Di suatu malam yang gelap, Alexandra dan Ethan tak sengaja bertemu di tengah hujan deras. Suara gemuruh petir memecah keheningan malam saat langkah mereka berdua terhenti di bawah atap yang redup. Mata mereka bertemu, menciptakan kilatan yang menyala-nyala di antara mereka, namun rasa canggung dan ragu masih menyelimuti suasana.
"Maafkan saya," ucap Alexandra dengan suara lembut, wajahnya tertutup oleh rambut basah yang menjuntai. "Saya tidak bermaksud mengganggu."
Ethan, yang masih terdiam sejenak, akhirnya mengangguk dengan sedikit tersenyum. "Tidak, tidak mengganggu," katanya, suaranya terdengar samar di antara suara hujan yang turun dengan deras. "Saya hanya... tidak berharap bertemu siapa pun di sini pada malam seperti ini."
"Malam ini memang sedikit suram," sahut Alexandra, mencoba mencairkan ketegangan di udara. "Tapi sepertinya hujan ini akan terus berlangsung." Dia melirik ke arah langit yang gelap, di mana awan hitam terus berkumpul di atas.
Ethan mengangguk setuju. "Ya, sepertinya begitu."
Keduanya terdiam sejenak, merasa canggung dengan keheningan yang menggantung di udara. Namun, kemudian Alexandra menyadari bahwa mungkin inilah kesempatan baginya untuk memulai percakapan.
"Namaku Alexandra," ucapnya, mencoba menawarkan senyuman ramah meskipun basah kuyup oleh hujan. "Tapi lebih sering dipanggil Alex. Dan kamu?"
Ethan mengangkat alisnya sedikit, seolah-olah terkejut oleh keberanian Alexandra untuk memulai percakapan. Namun, akhirnya dia juga tersenyum. "Ethan," jawabnya singkat. "Senang bertemu, Alex."
Senyum Alexandra melebar. "Senang bertemu juga, Ethan."
Meskipun cinta mereka masih menyala, Alexandra dan Ethan terpisah oleh dinding-dinding emosi yang mereka bangun untuk melindungi diri mereka sendiri. Rasa sakit yang tak terucapkan mencegah mereka dari menyatukan hati mereka sekali lagi.
Di dalam hati mereka, pertanyaan dan keraguan terus berputar, memenuhi ruang yang seharusnya dipenuhi oleh cinta yang penuh kepercayaan. Alexandra, dengan matanya yang berkaca-kaca oleh tetesan hujan, berhenti sejenak di depan pintu rumah tua itu. "Ethan," gumamnya pelan, meskipun suaranya hampir tenggelam dalam deru hujan. "Apakah kita pernah benar-benar saling memahami?" Pertanyaannya terbawa angin, mencari jawaban yang entah di mana.
Dalam upaya untuk menyampaikan perasaan mereka satu sama lain, Alexandra dan Ethan terjebak dalam percakapan yang terputus-putus. Mata mereka saling bertemu, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan di bibir masing-masing.
Namun, keheningan yang menggantung di antara mereka terasa begitu berat, seperti beban yang tak terlalu mudah diangkat. Alexandra mencoba membuka mulutnya, tetapi kata-kata terasa terjebak di kerongkongannya, dan dia hanya bisa menghela nafas dengan berat. "Ethan," panggilnya dengan suara gemetar, mencoba untuk menahan emosinya yang meluap-luap.
"Aku..." Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, suara gemuruh petir memecah keheningan malam, membuat mereka berdua terkejut. Ethan menatap Alexandra dengan penuh penyesalan di matanya, berharap bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang terbenam dalam hatinya.
"Alexandra, aku..." desisnya perlahan, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya saat dia melihat ekspresi campur aduk di wajah Alexandra. Wajah mereka saling mencerminkan kebingungan dan kerinduan yang sama, tetapi ketika mereka mencoba mengekspresikan perasaan itu, mereka hanya bisa menemukan kehampaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Lalu
Подростковая литератураMasa lalu yang selalu terngiang dalam menjalani kehidupan. Apakah Alexandra akan sanggup?