05 : Desire.

292 49 4
                                    

Dengan hati-hati, mata Noah mengawasi dari teras sekolah, Cassandra Lee kini tengah berjalan bersama James— senior terkenal mantan kapten klub basket, lelaki itu baru saja menyatakan perasaannya beberapa hari yang lalu kepada Cassie, tapi nampaknya Cassie tidak tertarik. Rambut lurus panjang milik Cassie itu di acak-acak oleh James, lelaki itu tertawa, sedangkan sang gadis terlihat bepura-pura kesal. Tetapi walaupun begitu, wajah Cassie tetap nampak ceria. Noah pikir perempuan itu sebaiknya menjadi aktris saja daripada menjalankan perusahaan, atau apalah paksaan orang tuanya itu.

Hari ini adalah hari Kamis, hari kursus Cassie, oleh karena itu Cassie memperbolehkan James untuk mengantarnya sekarang.

“Aku tidak berbohong, aku pikir dia bukan masalah.”

Ibu menatap Noah penuh curiga, sementara Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kegiatannya hanya belajar, dia tidak diperbolehkan orang tuanya untuk bermain.” jelasnya, Noah harus berusaha meyakinkan mereka.

“Kalau begitu dia tidak bodoh! Bisa saja ia menyadari dan pura-pura tidak tahu lalu melaporkan semuanya.” tegas Ibu.

“Cassie- Ah, Cassandra Lee, dia…” sialan, Noah paling benci akan fakta kalau nyalinya selalu menciut ketika sudah berhadapan dengan orang tuanya, “Dia tidak bodoh, tapi aku juga tidak bodoh, Casandra Lee benar-benar, akh-”

Ini adalah senjata kesukaan Ayah, yaitu menempelkan pasak panas di kulitnya. Ia jarang menggunakannya karena bekas lukanya terlalu jelas, tapi ketika ia lakukan, ia pintar memilih target di tubuhnya agar tidak terlihat kalau ia sedang memakai seragam.

“Sepertinya kau hanya bermain-main ya, Noah.” ucap Ayah.

“Tidak! Aku serius…” Noah membalas sambil meringis menahan rasa perih, padahal sudah beberapa kali ia mendapatkannya, tapi Noah tidak pernah terbiasa.

Ibu berjalan mendekat, lalu menamparnya, “Kalau kau gagal mengamankan Cassandra Lee sehingga menggagalkan rencana sepuluh Desember, bersiaplah menerima konsekuensinya, Noah Han.” ucapnya.

Pada akhirnya, entah berapa banyak usahanya untuk melawan, Noah selalu mengeluarkan dua kata yang sama setiap kali berbicara dengan Ayah dan Ibu,

“Aku mengerti.”

Begitu kedua orang tuanya pergi, Noah langsung berlari menuju kamarnya dan membaringkan tubuhnya di atas kasur, ia mengacak-acak rambutnya frustasi.

What the fuck is he suppose to do?

Ia berjalan menuju meja belajarnya, membuka laci, dan mengambil sebuah tumpukan kertas berisi hasil kerjanya selama ini, ia pun mengambil kertas paling atas, dan menulis catatan nomor sepuluh.

Ia berjalan menuju meja belajarnya, membuka laci, dan mengambil sebuah tumpukan kertas berisi hasil kerjanya selama ini, ia pun mengambil kertas paling atas, dan menulis catatan nomor sepuluh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kepala Noah buntu. Ia tidak bisa menemukan jalan keluar dari masalah ini. Nyawa Noah bergantung dengan Cassie. Sial, ini antara hidup dan mati. Ini tidak adil pikirnya.

Satu pertanyaan terus menghantuinya, kenapa harus Cassandra Lee? 

Kalau ini adalah murid lain Noah tidak akan kesulitan, sungguh. Pasalnya ini sudah dua kali! Dua kali Noah mendapatkan jalan keluar paling mudah dengan kematian Cassandra Lee, tapi Noah malah menggagalkan semuanya, setiap kali. Kenapa Noah jadi seperti ini? Biarkan saja Cassie, ini akan menjadi pekerjaan mudah, tapi entah karena alasan apa Noah tidak bisa menemukan alasan yang masuk akal akan kenapa tubuhnya langsung refleks menghentikan perlakuan perempuan itu.

Semua ini terasa tidak familiar baginya, mulutnya tertahan, ada rasa takut kalau ucapannya terdengar memalukan di telinga Cassie, matanya tidak bisa berhenti melihat, padahal cukup mengawasi saja, kenapa pula Noah perlu memperhatikan gaya rambut Cassie?! Tidak sampai disitu, Noah mengajaknya ke tempat favoritnya— lebih tepatnya, mengundangnya untuk berduaan di gedung olahraga terbengkalai kesukaannya itu. Merekomendasikan tempat bunuh diri, ah, alasan saja, ia sendiri juga tidak mengerti kenapa ia melakukan itu.

Noah tidak mengerti. Semua ini tidak masuk akal di kepalanya, karena yang paling aneh, Noah tidak ingin Cassandra Lee mati. Baru saja ia mempertaruhkan nasibnya untuk menyampaikan hal itu ke orang tuanya.

“Bagaimana kalau aku mulai menyukaimu?”

Sinting! Apa-apaan itu?! Kenapa Cassie bisa mengatakan itu dengan sangat santai?

Noah akhirnya mengambil jaket dari gantungan dan keluar dari kamarnya, “Aku pergi, mengawasi Cassandra Lee.” ucapnya pamit, tanpa menunggu balasan ia langsung pergi keluar dari rumah yang menurutnya terlalu besar untuk tiga orang itu.

Tujuannya adalah tempat kursus Cassie, seharusnya sebentar lagi ia sudah selesai. Noah masuk ke dalam minimarket yang terletak tepat di depan tempat kursus itu, lalu menunggu sambil melihat lewat kaca.

Menit demi menit Noah mengawasi, beberapa murid dengan seragam yang berbeda-beda pun mulai keluar, sampai akhirnya lima menit kemudian, yang dicari pun muncul. Cassie memegang ponselnya, entah apa yang sedang ia lakukan tapi sepertinya ia tidak langsung pulang. Noah menggigit bibirnya, entah kenapa, ia mengharapkan sesuatu, sesuatu yang Noah sendiri juga tidak mengerti apa.

Menuruti keinginannya itu, Noah keluar dari minimarket, mencoba mengerti apa yang sebenarnya ia harapkan.

Ah, Cassie menyadari keberadaannya. Awalnya ia terlihat terkejut, tapi kini perempuan itu tersenyum dan terkekeh, ia berada di seberang jalan, tapi senyuman itu masih sama cerahnya.

Noah tidak yakin dirinya mengerti atau tidak, tapi sepertinya harapan miliknya itu sudah terpenuhi.

***

call it fate ; hanyuseo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang