10 : Wanting.

240 38 4
                                    

“Kenapa bolos kursus?”

Cassie masih berpikir bagaimana seharusnya ia menjawab pertanyaan dari Ibunya itu. Yah, Cassie sudah tahu ia akan langsung diinterogasi tapi sayangnya ia belum menemukan sebuah jawaban.

Aku menyelamatkan teman(?) (mereka sudah dihitung berteman kan?) dari penculik menyeramkan.

Aku menemukan fakta bahwa aku akan diculik juga oleh keluarga teman itu.

Bagaimana? Cassie itu anak yang penurut. Ia tidak terlalu pandai dalam hal seperti ini.

PLAK.

Lamunan Cassie terbuyarkan oleh tamparan dari Ibunya.

“Ibu?!”

“Cassie! Don’t you dare raise your voice, jawablah pertanyaan Ibumu.” ujar Ayah, seperti biasa membela istrinya. Dalam keadaan normal, Cassie pastinya senang kalau kedua orang tuanya akur.

“Aku… ada kencan dengan laki-laki yang aku sukai.”

Persetan saja, setelah mendengar fakta kalau nyawanya bisa direnggut kapan saja di bulan Desember, beban di pundaknya terasa lebih ringan.

“SIAPA LAKI-LAKI ITU?!”

Sesuai prediksinya, Ayah langsung marah. Lucu sekali melihatnya bertingkah sebagai sosok figur ayah yang protektif dan perhatian kepada putrinya.

“Tenang saja, dia orang kaya.”

“Cassandra Lee kenapa gaya berbicaramu seperti itu?!” protes Ibu.

“Jawab Ayah! Siapa lelaki itu?!”

“Sejak kapan kalian peduli denganku selain peringkatku di sekolah?! Sudahlah, aku minta maaf aku membolos, aku hanya ingin bersenang-senang seperti teman-temanku yang lain.”

Cassie pikir memberikan ungkapan dramatis seperti di film-film drama remaja seperti itu akan memberikan sebuah dampak, tapi ia langsung teringat kalau orang tuanya itu bukan orang-orang normal. Alhasil, kini dirinya dikunci di ruangan belajarnya— atau bisa dibilang ruangan hukumannya. Pernah, sewaktu dirinya menduduki kelas empat SD, Cassie remidi di ujian matematikanya, dan ia pun dikunci di ruangan ini, untuk belajar dan merenung, katanya. Lalu di pagi hari pintu terbuka, dan ia langsung disuruh belajar kembali selama dua jam, baru ia diperbolehkan untuk sarapan.

Cassie sendiri juga penasaran kenapa ia baru ingin membunuh dirinya sekarang.

Toh, kalimat ala-ala remaja yang sedang melewati pubertas yang ia lontarkan tadi itu hanya sedikit dari perasaannya yang sebenarnya. Bermain seperti teman-temannya yang lain? Oh jangan bercanda. Itu adalah keinginannya pada kelas dua SMP.

Lantas apa yang Cassie inginkan sekarang?

“target sebenarnya tetap orang tuamu.”

Entahlah, tapi Cassie tersenyum sendiri membayangkan hal tersebut.

Yah, ada satu lagi sih yang bisa membuatnya tersenyum. Genggaman tangan yang dingin itu anehnya malah membuatnya hangat. Ah, biasanya Cassie tidak terlalu semangat untuk melanjutkan harinya, tapi sungguh, ia tidak sabar melihat wajah Noah Han besok di sekolah.

“Cassie, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Willow.

Jam terakhir hari ini kosong karena guru-guru sedang rapat, mereka diberikan tugas tapi tentu saja murid-murid di kelas lebih memilih untuk bermain atau mengobrol. Seperti Cassie dan teman-temannya sekarang.

“Tentu saja.”

“Kenapa kau menolak Kak James?”

“AH AKU JUGA SANGAT PENASARAN! Maksudku, dia tampan, kaya, dan baik hati, apa yang kurang, sih Cass?” seru Amber.

“Lho, bukannya aku sudah menjelaskan ya waktu itu?”

“Alasan tidak mau pacaran dulu itu alasan klasik, pasti ada yang kau tutupi!” ujar Kian.

“Benar! Aku pikir juga begitu.” kata Theodore.

“Ah… Kalian kenapa, sih?” Cassie tidak habis pikir akan rasa penasaran teman-temannya ini, bukannya sudah jelas? Menurut mereka apa alasan Cassie selalu tidak bisa ikut mereka ke mall atau karaoke? Jelas-jelas ia terlalu sibuk untuk itu semua.

“Apa jangan-jangan… Kau sudah menyukai seseorang?!” tanya Willow, menyimpulkan.

“Eh?! Tidak-”

Willow benar. Ada alasan lain kenapa Cassie menolak James waktu itu. Noah Han, secara acuh tak acuh melewatinya, membuyarkan fokusnya dengan memar di tangan kirinya. Mungkin karena itu...

KRINGGGGGG.

Bel pulang berbunyi, dalam hitungan detik murid-murid di kelas langsung keluar, tak sabar untuk segera pulang.  Seketika Cassie merasakan sesuatu yang aneh menguasai sekujur tubuhnya. Seperti sesuatu sedang memaksa dirinya melakukan hal yang gila. Hal yang Cassie inginkan.

Tep.

Tepat ketika Noah Han melangkahkan kakinya keluar kelas, Cassie menahan tangan Noah sehingga sontak semua murid di sekitar langsung menatap ke arah mereka secara intens.

“CASSIE?!” panggil Amber, tapi Cassie tidak menghiraukan.

Dengan suara pelan Noah akhirnya membuka mulutnya, “Apa rencanamu sekarang?” tanyanya.

“Noah Han, apa kau ingin menjadi pacarku?”

Ya, hal gila yang Cassie inginkan.

“Kenapa kau ingin aku jadi pacarmu?” tanya Noah, seperti biasa dengan respon tidak biasanya itu. Tapi anehnya, Noah tidak terlihat heran maupun sedikit terkejut.

“Kurasa aku sudah menyukaimu, bagaimana? Apa kau mau?”

Nampaknya Amber sudah terlalu bingung untuk bahkan memberikan reaksi lagi.

“Ya, aku mau.” jawab Noah.

Dan dengan begitu, di tanggal tiga puluh November, nama Cassandra Lee dan Noah Han akan diingat selamanya di sekolah mereka.

***

finally update🥲

call it fate ; hanyuseo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang