Dua belas

557 83 11
                                    

Baik Gempa maupun Hali, mereka sama-sama bergerak ketika dua orang itu rupanya membawa pistol jenis AK-12. Dan tanpa ba-bi-bu, seperti pembunuh sebelumnya, mereka langsung memuntahkan isi pelurunya.

Gempa dan Halilintar sama-sama bergerak gesit, menghindari tiap serangan.

Dor!
Halilintar menyempatkan diri untuk membak. Isi peluru pisaunya hanya tinggal satu dan itu tepat mengenai dada salah satu pembunuh tersebut. Pelurunya sudah tak tersisa. “Peluruku habis.”

Dor! Dor! Dorr!!
Melihat kawannya mati dengan mudah, membuat si pembunuh berbaju serba hitam lainnya menggeram marah. Menembakkan pistolnya dengan brutal. Sukses membuat Gempa dan Halilintar kuwalahan.

"Masuk ke dalam kamarku!" seru Gempa mendorong Hali memasuki kamarnya.

Dor! Dor!! Dorr!!
Tiga lubang peluru terukir di daun pintu kamar.

"Tidak ada pilihan lain, kita harus menyingkirkan pistolnya dan serang dia menggunakan pisauku!" kata Hali menyusun rencana sambil berdiri di belakang tembok samping pintu kamar Gempa.

Gempa menggeleng. "Bagaimana kalau masih ada banyak pembunuh lain lagi yang bersiap berdiri di sekitar lorong apartemenku?"

Benar juga. Hali perlu berpikir ulang. Tidak menduga kalau Kikita akan mengirim pembunuh bayaran sebanyak ini. Biasanya hanya satu orang saja.

Dor! Dorr! Dor! Dorr!
Serangan tembakan tak berhenti. Si pembunuh pun mencoba mendorbrak-dobrak pintu kamar.

"Kita pergi lewat jendela saja!" kata Gempa beranjak menuju jendela kamarnya sambil mengotak-atik hapenya sejenak tuk menghubungi bantuan pada Solar.

"Maksudmu kau mau melompat turun? Ini lantai tiga!" Hali tampak tidak setuju.

"Memangnya kenapa? Ini cuma lantai tiga.. Apa kau takut ketinggian?" tanya Gempa membuka jendela kamar dan bersiap melompat.

Tanpa perlu menunggu jawaban Hali, Gempa langsung saja melompat. Dia turun dengan memijaki genting balkon kecil lantai dua, lalu berpijak dengan sempurna di atas tanah. Gempa menengadah, menatap Hali yang tampak ragu untuk melompat juga.

Gempa pun menjulurkan kedua tangannya kedepan. Sambil tersenyum kecil, ia berkata, "Ayo lompat saja, kak. Aku akan menangkapmu!"

Hali rolling eyes.. “Astga, yang benar saja."

Hali menengok ke belakang. Melihat daun pintu kamar hampir jebol. Sebelum pintu itu terbuka, Halilintar segera mengikuti jejak Gempa.

Sebelumnya ia tidak pernah nekat melompat dari lantai tiga yang lumayan tinggi. Ia mengikuti gerakan Gempa tadi meski agak kaku. Hali berhasil berpijak tepat di samping Gempa.

Ketika Hali mencoba berdiri, pergelangan kakinya malah terkilir. Mungkin karena ini kali pertamanya lompat dari lantai tiga. "Aduh, kakiku."

Gempa berkacak pinggang. "Kakimu pasti terkilir. Makanya kan tadi aku bilang untuk lompat saja ke arahku. Aku bisa menangkapmu."

Hali mendengus. "Sudahlah. Kita harus pergi dari sini."

“Kakimu bagaimana?” tanya Gempa kemudian.

Hali berdiri lalu menggerakkan kakinya yang tadi sempat terkilir. “Masih bisa digunakan buat lari.”

“Yakin?”

“Iya.”

“Kalau begitu kita pergi ke arah sana. Aku sudah menghubungi temanku tuk minta bantuan. Ayoo!” Gempa menuntunnya berlari ke arah jalan sempit.

Dari arah jendela kamar Gempa, si pria bersenjata ternyata tidak sendirian. Ada seseorang yang bersamanya. Sepertinya baru datang, atau baru menunjukkan diri. Seseorang itu menggunakan sebuah masker.

“Bagaimana ini bos? Kejar mereka terus?”

Seseorang yang menggunakan masker itu menggeleng. “Cukup sampai di sini. Mereka berdua biar aku saja yang kejar.”

“Ok, kalau begitu kami pergi,” ucap orang itu meninggalkan seseorang tersebut sendirian.

“Iya pergi saja sana. Jangan ganggu reoni keluarga kami,” gumamnya. Kedua mata birunya tertuju pada sebuah foto yang diletakkan di atas meja kecil di samping ranjang kamar tersebut. Sebuah foto seorang wanita yang sedang memeluk ketiga anak kembarnya.

..
.

Sementara itu Gempa dan Hali masih berlarian. Mereka harus menjauh dari sana.

“Ke arah sini.. “ seru Gempa memimpin jalan.

Dan mereka berhenti pada sebuah mobil yang baru saja datang. Kaca bagian pengemudi terbuka, menunjukkan sosok Solar yang lagi nyetir.


..

"Untung kau datang tepat waktu,” gumam Gempa setelah memasuki mobil. Ia duduk di samping Solar yang langsung tancap gas. Halilintar duduk di belakang mereka.

“Solar, sementara ini kita sembunyi di apartemen Hali saja gimana?” Kata Gempa lagi.

Tapi Solar menggeleng. “Lebih baik jangan. Di kota ini sudah tidak aman." Solar melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.

“Kalau begitu kita mau pergi ke mana?”

"Kita akan pergi ke L-02."

Gempa menyergit. "Heh, tempat apa yang kau maksud? Di mana?"

"Itu nama pabrik persenjataan. Letaknya di kota sebelah.”

“Untuk apa kita ke sana?”

“Ada seseorang yang ingin menemui kalian.” Solar bilang gitu sambil tersenyum misterius.

Gempa dan Hali saling pandang. Gempa pun tanya lagi. “Siapa?”

“Sabenarnya ini sangat mendadak sih, tapi nanti kalian juga tau sendiri. Oia, silakan ambil senjata yang sudah kupersiapkan di belakang. Pilih saja yang kalian suka."

Gempa mengangguk. Ia mengajak Hali menuju kursi paling belakang. Dan mereka berdua mendapati berbagai jenis senjata api. Seperti berbagai pistol keluaran dari Rusia, bazoka dan kotak-kotak peluru.

"Hebat. Gercep juga kamu ya, Solar. Kau yang mempersiapkan semua ini sendiri?" tanya Gempa sambil memilih senjatanya.

Sedangkan Hali menatap takjub semua persenjataan tersebut. "Senjata-senjata ini … Orang biasa tidak akan mudah mendapatkan senjata-senjata begini."

Hali menoleh kepada Solar dengan curiga. "Apa kau seorang pengedar senjata ilegal?"

Solar membalas dengan seringai tipis. "Mungkin?"

"Solar hanya seorang hacker, sekaligus merangkap sebagai seorang informan. Ia punya banyak relasi, jadi jangan heran kalau dia bisa mendapatkan semua ini." Gempa menjelaskan. Tangannya sibuk memilih senjata yang cocok untuknya.

"Solar?" Hali merasa tidak asing dengan nama teman Gempa itu. Ia seperti pernah bertemu, tapi lupa dimana.

Seperti tahu dengan isi pikiran Halilintar, Solar melirik sekilas dari kaca depan. "Kau ingat aku? Kita pernah sekamar waktu di mes pelatihan.”

Solar sendiri masih ingat dengan sosok Halilintar waktu mereka di mes dulu. Meski waktu itu mereka hampir tidak pernah berinteraksi, namun Solar tak lupa pernah sekamar dengan Hali.

"Ah, kau Solar yang itu?" Halilintar baru mengingat Solar setelah beberapa menit mikir-mikir dulu. "Kau sangat beruntung. Kupikir kau sudah dibunuh dulu."










.
.
.

Would-be-murdererTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang