SATRIA POV
"Pi, menurut papi Sadam baik-baik aja nggak ya?" Tanya oma pada opa yang sedang sibuk membantu Sakha memegangi botolnya. Ya Tuhan bagaimana mungkin anak itu bisa dengan mudah melupakan suara keras ibu? Satria saja sampai saat ini masih harus menenangkan dirinya dalam pelukan oma.
Opa menatap pintu kamar kemudian menatap oma yang masih berdiri sambil menggerakkan tubuhnya seolah itu bisa menenangkan Satria yang masih terisak. Ya, Satria memang sedikit lebih tenang karena oma tak berhenti bergerak pelan kesana kemari sambil menepuk-nepuk ringan punggungnya, membuat Satria sedikit mengantuk.
"Mudah-mudahan sih, Mi." Kata opa kembali sibuk menggoda Sakha yang kali ini melepaskan dot itu sambil menatapnya. Membuat opa segera saja menampilkan wajah konyol dan membuat Sakha terbahak. Dasar bayi, batin Satria menatap saudara kembarnya itu.
"Mami nggak pernah loh liat Sherina semarah itu." Kata oma menghampiri opa.
Ya, Satria juga. Sepanjang enam bulan hidupnya baru kali ini ia melihat ibu sejahat tadi. Suara ibu yang biasanya bisa membuat Satria lupa pada kesedihannya, justru berubah menjadi suara monster yang menakutkan. Dan itu gara-gara ayah.
Lihat saja, kalau sampai setelah ini ibu berubah menjadi monster menakutkan Satria tidak akan memaafkan ayah.
SATRIA POV END
**********
"Ya tapi kan.."
"Siapa yang ngijinin kamu balik badan?" Sherina menatap galak membuat Sadam buru-buru kembali menatap tembok di depannya. "Dam.."
"Yah, kok gitu manggilnyaa." Sadam terdengar merajuk ketika ia menghentakkan kakinya dengan masih menghadap ke tembok.
"Bodo. Terserah aku mau manggil kamu apa aja." Balas Sherina mengabaikan protes suaminya. Perempuan itu lantas meraih kotak lego tersebut dan menunjukkannya tepat di sisi wajah suaminya itu. "Kamu liat. Disini tuh jelas-jelas tertulis delapan belas plus. Terus kamu berekspektasi apa ngasih ini ke anak-anak?"
"Ya tapi kan aku emang niatnya beli buat anak-anak, Sayang." Sadam mencoba menyampaikan argumennya. "Nanti aku yang bikin terus habis itu dipasang di kamar anak-anak. Terserah mau di kamar yang di rumah sini atau di Jakarta."
"Terus fungsinya buat mereka?"
"Ya kan bisa buat pajangan di kamar sampai nanti mereka umur delapan belas tahun."
Sherina menatap gemas pada suaminya sebelum kemudian menarik nafas mencoba mengisi ulang daya kesabarannya.
"Siniin dompetnya." Perempuan itu menatap galak sambil mengulurkan tangannya. "Kamu tuh kalau dibiarin pegang dompetnya sendiri makin aneh-aneh yang dibeli. Hape, rumah, sekarang ini."
"Ya kan kamu sendiri yang ninggalin pas diem-diem kabur ke London." Sadam menggerutu mengeluarkan dompetnya dari saku belakang.
"Ngapain jadi kesitu-situ sih ngebahasnya." Sherina menggerutu pelan ketika ia menerima dompet suaminya.
"Ya emang kenyataannya gitu." Sadam menatap tak terima. "Coba kalau waktu itu nggak pakai acara kabur-kaburan segala."
Bukannya menjawab, Sherina justru mengembalikan dompet Sadam yang sudah dia ambil semua jenis credit card dan debit cardnya. Perempuan itu hanya meninggalkan sebuah kartu berlogo bank dalam negeri yang ia tahu sering bermasalah dan tidak semua tempat menerima jenis pembayaran menggunakan kartu tersebut. "Kamu bawa ini aja buat sehari-hari. Yang lain biar aku yang bawa."
"Yang." Sadam mengantongi lagi dompetnya. "Ini aku udah boleh balik badan belum? Nggak enak banget loh ngobrol sambil ngeliatin tembok gini. Kangen tau liat muka kamu." Goda Sadam membuat istrinya diam-diam mengulum senyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
FOR YOU 2
FanfictionThe epitome of THEY FELL FIRST AND THEY FELL HARDEST DISCLAIMER : This is a work of fiction. Unless otherwise indicated, all the names, characters, businesses, places, events and incidents in this story are either the product of the author's imagina...