03 : Name is a blessing.

306 48 2
                                    

Cassie, kependekan dari Cassandra. Di umur delapan tahun, Cassie pun bertanya kepada orangtuanya mengenai arti namanya, sebab teman-teman sekelasnya selalu membahas nama mereka, sedangkan Cassie tidak mengetahui apapun tentang namanya.

Ayah tidak menjawab, Cassie pun mengomel, layaknya bocah delapan tahun pada umumnya. Tapi ibu menamparnya, menyuruhnya untuk diam.

“Karena kau harus unggul dari yang lain, mengerti?”

Takut ditampar lagi, Cassie pun mengangguk saja.

Akhirnya, dengan modal komputer lama milik ayah yang sudah tidak terpakai, Cassie mencari sendiri. Berasal dari tokoh mitologi Yunani, namanya diartikan dengan “shining upon man.” begitu singkatnya.

Bersinar dari semua orang, termasuk laki-laki.

Itu maksud ibu, Cassie harus jadi yang paling bersinar.

Karena itulah, Cassie berusaha untuk menghidupi namanya. Belajar, belajar, dan belajar, disambi dengan mempertahankan kehidupan sosialnya, Cassie mengusahakan segalanya, untuk menjadi yang paling bersinar. Persis seperti yang orang tuanya inginkan.

Tapi Cassie tahu, kedua orang tuanya itu memang sudah tidak punya hati.

Kini jam menunjukkan pukul sebelas malam dan Cassie masih sibuk berkutat dengan latihan soal.

"Kenapa menduduki peringkat satu sangat sulit bagimu? Apa kau benar-benar berusaha?

"Kau memalukan nama keluarga ini, Cassandra.'

Cassie sempat muntah karena kalimat-kalimat dari orang tuanya itu. Ia benar-benar lelah. Mungkin terkesan remeh, tapi Cassie sudah merencanakan tidur di jam sembilan sedari pagi hari. Ini membuat segalanya terasa jauh lebih menyebalkan, karena sekarang ia sudah tidak memiliki hasrat untuk tidur lagi.

Ini aneh karena biasanya Cassie tidak emosional seperti ini. Lalu dirinya teringat, ia nyaris bebas dari semua ini, tetapi sampai sekarang ia masih belum membebaskan dirinya lagi.

“Kenapa aku masih disini sih…”

Memberanikan diri, Cassie keluar dari kamarnya, ia melihat kamar orang tuanya, tertutup rapat, semua lampu di lantai bawah pun sudah mati semua.

Melalui pintu belakang, Cassie akhirnya keluar dari rumah. Malam ini terasa sangat dingin tapi Cassie tidak cukup peduli untuk menggunakan jaket, ia ingin bebas.

Dan ia pun kembali lagi, di jembatan yang sama. Ini sempurna karena kini jalanan sudah sepi nyaris kosong, ini adalah jalur yang biasa digunakan oleh para pekerja kantoran tapi tentunya mereka semua sudah pulang.

Ia bisa sesuka hatinya disini.

“Hmm, cantik.” gumamnya melihat ke arah air di bawah, menurutnya jatuh menuju kesana jauh lebih indah daripada bulan cantik yang menerangi gelapnya malam ini.

Don’t even think about it again.”

Lagi-lagi. Tangannya digenggam oleh tangan dingin itu, lagi. Cassie awalnya kesal, tapi sekarang ia malah terkekeh. Entah kenapa, ia seperti sudah mengetahui kalau hal ini akan terjadi. Noah Han pasti akan menyelamatkannya lagi kalau disini.

“Noah Han, kau itu sangat mencurigakan tahu.”

“Yang suka jembatan ini bukan kau saja tahu.” balas Noah sarkastik.

Cassie mengernyitkan dahinya, “Padahal kau bisa saja mengabaikanku.”

Noah menghela nafasnya, “Seharusnya memang begitu,”

“Apa maksudmu?”

“Jangan di jembatan ini lagi, bukan tempat yang bagus, terlalu mencolok, dan bisa mengganggu lalu lintas.” ucap Noah sambil memegang jembatan berwarna merah itu.

“Memangnya aku kelihatan peduli?”

Noah berjalan mendekatinya, “Kau tahu gedung olahraga sekolah yang sudah tidak terpakai itu?”

Cassie mengangguk, “Katanya ada senior yang bunuh diri disana lima tahun yang lalu, dan arwahnya terus bergentayangan,”

“Itu-”

“Omong kosong, tentu saja, memang ada yang bunuh diri, tapi aku yakin, senior itu sudah tenang, karena ia sudah bebas.”

“Aku merekomendasikan tempat itu, tidak ada orang yang lewat di sana.”

“Tidak tertarik,” ujar Cassie, “Lagipula kau sudah menghentikanku lagi, tidak ada gunanya kau melakukan itu lagi di waktu selanjutnya.”

“Jangan bodoh, orang-orang sering melewati jalan ini walaupun sudah terlihat sepi."

Noah membalikkan tubuhnya, ia berjalan, persis seperti malam sebelummya.

“Noah kau mau kemana?” tanya Cassie.

Ia menoleh kebelakang, “Kau mau mengikutiku, Cassie?”

Itu dia. Itulah yang Cassie tunggu-tunggu sedari tadi.

Cassie tidak pernah menyangka kalau sosok pembunuh psiko yang sudah terkenal sejak SMP itu kini sedang memakan mie instan bersamanya.

Mereka berdua duduk di salah satu meja kursi yang disediakan di depan minimarket. Ditemani dengan dua susu kotak rasa stroberi, dan dua bungkus mie instan yang masih panas.

“Noah,” Cassie menaruh makanannya.

“Apa?” tanya Noah tanpa menoleh.

“Kau tahu tidak apa arti dari namamu?”

“Tidak.” jawabnya singkat.

“Kau tidak pernah bertanya dengan orang tuamu?”

“Pernah,”

“Lalu apa jawabannya?”

“Mereka tidak menjawab.”

Jujur saja Cassie bertanya-tanya, apakah Noah juga ditampar sepertinya? Apa ia diberi jawaban dengan nada tinggi pula?

Cassie meraih tangan kiri Noah,

“Hey- Apa yang kau lakukan?”

“Tanganmu masih memar,”

“Hah-”

“Aku jadi suka memperhatikanmu, Noah Han, bagaimana kalau aku mulai menyukaimu?"

Noah memandangi wajah Cassie, “Kau memang benar-benar ingin mati, ya?”

***

call it fate ; hanyuseo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang