13

1.1K 102 14
                                    


Pulangnya Mahen sore itu disuguhi tangis istri manisnya yang bersujud memohon pada seorang wanita paruh baya, tepat didepan pintu rumah. Tas-tas berisi pakaian mereka teronggok mengenaskan di sisi Riky.

"Rumah ini udah dijual. "

Riky menggeleng keras, wajahnya total basah.

"Ini rumah Ayah! Ibu nggak boleh jual seenaknya! "

"Apaan sih? Dijual juga buat bayar hutang-hutang 'kan, nggak rugi sama sekali. "

"Ibu kemana aja!? Setelah pergi gitu aja kenapa sekarang seenaknya ambil rumah Ayah?! "

"Buat bayar hutang, kuping lo budek ya? "

Wanita itu dengan geram dorong Riky yang masih bersimpuh di lantai, tak peduli bahkan dengan fakta bahwa itu adalah anaknya sendiri.

"Itu hutang Ibu, bukan hutang Ayah, " Riky menatap nanar wanita yang melahirkannya, wanita dengan wajah persis dirinya.

Ah, fakta jika ia tumbuh semakin mirip Ibunya telak buat muak.

"Kurang ajar. Lo pikir pas Ayah lo itu sakit siapa yang biayain?! Lo pikir murah apa biayanya? Dan liat lo sekarang? Jadi jalang lo sampek bunting begitu? Diajarin jadi jalang kah sama bapak lo itu? "

Sakit, mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ibunya, Riky rasakan dadanya nyeri betulan.

Mahen masih diujung lorong saat cacian itu terlontar, cowok itu percepat langkahnya, berlari cepat saat tangan si wanita mengambil ancang-ancang untuk layangkan tamparan.

"Oh? " si wanita tatap Mahen dengan sorot bertanya saat tangannya dicekal.

"Kak, " Riky menangis keras saat Mahen merengkuhnya, tangannya yang bergetar cengkeram kuat kemeja Mahen, salurkan perasaannya.

"Jangan nangis, gapapa, " Mahen berbisik, elus lembut helaian rambut istri manisnya, Mahen abaikan si wanita yang kini terdiam memperhatikan.

"T-tapi—" suara Riky tercekat, tenggorokannya terasa sakit.

"Rumah ini udah dijual. Kalian harus pergi," suara yang awalnya sarat akan nada mengejek dan bentakan itu kini terdengar getir, si wanita yang awalnya meledak-ledak itu memalingkan wajahnya, tak mau lihat dua orang didepannya.

Mahen mengangguk tanpa repot menoleh, cowok itu mengambil tas-tas berisi pakaian lalu menggandeng Riky untuk pergi.

"Kak Mahen, " Riky menggeleng, tak mau ikuti langkah suaminya. Ia tak mau pergi.

Mahen menghela nafas, cowok itu kembali meletakkan tas ditangannya, beralih menangkup wajah cantik yang basah oleh air mata.

"Cantik, dengerin Kakak oke? Kakak tahu ini rumah punya banyak kenangan buat Kamu. Tapi kita harus pergi. "

Mahen kembali menggandeng tangan Riky, membawanya pergi menjauh dari wanita yang masih berdiri di depan pintu rumah, memandang punggung keduanya yang mulai menjauh.

"Maaf... "

༶•┈┈⛧┈♛♛┈⛧┈┈•༶

Mahen bawa Riky ke apartemennya, tempat dimana semua kejadian ini bermula, tempat yang menjadi saksi sebejat apa Mahen kala itu. Dan Mahen harap, Riky tidak trauma karena membawanya kemari.

"Kenapa Kak Mahen bawa Aku pergi!? Itu rumah Ayah! " Riky masih mengamuk, berteriak seperti orang kesetanan.

"Cantik, dengerin Kakak—"

"Itu rumah Ayah! Rumahku! Kenapa Aku harus diusir!? Ibu harusnya—"

"Riky Nareswara! "

Mahen meninggikan suaranya tanpa sadar, tangannya menekan kedua bahu Riky yang kini menatapnya takut.

"Duduk, dengerin Aku ngomong, " Mahen melembutkan nada suaranya, merasa bersalah sebab membentak istri manisnya.

"Denger, mau Kamu percaya atau nggak, tapi denger. "

Mahen mengambilnya jeda, menarik nafasnya dalam-dalam.

"Rumah itu udah dari lama dijual— sertifikat, sertifikatnya yang digadaikan, dan karena nggak ditebus, ya memang harus disita. "

"Bohong, " Riky membalas dengan suara serak.

Mahen menghela nafas, ini jelas susah.

"Dua hari yang lalu, ada orang datang, orang yang pegang sertifikat rumah itu. Aku udah punya rencana ajak Kamu pergi, nggak tau kalau hari ini bakal jadi kayak gini, " Mahen berdecak, merasa ini salahnya karena tak bicarakan apapun pada istrinya.

"Pemilik rumah itu nggak cuma Ayah Kamu, itu punya Ibu Kamu juga. Dan karena Ayah udah meninggal, jadi rumah itu sepenuhnya jadi punya Ibu, orang yang pegang sertifikatnya bilang kalau perempuan yang punya rumah udah tandatangani persetujuan rumahnya diambil, jadi rumah itu udah resmi pindah tangan. "

༶•┈┈⛧┈♛♛┈⛧┈┈•༶

"Gue jelek banget, " wanita itu hembuskan nafasnya dengan kasar, sebatang nikotin terselip diantara jemari telunjuk dan tengahnya, manik gelapnya tatap foto bocah lelaki yang terbingkai apik di meja.

"Harusnya lo emang nggak usah lahir, jadi sengsara 'kan? Lo juga nggak tau sebejat apa Bapak lo dulu. Semua orang emang bikin muak. "

"Tapi emang gue yang tolol, Lo jadi rusak juga. "

"Lihat lo sama cowok tadi, semoga aja nasib lo nggak kayak gue juga, harus bayarin hutang laki-laki nggak bertanggung jawab. Lo harus bahagia, dan benci gue kayak gue benci Bapak lo. "

Laci meja dibuka, bingkai dengan foto bocah lelaki itu dimasukkan dan setelahnya laci itu dikunci rapat-rapat.







Tbc

This Story [Heeki]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang