali membuka suara.

Taufan menggeleng. "Tidak ada. Retakka membawa lima puluh pasukkan bersenjata yang tersebar di tempat ini. Satu-satunya jalan keluarnya adalah mengikuti latihan selama lima tahun. Kalau sudah lulus, kita akan dikeluarkan," jelasnya panjang lebar.

"Kau yakin? Mereka akan mengeluarkan kita setelah lulus begitu saja?" tanya Hali ragu. Merasa kalau tujuan mereka dilatih selama bertahun-tahun tidak mungkin akan dibebaskan dengan semudah itu.

Taufan menggeleng. "Bukan. Maksudku. Kita hanya akan keluar dari tempat ini. Mereka juga terus mengawasi, tapi dari kejauhan."

Hali menunduk kesal. "Sabenarnya ini tempat apaan sih?! Mereka hanya menyiksa saja."

"Tempat ini dulunya adalah sebuah penjara, sekarang dijadikan pabrik," jelas Taufan. 

"Huh, pabrik?" beo Hali bingung. Bukannya sekarang dijadikan tempat pelatihan?

"Iya sebuah pabrik … pabrik yang mengubah kita menjadi seorang pembunuh."

Hali tercengang. Ia mendudukkan diri di atas ranjang. Bersandar pada tembok menghadap Taufan yang juga sedang duduk di sisi ranjang sambil bersidekap.





..
..











.
.




Potkom ea guys.. thanks u

Would-be-murdererTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang