Dalam kegelapan malam yang menyelimuti, Alexandra duduk sendirian di tepi tempat tidur, merenungkan masa depan yang suram tanpa cinta James. Cahaya gemerlap bintang-bintang di langit malam hanya menambah kesepian yang menghantui pikirannya. Hati dan jiwanya terasa hampa, dan dia merasa seperti terjebak dalam lingkaran kesedihan yang tak berujung.
Tiba-tiba, suara gemuruh petir menggelegar di kejauhan, seolah-olah alam sendiri mencerminkan keadaan hatinya yang gelap.
"Kenapa semua ini harus terjadi?" gumam Alexandra dengan suara yang penuh keputusasaan, matanya terpaku pada cahaya gemerlap di luar jendela yang kontras dengan kegelapan di dalam hatinya.
Tidak ada jawaban yang datang, kecuali suara hujan yang semakin deras membasahi tanah di luar. "Mungkin ini adalah bagian dari perjalanan hidup," ia berbisik pada dirinya sendiri, meskipun suaranya hampir tenggelam oleh dentuman petir. "Mungkin ada keindahan yang tersembunyi di balik setiap kesedihan yang kita alami."
Namun, kata-kata itu tidak mampu meredakan rasa hampa dan kekosongan yang dirasakannya. Alexandra terduduk termangu di tempat tidurnya, mencoba menggenggam sedikit harapan di tengah badai emosinya yang mengganas. "Mungkin... mungkin ada cahaya di ujung lorong," ujarnya pelan, seakan-akan mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Di kafe kecil di sudut kota yang sunyi, Alexandra duduk sendirian di sudut, menyeruput secangkir kopi hangat sambil memperhatikan hujan yang mengguyur jendela. Tiba-tiba, pandangannya terpaku pada seorang pria yang masuk ke kafe dengan langkah mantap. Sorot matanya yang dalam menarik perhatian Alexandra, membuatnya penasaran tentang latar belakang pria itu.
"Ehm, maaf, apakah kursi ini masih kosong?" tanya pria itu sopan, sambil menunjuk ke kursi di seberang meja Alexandra.
Alexandra mengangguk sambil tersenyum, "Tentu, silakan duduk."
Pria itu tersenyum ramah saat duduk di kursi di seberang Alexandra, "Terima kasih banyak."
"Maukah Anda minum sesuatu?" tawar Alexandra, mencoba memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.
Seolah merasa lega dengan tawaran Alexandra, pria itu mengangguk, "Segelas kopi hitam akan sangat menyenangkan, terima kasih."
Saat Alexandra memesan kopi untuknya, pria itu menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, "Jadi, apa yang membawa Anda ke kafe ini di tengah hujan seperti ini?"
Alexandra tertawa ringan, "Saya hanya mencari tempat yang tenang untuk merenung sejenak."
"Pernahkah Anda merenung di sini sebelumnya?" tanya pria itu, menunjukkan ketertarikannya pada kehidupan Alexandra.
Alexandra menggelengkan kepala, "Tidak, ini pertama kalinya saya ke sini. Bagaimana dengan Anda?"
"Panggil saja saya Ethan. Saya juga baru pertama kali ke sini. Saya pikir hujan ini membawa kita berdua ke tempat yang sama," ujar Ethan sambil tersenyum.
Alexandra merasa hangat dengan kehadiran Ethan dan percakapan mereka yang menyenangkan. Meskipun awalnya ragu untuk membuka diri, dia merasa nyaman bersama Ethan, seolah-olah mereka telah saling mengenal selama bertahun-tahun.
Alexandra dan Ethan merasakan getaran aneh yang tak bisa mereka pahami, sesuatu yang mengikat mereka dalam lingkaran emosi yang rumit. Di antara tatapan penuh tanda tanya dan senyum yang tersembunyi, mereka merasakan kehadiran yang menguatkan satu sama lain, bahkan jika luka masa lalu masih terasa dalam keheningan.
"Kita berdua telah melalui banyak hal," kata Alexandra dengan suara lembut, matanya menatap jauh ke kejauhan. "Tapi sepertinya takdir terus membawa kita bersama."
Ethan mengangguk, senyum kecil melintas di bibirnya. "Kita memang memiliki ikatan yang aneh, bukan?"
"Apa yang kita rasakan adalah sesuatu yang sulit dijelaskan," sahut Alexandra, mencoba merangkul perasaannya yang terombang-ambing. "Tapi aku merasa nyaman di dekatmu, seperti aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya."
Ethan menatap Alexandra dengan penuh makna. "Aku juga merasa begitu. Kita bisa menjadi diri kita yang sebenarnya tanpa takut dihakimi oleh masa lalu."
Di antara tetes-tetes hujan yang terus turun di luar jendela, mereka saling menatap dengan penuh keyakinan, menyadari bahwa perasaan yang mereka bagi bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan luka.
Di dalam hatinya, Alexandra merasa terbagi antara masa lalu yang terluka dengan James dan kehadiran yang menjanjikan dengan Ethan. Setiap detik terasa seperti pertarungan yang tak kunjung berkesudahan antara keinginannya untuk melupakan luka masa lalu dan harapannya untuk membangun masa depan yang lebih cerah. Saat dia menutup pintu rumah tua yang rapuh itu, helaan napasnya terasa berat, seolah-olah dia membawa beban seluruh dunia di pundaknya.
"Kenapa hidup harus serumit ini?" gumam Alexandra pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapapun. Suaranya terselip di antara gemuruh hujan yang masih berlangsung di luar, seolah-olah alam pun turut meresapi kebingungannya.
"Saya tidak tahu, Alex," jawab suara halus yang membuat Alexandra berpaling kaget. Di ujung ruangan, duduk di kursi kayu tua, seorang wanita tua dengan senyum lembut menatapnya dengan penuh pengertian. "Tapi satu hal yang pasti, setiap ujian yang kita hadapi membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat."
Alexandra menelan ludah, menerima kata-kata bijak dari wanita yang tak dikenalnya itu. "Tapi bagaimana jika saya takut memilih, Bu? Takut salah lagi."
Wanita tua itu tersenyum sambil mengangguk. "Ketakutan itu wajar, Alex. Tapi ingatlah, kita tak pernah bisa maju jika terus terpaku pada ketakutan. Terkadang, langkah pertama menuju kebahagiaan adalah melepaskan beban masa lalu dan membiarkan hati membimbing kita pada jalan yang benar."
Alexandra mengangguk, seolah-olah kata-kata wanita itu menembus kedalam hatinya yang kini berada dalam kebimbangan. "Terima kasih, Bu," ucapnya dengan suara serak, terdengar jauh lebih berani daripada sebelumnya.
Wanita tua itu tersenyum dan mengangguk penuh pengertian. "Semoga langkahmu berikutnya membawamu pada kebahagiaan yang sejati, Alex. Percayalah pada dirimu sendiri, dan segala sesuatu akan berjalan sesuai rencana-Nya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Lalu
Teen FictionMasa lalu yang selalu terngiang dalam menjalani kehidupan. Apakah Alexandra akan sanggup?