Prologue

134 11 0
                                    

Kisah yang akan saya bagikan ini dimulai saat kehadiran satu persatu saudara kandung yang sama sekali tak pernah terlintas dibenak saya sebelumnya. Ini bukan cerita superhero yang menyelamatkan dunia, melainkan kisah nyata tentang saya, manusia biasa yang memiliki banyak lika liku kehidupan. Cerita ini juga tentang bagaimana saya bisa memahami sebuah rumah, tempat saya melindungi saudara-saudara saya dan tempat bagi mereka pulang apapun masalah mereka diluar sana.

Saya berpikir bahwa saya akan menjadi anak tunggal penuh kasih sayang dan hidup enak selama hidup saya, namun teman saya dengan antusias bercerita bahwa dengan adanya adik, mereka tak akan kesepian saat pulang ke rumah. Saya jadi berpikir, setiap pulang ke rumah hanya keheningan yang menyambut saya. Tentu saja, ayah dan ibu selalu bekerja, mereka akan pulang larut malam dengan wajah yang penuh keletihan. Sungkan sekali rasanya ingin membahas adik-peradikan ini pada mereka.

Hidup sebagai anak kecil yang berkecukupan memang menyenangkan, perkataan bahwa kebahagiaan tidak bisa dibeli oleh uang benar adanya. Saya kesepian, tapi saya sudah terbiasa. Mungkin hidup sebagai anak tunggal tidak begitu buruk hingga perbincangan teman saya akan hal adik mereka menjadi angin lalu bagi saya di hari-hari selanjutnya.

Walaupun tanpa adik, saya pikir hidup saya berjalan seperti biasa dan justru kasih sayang ibu dan ayah hanya tertuju pada saya seorang, saya tidak harus mengalah, berbagi mainan, dan mengalah lagi. Namun Tuhan sepertinya tahu perasaan anak kecil ini yang sudah terkubur dalam-dalam. Saya berusia 10 tahun ketika ibu saya melahirkan dua anak kembar, saya seorang anak sekolah dasar kelas akhir, anak kecil menuju remaja biasa yang memiliki segudang prestasi sedikit teman.

Saya merasa senang, juga merasa tidak terima. Mengapa mereka baru lahir saat saya sudah menerima rasa kesepian yang selalu saya terima, rasa iri saat teman-teman membicarakan keseruan mereka dengan adiknya. Selagi ayah dan ibu memberi mereka kasih sayang berlebih, saya pikir saya akan mencoba memberi jarak pada adik saya sendiri untuk tidak menyentuh pertahanan yang sudah saya bangun dari rasa kesepian seorang anak kecil yang malang.

Pada awalnya seperti itu, hingga ibu kembali melahirkan kedua bayi kembar yang terakhir, adik keenam yang dilahirkan dengan kondisi ibu yang buruk tanpa seorang ayah. Ayah pergi, pergi sangat jauh hingga tidak bisa kami gapai, kenangannya dan figur foto nya-lah yang menjadi satu-satunya yang tersisa dibenak kami. Perkataan sehari sebelum kematiannya selalu berputar, saya tidak pernah mengira bahwa percakapan kami hari itu ternyata waktu ayah dan anak terakhir kalinya.

Sepertinya ibu begitu mencintai ayah, selesai melahirkan adik saya yang terakhir ibu menghembuskan nafas terakhirnya setelah berbicara pada saya sebelumnya. Kata-kata ibu membuat saya membuka mata, pertahanan saya runtuh, saya ditarik paksa oleh adik-adik saya dari segala kesepian yang membelenggu saya di ruang hampa.

Hari-hari selanjutnya saya harus bekerja paruh waktu untuk menghidupi seseorang yang menunggu saya di rumah, namun ada yang berbeda. Saya pulang ke rumah dan saya disambut dengan hangat dan begitu banyak kasih sayang tertuang didalamnya.

Baskara akan terus terbit dan terbenam, candrasa akan menusuk saya, tapi saya tidak peduli berapa banyak tusukan yang menembus saya dengan pedihnya. Asalkan saya bisa menjaga harsa dan senyum mereka semua.

Sang Adyatama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang