Dalam kehampaan yang memendam, Alexandra merenungkan pilihan-pilihan yang dia buat dan kesempatan yang dia lewatkan. Di dalam hatinya yang hancur, gelombang emosi merayap, memenuhi ruang kosong dalam pikirannya. Matanya yang perih mencoba menembus hujan, mencari jawaban di tengah rintik-rintik air yang memenuhi udara.
"Mengapa semua ini terjadi?" desahnya pelan, suaranya terbawa angin dan bergabung dengan suara hujan. "Apa yang salah dengan pilihan-pilihan yang aku buat?" Tapi jawaban tak kunjung datang, kecuali gemuruh petir yang semakin dekat, seakan menambah ketidakpastian dalam keputusan yang telah dia ambil.
Sesekali, kilatan cahaya memperjelas wajahnya yang terhanyut dalam duka, menciptakan bayangan yang gelap di langit malam yang berkabut. "Mungkin aku bisa melakukan sesuatu yang berbeda," gumamnya pada dirinya sendiri, berharap suara itu akan menenangkan pikirannya yang kacau. Tetapi dalam kesepian malam yang terus berdentang, suaranya terasa terdengar seperti desahan yang terhanyut oleh angin.
Dia terus melangkah, meskipun langkahnya terasa berat dan tak pasti. "Ada harapan di luar sana, bukan?" lanjutnya, mungkin lebih kepada alam daripada pada dirinya sendiri. Tetapi, hanya suara hujan yang menjawab, memenuhi keheningan malam dengan gemericik yang tanpa henti.
Dalam upaya untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, Alexandra memulai pencarian arti kehidupan yang lebih dalam. Dia merasa seperti terombang-ambing di lautan emosi yang tak berujung, dan setiap langkah yang diambilnya terasa berat seperti memikul beban yang tak terhingga.
Namun, keputusannya untuk mencari jawaban di tempat-tempat yang penuh dengan keheningan dan ketenangan menandai awal dari perjalanan yang menjanjikan.
Saat dia berjalan melewati hutan yang rimbun, suara gemericik air sungai yang mengalir menjadi teman setianya. Dia berhenti sejenak, menatap air yang mengalir dengan penuh kontemplasi. "Apa arti semua ini?" gumamnya pelan, mengharapkan jawaban yang tak kunjung datang.
Tanpa disadarinya, kata-kata itu terbawa angin yang berbisik di antara pepohonan, mungkin sebagai sinyal bahwa jawaban sedang dalam perjalanan untuk ditemukan.
Kemudian, di tepi danau yang tenang, Alexandra duduk bersila dengan tatapan kosong, membiarkan pikirannya melayang jauh. "Kenapa aku merasa seperti kehilangan arah?" renungnya, suaranya hampir terdengar di antara desiran angin.
Di balik diamnya, suara burung yang berkicau menambah latar belakang dari introspeksi dirinya yang mendalam. Sesekali, Alexandra bertutur kepada dirinya sendiri, mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikirannya.
Namun, jawaban tak selalu datang dalam bentuk kata-kata. Kadang-kadang, jawaban itu hadir dalam momen-momen kecil yang terjadi di sekitarnya. Mungkin dalam keindahan bunga yang mekar di tepi jalan, atau dalam kehangatan senja yang merangkul dunia dengan lembut.
Alexandra belajar untuk merangkul momen-momen itu, menyadari bahwa keindahan hidup bisa ditemukan bahkan di tengah kegelapan.
Ketika Alexandra mulai menyembuhkan luka-lukanya, dia menemukan kembali cinta yang telah dia lupakan: cinta untuk seni lukis. Di sebuah studio kecil di sudut kamarnya, Alexandra menghadirkan kembali palet cat dan kanvas kosongnya.
Dengan setiap sapuan kuas, dia merasakan kehidupan kembali mengalir ke dalam dirinya, seperti warna-warna yang memenuhi kanvas putih, menciptakan gambar yang indah. "Seni adalah obatku," gumam Alexandra sambil melanjutkan pekerjaannya. "Ini yang membuatku merasa hidup lagi."
Tiba-tiba, suara dering telepon mengganggu keheningan studio. Alexandra menghentikan lukisannya dan mengambil telepon. "Halo?" sapanya, sedikit terengah-engah setelah menghela napas. "Ya, ini Alexandra."
"Saudari Alexandra, ini Marvin dari galeri seni lokal," suara pria itu bersinar di seberang telepon. "Kami telah melihat beberapa karya Anda yang luar biasa dan kami ingin mengundang Anda untuk memamerkannya di pameran seni minggu depan. Apa Anda tertarik?"
Alexandra terdiam sejenak, hampir tidak percaya pada apa yang dia dengar. "Oh, ya, tentu! Saya sangat terhormat dan senang menerima undangan tersebut," jawabnya dengan antusias. "Terima kasih banyak!"
Setelah menutup telepon, Alexandra kembali ke lukisannya dengan senyum ceria di wajahnya. "Ini adalah kesempatan yang saya tunggu-tunggu," katanya pada dirinya sendiri. "Mungkin lukisan saya bisa menjadi jendela bagi orang lain untuk melihat ke dalam jiwa saya, seperti yang saya rasakan."
Meskipun dia mulai menemukan kedamaian dalam seni, Alexandra masih dihantui oleh rasa bersalah dan penyesalan akan kehilangan Ethan. Setiap langkahnya dipenuhi dengan bayangan masa lalu yang menyiksa, seperti hantu yang tak pernah meninggalkannya.
Saat hujan semakin deras, dia merasakan sentuhan dingin tetesan air di wajahnya, hampir seakan-akan alam ingin menyapanya dengan lembut, meskipun ia tahu kedukaan yang merayap dalam hatinya takkan pernah hilang begitu saja.
"Alexandra, kau baik-baik saja?" tanya seorang tetangga yang terkejut melihatnya berlari ke arah rumah tua itu.
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Alexandra dengan terengah-engah, mencoba menahan emosi yang kembali memenuhi dadanya.
"Apakah kau yakin? Sepertinya kau terlihat sedikit terguncang," ujar tetangganya dengan simpati.
Alexandra menarik napas dalam-dalam, mencoba menyingkirkan bayang-bayang kegelapan yang menyelimuti pikirannya. "Aku hanya butuh sedikit waktu untuk sendirian," ucapnya pelan, suaranya hampir teredam oleh suara hujan yang semakin menggila.
"Tentu, aku mengerti," kata tetangganya, "Tapi jangan ragu untuk memanggilku jika kau butuh bantuan, baik?"
Alexandra mengangguk lemah sebagai tanda terima kasih, sebelum melangkah masuk ke dalam rumah tua itu, meninggalkan tetangganya yang memandanginya dengan keprihatinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Lalu
Teen FictionMasa lalu yang selalu terngiang dalam menjalani kehidupan. Apakah Alexandra akan sanggup?