Delapan

630 91 7
                                    

Kikita melanjutkan perkataannya, "Bunuh dia malam ini juga!"

"Aku menolak!" Hali bersidekap setelah memasukan kertas berisi alamat itu kedalam saku celananya.

Salah satu sudut bibirnya terangkat. Hali ngomong lagi, "Aku tidak mau mengerjakan tugas ini kalau kau tidak mengirimi gajianku sebelumnya!”

"Bgst, Kau!!" Kikita menggeram jengkel.

Dan Hali merasa puas melihat raut wajah wanita itu. "Sana cari saja yang lain. Lagipula aku sedang malas melakukan pekerjaan ini. Kau juga sudah mengataiku amatir. Aku tidak suka."

Kikita berdiri dari duduknya. Ia menunjuk Halilintar dengan kesal. "Dasar bocah sialan! Lihat saja! Aku akan biarkan kau menganggur dan kesulitan mencari uang. Aku akan mencari orang lain untuk membunuhnya!"

“Yasudah, sana suruh orang lain saja," jawab Hali sebelum pergi.

.
..

Meski begitu, Hali melangkahkan kakinya menuju alamat yang tertera dalam kertas pemberian Kikita. Entah kenapa ia ingin sekali pergi ke tempat si detektif itu berada.

Selain itu, ia merasa rumor mengenai pembunuhnya pembunuh tidaklah benar. Hali memang sering mendengar dari pembunuh lain mengenai seorang misterius yang mengincar para pembunuh tuk dibunuh tersebut. Namun kabar itu simpangsiur. Sepertinya hanya untuk menakuti para pembunuh agar mereka menghentikan pekerjaan kejinya.

Gedung si detektif tinggal berada di lantai tiga. Tempatnya terlihat sepi. Sepertinya lagi gak ada orang.

Hali pun melanjutkan langkahnya menuju gedung apartemen ntu.

Setelah memastikan kalau di lantai tiga lagi gak ada orang, Hali mencoba membuka pintu apartemen tempat detektif itu tinggal.
Sabenarnya pintu sudah terkunci. Hali menggunakan sebuah kawat kecil untuk membuka pintu tersebut.

Ketika memasukinya, ia mendapati ruang tamu yang lumayan sempit.

Sambil menunggu kepulangan si pemilik apartemen, Halilintar menjelajahi tiap ruangan untuk menghilangkan kebosanan. Seperti ruang tamu, ruang makan, ruang kerja, tempat penyimpanan, dapur kecil, kamar mandi dan yang terakhir adalah kamar tidur.

"Sepertinya detektif itu seorang perempuan," gumam Halilintar saat menyadari semua barang-barang yang dilihatnya ditiap ruangan tampak rapi dan bersih.

Setelah merasa bosan menjelajahi seisi kamar, Halilintar memilih untuk kembali ke ruang tamu. Namun sebelum ia menutup pintu kamar, pandangan matanya tidak sengaja menemukan sebuah foto yang terletak di atas meja kecil samping ranjang. Sebuah foto yang membuatnya terdiam mematung.

Foto itu berisi satu orang wanita yang sedang memeluk ketiga anak lelaki.

.
..

Detektif Quake adalah seorang pemuda berusia delapan belas tahun. Usia yang terbilang masih sangat muda untuk menjadi seorang detektif. Ia baru saja menyelesaikan urusannya dengan seseorang dan berniat pulang. Sebut saja dia sebagai Gempa.

Gempa menyergit melihat jendela tempat tinggalnya terlihat terang. Seharusnya lampu di semua ruangan di gedung lantai tiga itu mati, namun ada salah satu jendela yang menyala terang. Hal itu membuatnya jadi waspada.

"Pencuri?" tebak Gempa sambil menyipitkan matanya dengan curiga. Dan kecurigaannya mengganda begitu mendapati pintu apartemen miliknya tidak terkunci. Seingatnya ia sudah mengunci pintu sebelum pergi.

Gempa melangkah hati-hati memasuki sebuah ruangan yang lampunya menyala. Suara televisi di ruang tengah terdengar jelas. Dia juga mendapati sosok seseorang yang sedang duduk santai menghadap televisi. 

Would-be-murdererTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang