Setiap momen bersama menjadi kesempatan yang hilang untuk memperbaiki hubungan mereka yang retak. Di antara heningnya suasana, terdengar suara langkah kaki yang berat mendekati. "Kita harus bicara," ujar Ethan dengan suara serius, mencoba menembus kebisuan yang menyelimuti mereka.
Alexandra mengangguk perlahan, matanya masih dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. "Aku tahu," sahutnya pelan, suaranya terdengar rapuh di tengah gemuruh hujan yang masih menggema di luar. "Tapi bagaimana kita bisa memperbaikinya?" tanyanya ragu, mencari jawaban yang tak kunjung tiba. Ethan menghela nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Kita harus saling percaya dan berusaha memahami satu sama lain. Kita harus belajar dari kesalahan dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya lagi."
Alexandra menatapnya, matanya mencari kejujuran di balik kata-kata yang diucapkannya. "Apa kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaikinya?" desaknya dengan nada harap. Ethan menggenggam tangannya dengan erat, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. "Selama kita masih saling mencintai dan bersedia berjuang, maka tidak ada yang tidak mungkin," jawabnya mantap, mencoba memberikan sedikit harapan di tengah badai kebingungan yang melanda mereka.
Dalam momen yang tak terduga, Alexandra merasakan keputusan penting yang harus diambil: meninggalkan Paris dan mencari kesempatan baru di tempat lain. Di tengah hiruk-pikuk kota, di bawah cahaya gemerlap malam, dia duduk sendiri di balkon apartemennya, merenungkan langkah besar yang akan diambilnya.
Sejenak, dia terdiam, membiarkan angin malam menyapu rambutnya yang basah oleh guyuran hujan sepanjang hari. Menggigit bibirnya, dia berbisik pada dirinya sendiri, "Aku harus pergi."
Saat itu, ponselnya berdering, menyadarkannya dari lamunan. Dengan ragu, dia mengangkatnya, dan suara lembut Ethan terdengar di seberang sana, "Alex, apa kabar?"
Alexandra menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku baik, Ethan. Tapi aku perlu berbicara denganmu."
"Ethan bisa merasakan kegugupan di balik suara Alexandra. "Tentang apa?"
"Tentang kita, Ethan. Tentang masa depan kita," kata Alexandra dengan hati-hati.
Percakapan itu berlanjut, dengan kata-kata yang diucapkan dan emosi yang tersirat di antara keduanya. Terkadang mereka tertawa, mengingat kenangan manis yang pernah mereka bagikan, dan terkadang, suasana menjadi hening, dipenuhi dengan keraguan dan ketidakpastian.
"Ethan, aku harus pergi," kata Alexandra akhirnya dengan suara lembut. "Aku butuh waktu untuk menemukan diriku lagi, untuk menemukan arti hidupku tanpa kamu."
Ethan terdiam sejenak, meresapi kata-kata Alexandra. "Aku mengerti," katanya akhirnya dengan suara yang hampir tercekat oleh emosi. "Aku akan merindukanmu, Alex."
"Dan aku juga akan merindukanmu, Ethan," sahut Alexandra, suaranya hampir terputus oleh tangis yang menahan di kerongkongannya. "Tapi ini yang terbaik untuk kita berdua."
Dengan perpisahan yang mendalam, mereka menutup panggilan itu, meninggalkan Alexandra dengan keputusan yang telah diambil, namun hati yang berat.
Alexandra meninggalkan Paris tanpa pamit kepada Ethan, meninggalkannya dalam kehampaan yang lebih dalam dari sebelumnya. Matahari terbenam di langit Paris, mencerminkan kepedihan yang dalam di hati mereka berdua.
Langit senja itu seolah-olah menjadi saksi bisu dari perpisahan yang penuh rasa sakit. "Aku tidak bisa melihatnya pergi lagi," gumam Ethan, tatapan matanya terpaku pada cahaya senja yang semakin memudar. "Dia harus tahu betapa sakitnya aku kehilangannya," tambahnya dengan suara tercekik. Namun, kata-kata itu hanya berdengung di udara kosong, tanpa ada jawaban dari Alexandra yang telah pergi tanpa jejak.
Ketika mereka berdua merenungkan kehilangan yang mereka alami, hati mereka terasa retak dan terluka. Mereka menyadari bahwa bahkan cinta mereka yang begitu kuat tidak bisa menyelamatkan mereka dari rasa sakit dan kekosongan yang menghantui.
"Bagaimana kita bisa melewati ini, Ethan?" tanya Alexandra, suaranya gemetar oleh emosi yang meluap.
Ethan menatapnya dengan penuh kasih sayang, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menghibur pasangannya. "Aku tahu ini sangat sulit, Lex. Kita mungkin tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, tapi kita bisa saling mendukung dan menguatkan satu sama lain."
Alexandra menangis lebih keras, membiarkan air mata mengalir bebas di pipinya. "Tapi rasanya begitu berat, Ethan. Bagaimana kita bisa melanjutkan hidup tanpa dia?"
Ethan merangkulnya erat-erat, mencoba memberikan sedikit kenyamanan dalam pelukan hangatnya. "Kita akan melewati ini bersama, Lex. Kita akan menemukan kekuatan dalam cinta kita dan menghadapi masa depan dengan tekad yang sama-sama kuat. Kita tidak sendirian, aku akan selalu ada untukmu."
Alexandra merasakan ketenangan dalam pelukan Ethan, merasakan bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya melawan rasa sakit yang mendalam. Meskipun kehilangan itu terasa begitu menyakitkan, ada sedikit cahaya harapan yang mulai bersinar di ujung terowongan gelap mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Lalu
Teen FictionMasa lalu yang selalu terngiang dalam menjalani kehidupan. Apakah Alexandra akan sanggup?