6

4 0 0
                                    

Dalam perjalanan yang panjang dan penuh pertanyaan yang menghantui pikirannya, Alexandra merasa seperti sedang mencari kembali potongan-potongan dirinya yang hilang. Tiap langkahnya terasa begitu berat, seakan menuntunnya ke arah yang tak pasti.

 "Apakah aku harus memaafkannya?" gumamnya pelan pada dirinya sendiri, suara ragu terdengar jelas di tengah heningnya perjalanan. Di sepanjang jalan, langit masih bertanya-tanya, tidak memberikan jawaban yang jelas pada pergumulan batin yang terus-menerus mengganggunya.

Di tengah perjalanan, sebuah warung kecil di pinggir jalan menarik perhatiannya. "Mungkin aku perlu istirahat sebentar," gumam Alexandra pada dirinya sendiri, mengangkat pandangannya ke arah langit yang terus saja menangis. Dengan langkah gontai, dia memasuki warung itu, mencari tempat duduk yang nyaman di sudut ruangan.

Tidak lama kemudian, seorang pria tua yang duduk di meja sebelahnya memperhatikan wajah Alexandra yang tampak lelah. "Apakah kamu baik-baik saja, anak muda?" tanyanya dengan suara lembut, tatapannya penuh kepedulian. Alexandra mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa berat. "Saya rasa saya sedang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang saya miliki," ujarnya dengan suara lembut, mencoba menjelaskan perasaannya kepada orang asing tersebut. 

Pria tua itu tersenyum, seolah memahami betul perjuangan yang sedang dilalui Alexandra. "Terkadang, jawaban yang kita cari tidak selalu kita temukan di tempat yang kita harapkan," ujarnya bijaksana, mengambil segelas teh hangat untuk Alexandra. "Tapi teruslah berjalan, anak muda. Jawaban itu akan datang pada waktunya."

Kata-kata pria tua itu seperti angin segar bagi Alexandra. Meskipun tak sepenuhnya menghilangkan rasa bingungnya, setidaknya dia merasa sedikit lebih ringan. "Terima kasih, Pak," ucap Alexandra dengan tulus, tersenyum pada pria tua itu yang telah memberikan dukungan dan harapan. Perjalanan mencari diri yang hilangnya mungkin belum berakhir, tapi setidaknya sekarang dia merasa sedikit lebih siap untuk melanjutkan langkahnya.

Meskipun jarak telah memisahkan mereka, bayangan cinta yang pernah mereka miliki masih terus menghantui Alexandra. Setiap sudut kota di mana mereka pernah berbagi momen-momen manis bersama penuh dengan kenangan yang tak terlupakan. Saat dia berjalan melewati taman yang pernah menjadi saksi bisu dari tawa mereka, dia merasa sepasang mata yang mengintip dari balik pohon-pohon yang sudah dikenalnya begitu baik. 

"Ethan..." gumamnya pelan, mencoba merasakan kehadiran bayangan yang sudah lama dia rindukan. Langkahnya terhenti di depan bangku tempat mereka sering duduk berdua, dan dengan hati yang berdebar, dia melihat sesosok bayangan melintas dalam ingatannya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Alexandra?" sebuah suara lembut menyela lamunan Alex. Dia menoleh dan menemukan seorang pria berdiri di depannya dengan senyuman hangat di wajahnya. "Ethan?" serunya terkejut, hatinya berdebar kencang.

"Ya, aku. Aku baru saja melewati taman ini dan tiba-tiba saja teringat akan semua kenangan indah yang kita bagikan di sini," jawab Ethan sambil tersenyum, matanya bersinar penuh nostalgia.

Alexandra terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Ethan meresap ke dalam hatinya. Akhirnya, dia tersenyum pahit. "Aku juga, Ethan. Aku juga," katanya pelan, suaranya dipenuhi oleh rasa rindu yang tak terungkapkan.

Dengan hati yang gemetar, Alexandra memutuskan untuk mencari kembali Ethan, mencoba memperbaiki hubungan yang terputus. Langkah-langkahnya tergesa-gesa memasuki kafe tempat terakhir kali dia bertemu Ethan. Dia berharap bisa menemukan jejak lelaki yang selalu menyentuh hatinya dengan lembut. Namun, meja yang biasanya ditempati Ethan kosong, dan setiap sudut kafe tampak sepi.

"Maaf, apakah kamu sudah melihat Ethan?" tanyanya pada pelayan kafe dengan suara gemetar.

Pelayan itu menggeleng sambil menatapnya penuh simpati. "Maaf, Miss. Dia tidak muncul di sini sejak beberapa hari yang lalu."

Alexandra menghela nafas, merasakan keputusasaan semakin memenuhi dadanya. "Terima kasih," ucapnya lirih pada pelayan sebelum meninggalkan kafe dengan langkah yang lesu.

Dia mencoba menelepon Ethan, tapi panggilan itu terus tak dijawab. Setiap kali nomor Ethan tidak aktif, rasa khawatirnya semakin memuncak. Hatinya berdebar keras dalam ketidakpastian, dan dia merasa hampir putus asa. Sesekali, dia melihat-lihat setiap sudut jalan, berharap melihat Ethan muncul di kejauhan. Namun, semuanya sia-sia.

Dalam upayanya untuk menemukan Ethan, Alexandra menyusuri jejak-jejak yang telah mereka tinggalkan bersama. Langkahnya terhenti di sebuah taman kecil yang pernah menjadi saksi bisu dari canda tawa mereka.

Dia berdiri di antara pepohonan yang kini tergenang oleh hujan, membiarkan tetes-tetes air menghapuskan jejak-jejak luka yang telah mereka tinggalkan. "Ethan," bisiknya perlahan, suaranya terselip di antara suara hujan yang menggema. "Di mana kau sekarang?" Namun, hanya angin yang menjawabnya dengan dingin, membuatnya semakin terasa kesepian.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tidak asing terdengar di belakangnya. Alexandra berbalik cepat, hatinya berdebar kencang ketika melihat seseorang yang dulu begitu ia cintai. "Ethan?" panggilnya dengan nada campuran antara harapan dan ketakutan.

"Ey, Ali," sapa Ethan, senyumnya terlihat pucat di tengah cahaya redup hujan. "Apa kabar?"

"Baik-baik saja," jawab Alexandra, berusaha menyembunyikan gejolak emosinya di balik senyumnya. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Ethan menghela nafas, tatapan matanya bergerak antara hujan dan wajah Alexandra. "Aku sedang berusaha menemukanmu," ujarnya dengan suara yang penuh penyesalan. "Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Ali. Kita harus bicara."

Alexandra terdiam sejenak, mencerna kata-kata Ethan dengan hati yang terombang-ambing antara kebahagiaan dan kesedihan. "Ada apa, Ethan?" desaknya, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Ey, maafkan aku," ucap Ethan dengan suara penuh penyesalan. "Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku merindukanmu, Ali. Bisakah kita bicara?"

Dalam detik itu, hujan yang turun semakin lebat seolah menyatu dengan air mata yang tak terbendung di mata Alexandra. Dia hanya bisa mengangguk lemah, membiarkan kata-kata mereka menjadi benang merah yang membawa mereka kembali pada titik awal yang penuh rasa.

Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang