3| Padanan Warna

459 65 26
                                    

Seperti yang Meitraya janjikan semalam pada Laut, bahwa hari ini akan membawanya ke kampus dan bertemu dengan teman-temannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti yang Meitraya janjikan semalam pada Laut, bahwa hari ini akan membawanya ke kampus dan bertemu dengan teman-temannya. Jam sembilan pagi, Meitraya harus di bangunkan akibat suara keras benda jatuh yang berasal dari kamar Laut. Dengan tergesa, Meitraya menyibak selimut nya, bahkan tak sempat untuk memakai atasan. Berlari ke kamar sebelah, yang ternyata pintu kamar Laut sudah terbuka dengan lebar.

"Kenapa—" Kalimat Meitraya menggantung di udara, kala menangkap siluet mamanya berdiri berhadapan dengan Laut. Yang membuat Meitraya kembali menelan kata-katanya adalah bagaiman saat mendapati kondisi tangan kiri Laut yang bersimbah darah dan juga raut wajah mamanya yang frustasi.

"Ini Mama, Dek. Jangan takut, ya? Sini deket sama Mama, Mama peluk." Inaya berusaha menahan nada suaranya agar tidak bergetar dan menakuti si bungsu. Bergerak maju perlahan, menginjak pecahan kaca yang bisa saja melukai kaki nya—meskipun Inaya sudah memakai sandal rumah.

"Ma ...,"

"Nggak pa-pa, Bang. Kaki Mama aman kok." Inaya menyahuti ucapan si sulung dengan cepat tanpa menoleh. Saat jaraknya dan Laut sudah dekat, Inaya merentangkan tangan. "Sini peluk Mama. Ini Mama, Dek ...,"

Tatapan Laut bergerak liar—menatap antara mamanya dan Meitraya secara bergantian. Melihat senyum wanita di depannya, membuat Laut mengingat sesuatu. Sekelebat bayangan hadir di kepalanya. Dan seketika Laut baru menyadari, bahwa dia sempat melupakan siapa sosok wanita yang kini berdiri merentangkan tangan di depannya.

Laut lupa, bahwa mama adalah sosok hangat yang selalu memeluknya.

"Mama maaf." Buru-buru Laut masuk ke dalam pelukan Inaya. Lupa bahwa kini tangannya bersimbah darah, dan mengotori baju putih sang ibu. "Maaf, maafin Laut. Mama jangan marah ... Laut minta maaf."

Getar suara Laut mampu menusuk jantung Inaya dengan rasa sakit yang luar biasa. Namun, Inaya takut untuk meruntuhkan air mata. Takut jika Laut akan semakin merasa bersalah karenanya. "Mama nggak marah, Dek, Demi Tuhan Mama nggak marah. Mama khawatir sama kamu. Jangan minta maaf oke? Mama paham kok."

"Ma, bawa Laut duduk dulu. Biar aku yang beresin ini." ucap Meitraya menginterupsi.

Inaya mengangguk. "Makasih ya Abang. Hati-hati ya, awas kena pecahan kaca nya." Setelah mengatakan itu, Inaya melepaskan pelukan Laut dengan pelan. Menghadirkan senyum terbaik di depan Laut yang masih ketakutan. "Duduk dulu, ya, Dek? Biar Mama obati tangannya."

Dan saat itu, Laut baru menyadari bahwa tangannya terluka. Tanpa bantahan, Laut menurut saat mama membawanya duduk di tepi ranjang. Bahkan diam memperhatikan bagaimana mama dengan teliti membersihkan luka nya.

"Kata Abang, nanti Adek mau ikut ke kampus, ya?" Inaya membuka obrolan. Sekaligus ingin menyita perhatian Laut, agar anak itu tidak terus merenung. Sesekali juga Inaya mengawasi si sulung yang masih menyapu lantai.

"Iya? Aku lupa ...," balas Laut, ragu.

Inaya tersenyum. "Iya, nanti jam sepuluh berangkat sama Abang. Tapi harus janji sama Mama, kamu nggak boleh jauh-jauh dari Abang, ya? Oke?"

LaMei Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang