[Tian]
.
.
"Lu mau, kan?" tanya Dimas sambil natap gue dengan mata penuh harap.
Gue nggak punya alasan buat nolak tawaran orang tua Dimas, ini bener-bener solusi yang gue cari. Tapi gue juga ngerasa nggak pantes memanfaatkan mereka kayak gini, terlebih lagi gue nggak nyaman juga karena pilihan gue sendiri, udah jadi konsekuensi yang harus gue tanggung kan.
"Boleh nggak gue minta waktu buat mikirin soal ini?" tanya gue.
"Ada yang lu nggak suka kah Tian?" tanya Dimas, pertanyaan gue dibales ama pertanyaan lainnya.
"Adek," Bunda Dimas manggil Dimas, seolah secara lembut negur Dimas buat nggak maksain kehendaknya.
"Boleh aja, Tian. Ini juga keputusan penting buat kamu, ada baiknya kamu mungkin pikirin ini baik-baik dulu." Ayah Dimas menimpali, membuat Dimas menarik dirinya dari gue dan gue bisa denger Dimas ngehela napasnya. "Kamu nggak perlu cemas, seperti yang tadi Om bilang, rumah ini nggak ada yang nempatin, jadi waktu kamu udah dapet keputusan, kabarin kami aja."
Gue anggukin kepala, "makasih banyak, Om, Tante," ujar gue terus noleh ke Dimas, "makasih banyak Dim."
Dimas pun anggukin kepalanya. "Tapi gue harap lu nggak nolak, lu nggak perlu sungkan, Tian!" ujar Dimas, "Yang penting lu nggak kepikiran mulu soal lingkungan lu... gue nggak pingin lu sakit lagi," lanjut Dimas.
"O-Oke, gue janji nggak akan sungkan ato pun kepikiran mulu," bales gue. Gimana pun juga gue pasti bikin Dimas khawatir, hari ini pun udah bener-bener ngerepotin dia. "Gue meriang bukan karena masalah Mozaz kok, kebetulan aja kemaren abis ngelembur mungkin jadi meriang."
"Bunda!" tiba-tiba Dimas noleh ke Bundanya, Bundanya pun keliatan kaget dipanggil Dimas. "Bunda! Kenapa Tian harus lembur sih? Tian jadi kecapean nih!" protes Dimas.
"Di-Dim! Nggak gitu!"
Mampus gue...
Bunda Dimas pun ngelirik gue.
"Ke-Kemarin emang kerjaan gue belum beres, udah kewajiban."
"Pekerjaan itu nggak akan ada selesainya, kalo selesai berarti bangkrut kantor Bunda!" Dimas nekuk mukanya ke gue, "Bunda, siapa yang nyuruh Tian lembur?"
"Bu-Bunda nggak tau Adek," jawab Bundanya Dimas, "siapa yang minta kamu lembur, Tian??" tanya Bundanya Dimas ke gue.
"......." Kalo gue bilang Mas Deni, bisa-bisa Dimas minta Mas Deni dipecat! "Dibilang nggak ada, gue lembur murni pilihan gue."
Dimas nyipitin matanya, ngelitin gue seolah mau tau apa gue bohong atau nggak.
"Tian, lu kan naik sepeda pulangnya, semakin lu pulang malem-malem, semakin lu sering kena angin malem. Sekarang mungkin lu nggak ngerasain efeknya tapi angin malem itu nggak baik buat kesehatan. Paham?" Dimas ngelipat tangannya di depan dada.
"Iya, paham," jawab gue terus ngehela napas.
"Bener juga kata Adek," celetuk Ayahnya Dimas, "kamu masih naik sepeda ya?"
"Ma-Masih Om," jawab gue. Jangan bilang abis ini mereka juga beli mobil nggak kepake dan nyewain mobilnya ke gue lagi??
"Ada baiknya emang nggak terlalu sering pulang kemaleman," lanjut si Ayah. "Bunda, mungkin buat Tian ada baiknya bikin evaluasi jam kerja, pekerjaan yang sekiranya belum selesai jangan dipaksa kerja di kantor." Ayah Dimas ngasih saran.
"Iya, iya, Bunda bakal mantauin jam kerja Tian. Kalo ada kerjaan belum beres, kamu boleh bawa pulang aja, laptopnya dibawa pulang sekalian, kamu kerjain aja di rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
OFFICE IN LOVE
Romansa[Lanjutan Buku Mini Market in Love. Silakan baca Mini Market in Love terlebih dahulu.) Setelah Septian (Tian) bekerja di kantor Ibunda dari Dimas kekasihnya, banyak hal baru yang ia pelajari untuk mendukung pekerjaannya, namun di saat yang pula bany...