Awal Rumah

1.3K 266 89
                                    

(Tian)

.

.

Setelah gue berhasil ngebuat Dimas batal belanja di toko—nggak, itu mall furnitur, barang-barangnya mahal-mahal anjir. Lagian itu orang, freak banget. Masa satu show room dengan segala isiannya ikut dibeli juga! Iya kali gue butuh pajangan-pajangan kek gitu.

Gue ngehela napas.

"Kenapa kok dari tadi keliatan capek banget?" tegur Mas Deni, terus Mas Deni geser kursinya ke kursi gue.

"N-Nggak kok Mas, nggak kenapa-kenapa."

"Septian, kamu dipanggil Bu Steffi ke ruangannya!" suara Bu manager dari tempat duduknya membuat gue kaget.

"I-Iya, Bu." Gue menjawab, Mas Deni narik kursinya dari sisi gue.

"Tian," panggil Mas Deni.

"Ya, Mas?" Gue menghentikan langkah gue jalan keluar ruangan saat Mas Deni manggil nama gue.

Aneh, Mas Deni cuma diem aja meski gue udah menjawab panggilan dia. Dia cuma ngeliatin muka gue, bikin gue ama dia saling beradu tatapan.

"Nggak papa," lanjut Mas Deni sambil senyum terus balik lagi ke depan laptopnya. Gue cuma anggukin kepala, melenggang keluar dari ruangan. Tapi pikiran dan firasat gue nggak nyaman. Apalagi setelah kemarin Bu Firda nanyain gue soal kenapa Bu Steffi sering banget minta gue ke ruangannya. Mereka pasti mikir yang enggak-enggak, mana gue juga masih baru banget kerja di sini...

Apa sebaiknya gue bilang ke Bu Steffi, ya? Gue nggak pingin bikin masalah di sini... atau gue yang terlalu overthinking?

Setibanya di depan ruangan Bu Steffi, gue ngetuk pintu ruang kerja Bu Steffi, suara Bu Steffi nyuruh gue masuk pun bisa gue denger dari luar. Gue ngebuka pintu dan ngintip duluan sebelum semua badan gue masuk.

"Masuk, Tian."

Gue pun masuk ke dalam ruangan, nutup pintu ruangan Bu Steffi dan jalan nyamperin Bu Steffi.

"Duduk dulu," ujar Bu Steffi, dengan canggung gue pun duduk.

"Ada apa ya, Bu?" tanya gue.

"Kemarin kamu pergi ama si Adek liat furnitur buat isi rumah, kan?"

"Iya, Bu. Tapi jangan khawatir, Bu. Saya nggak beli apa-apa, nggak pake uang Dimas untuk beli apa-apa, Bu." Gue menimpali.

"Iya, tau kok. Karena kamu nggak mau beli apa-apa, sekarang Dimas ngambek tuh."

"Eh?"

Lha si Dimas ngapain ngambek?? Gue bingung denger apa yang Bu Steffi bilang ke gue. Bu Steffi nggak ngelanjutin kata-kata dia, tapi dia langsung ngeluarin amplop putih dari mejanya dan nyodorin amplop itu ke arah gue.

"Ini apa, Bu?"

"Buka aja."

Gue ngambil amplop itu, ternyata nggak dilem jadi dengan mudah gue bisa ngebuka amplop dan ngeluarin isi amplop yang adalah kartu macem kartu ATM.

"Itu kartu kredit yang bisa kamu pakai buat belanja furnitur rumah," ujar Bu Steffi.

Dengan cepat gue masukin kartu itu balik ke amplop dan nyodorin kartu itu balik ke Bu Steffi. "Saya nggak bisa terima, Bu. Udah banyak kebaikan Ibu dan Bapak ke saya..." ujar gue.

"Tian, rumah itu bukan punya kamu loh."

Gue natap Bu Steffi, Bu Steffi ngelipat tangannya di depan dada, wajah cantiknya berubah cantik kesel galak-galak gitu menatap gue.

"Rumah itu kami sewain ke kamu, artinya kami punya hak juga buat minta kamu belanja furnitur buat ngisi rumah itu. Furnitur itu ke depannya bukan punya kamu, kamu cuma pilih mana yang pas buat kamu, yang kamu butuhin untuk tinggal di sana."

OFFICE IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang