Prolog

17 0 0
                                    

Di tengah hujan deras yang menimpa kota, Alexandra merasa seolah-olah alam turut bersimpati dengan kehilangannya yang mendalam. Dengan setiap tetes hujan yang jatuh, rasanya seperti dunia sendiri ikut menangisi duka yang menghimpitnya.

 Langkah-langkahnya terburu-buru menuju rumah tua di pinggiran kota, di mana dia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan dalam keheningan ruangan kosong. Namun, meskipun langit terus menangisinya, tak satu pun tetes hujan yang bisa mengurangi rasa kehilangan yang membekas di hatinya.

 Baginya, hujan menjadi simbol dari kesedihan yang melanda, dan setiap gemuruh petir seolah-olah mengiringi rintihan hatinya yang terluka.

Alexandra duduk sendirian di ruang tamu yang remang-remang, sorot lampu kecil membentuk bayangan-bayangan samar di dinding. Dalam keheningan yang menggema, dia memandang foto-foto masa lalu yang terpajang di dinding, setiap gambar menggambarkan momen indah bersama kekasihnya, James. 

Matanya terpaku pada gambar mereka berdua tertawa riang di tepi danau, wajah James yang memancarkan kebahagiaan, dan senyum mereka yang selalu terukir dalam ingatannya. Namun, perasaan manis itu terusik oleh rasa pahit yang menyelinap ke dalam hatinya saat dia menyadari bahwa James telah pergi, meninggalkannya tanpa jejak atau alasan yang jelas.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari balik pintu, mengguncangnya dari lamunannya yang sedih. "Alexandra, boleh ibu masuk?" suara lembut ibunya terdengar di balik pintu. Tanpa menunggu jawaban, pintu perlahan terbuka dan ibunya, Mrs. Johnson, masuk dengan langkah pelan.

 "Sayang, aku tahu ini sulit bagimu," kata ibunya sambil menghampiri Alexandra dan duduk di sampingnya di sofa. "Tetapi kamu harus tahu bahwa kita selalu di sini untukmu, apa pun yang terjadi."

Alexandra menatap ibunya dengan mata yangterpenuhi oleh air mata. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan,Mama," gumamnya lirih. "Semuanya terasa begitu hampa tanpa dia disini." Mrs. Johnson meraih tangan putrinya dengan penuh kelembutan.

"Aku tahu, Sayang," ucapnya, suaranya penuh kasih. "Tetapi percayalah, waktu akan menyembuhkan luka ini. Dan ingatlah, kamu tidak sendiri.Kami akan selalu ada untukmu, mendukungmu melalui semua yang kamu hadapi."

Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang