Sembilan

541 79 8
                                    

Lima belas tahun setelah kejadian waktu Taufan dan Hali dibawa oleh orang-orang brotherhood..  seorang wanita bersama anaknya yang masih berusia tak lebih dari sepuluh tahunan mendatangi sebuah rumah sederhana di kepulauan pulau Rintis.

Wanita itu berwajah sembab. Matanya membengkak seperti habis menangis selama berhari-hari. Pakaiannya kotor dan rambutnya kusut. Anaknya yang masih kecil pun terlihat bernasib sama.
Mereka berdua baru saja melakukan perjalan jauh meninggalkan desanya yang tidak aman.

"Ayah, aku sudah tidak bisa menjaga anak-anakku lagi. Aku mohon bantulah aku," kata wanita itu mulai sesegukan pada seorang pria tua. Namanya Tok Aba, dia itu kakeknya Gempa, Hali, Taufan.

Tok Aba menyergit. Mata tuanya melirik cucunya yang tampak kurus dan murung.

Iya si wanita itu adalah ibunya ketiga bersaudara tersebut. Wanita itu datang bersama Gempa kecil.

Lalu tok Aba bilang lagi, "Kenapa kau berkata begitu? Kemana dua cucuku yang lainnya?"

"Aku tidak bisa menjaga mereka. Mereka dibawa oleh sekumpulan pria-pria bersenjata." Bayangan kedua anaknya yang sudah dibawa pergi membuat wanita itu tidak tahan menangis sesegukan. Satu-satunya anak yang masih selamat disisinya didorong kehadapan tok Aba. Wanita itu berkata lagi, "Tolong jaga anakku, Gempa."

Setelah itu wanita yang ternyata ibunya Gempa itu pergi kembli ke desa, alih-alih ikut tinggal bersama tok Aba. Bukan tanpa alasan, wanita itu tidak mau tinggal bersama ayah mertuanya karena tok Aba adalah seorang sniper dan mantan ketua gengster. Wanita itu tak ingin berurusan dengan dunia gelap, karena musuhnya pasti banyak serta berbahaya. Makanya ia memilih untuk tinggal di desa terpencil bersama anak-anaknya.
Dia tidak menduga meski sudah tinggal jauh dan tak mau berurusan dengan dunia gelap, namun tetap saja keluarganya diincar oleh orang-orang itu. Karena itulah wanita tersebut menyerah.

Semenjak saat itu Gempa tak pernah melihat ibunya lagi. Dia hanya sempat mendengar kalau wanita itu sering sakit-sakitan dan akhirnya meninggal.

Selama tinggal bersama tok Aba, Gempa dilatih banyak hal. Fisiknya tumbuh cepat, tok Aba selalu memastikan gizinya terpenuhi. Gempa juga menjadi anak yang pintar. Nilai-nilai sekolahnya tinggi. Ia diajari cara memegang pistol sebagai hadiahnya oleh tok Aba.

Semenjak saat itu juga Gempa belajar beladiri tinju. Dan ternyata ia memiliki bakat dalam bertinju. Kemampuan bertinjunya amat mengagumkan. Fisiknya juga terlatih.

Gempa menyelesaikan pendidikannya dengan cepat karena mengikuti kelas akselerasi. Disana ia bertemu dengan Solar yang mengajaknya bekerjasama dalam misi memusnahkan para pembunuh bayaran yang meresahkan masyarakat sekaligus menghabisi beberapa gengster.

Solar yang handal mencari data seseorang dengan cepat dan Gempa berperan menjadi pihak yang mengeksekusi. Mereka melakukan pekerjaan itu secara diam-diam. Gempa menyamar jadi seorang detektif dan Solar menyamar jadi anak gamers. Tidak ada yang tau identitas asli mereka berdua.

..
.

Kembali ke waktu sekarang..

Pagi hari tiba dengan cepat, Gempa mendapati notifikasi pesan dari Solar. Ia berjalan dengan langkah berjinjit pelan agar tidak membangunkan Hali yang masih tiduran.

"Gempa, mau kemana?"

Baru saja beberapa langkah, Hali tanpa diduga menyadarinya.

"Mau pergi kemana kau sampai berjinjit-jinjit begitu?" tanya Hali lagi sambil menatapnya datar.

Gempa meringis. Ia menoleh sambil mengukir senyum tipis, "Memangnya kenapa? Apa aku tidak boleh pergi?"

Hali mengangguk. "Tidak boleh! Kau itu sedang diincar. Jangan keluar. Bahaya!"

"Tapi aku lapar. Stok makanku habis," jawab Gempa beralibi. Ia bahkan mengucapkan hal itu dengan nada merajuk. Tatapan tajam Hali membuatnya agak tidak nyaman.

"Gak! Pokoknya kau tidak boleh keluar!" Hali melangkah cepat menuju depan pintu keluar untuk menghalangi adiknya pergi.

Gempa berdecak. Ia merogoh selembar uang dari dalam kantung celananya. Lalu menyambar tangan kakaknya dan meletakkan uang kertas di atas telapak tangan Hali, trus bilang..
"Yasudah. Ini kau saja yang beli."

Hali pun menyergit bingung.
"Apa?! Kenapa harus aku yang beli?!" katanya tidak terima.

Gempa cemberut. "Tadi kau bilang aku tidak boleh pergi. Aku kalaparan dan ingin makan!"

Dahi Hali berkedut kesal. "Memangnya tidak ada makanan lain di dapurmu?"

"Kan aku sudah bilang, stok makanku habis.”

"Cih, yaudah aku saja yang beli! kau jangan sekali-kali keluar rumah ya! Pintu apartemanmu harus dikunci! Jangan biarkan orang lain masuk selain aku, mengerti!"

Gempa menganggukkan kepalanya. Hali pun pergi dengan menbanting daun pintu.

Setelah kepergian kakaknya, Gempa menggelengkan kepala. Mengingatkan sifat protektif kakaknya seperti waktu ia kecil. "Dia tidak berubah, tapi, kenapa jadi sensitif begitu ya?"

Meski dilarang keluar rumah, Gempa yang bandel tetap melangkah pergi setelah beberapa menit Hali keluar. Gempa berniat menemui Solar untuk mencari info lebih lanjut mengenai keberadaan kakaknya yang satunya lagi sekaligus memberi kabar gembiranya akan kedatangan Hali.

..
.

Dilain tempat, Kikita melaporkan sesuatu pada Retakka.

Retakka menggeram jengkel sebelum kemudian menyeringai. "Anak itu mulai membangkang. Sudahlah, habisi saja dia. Lagipula kita sudah punya yang lebih berguna."

Tak lama kemudian seseorang datang mengetuk pintu. Retakka terkekeh. "Nah, ini dia orangnya. Cepat bukakan pintunya!"

Kikita yang kebetulan berada didekat pintu ruangan pun membukanya. Pintu itu terbuka, memerlihatkan sosok pemuda beriris biru dengan tato barcode di lengan kanan atasnya.

.
.
.




















Would-be-murdererTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang