"Huh, seram apanya!" pemuda itu berkata pada pacarnya, "Rumah hantu ini payah sekali! Aku ingin uangku kembali!"
"Anata ... kamu serius nggak takut? Aku saja merinding dari tadi ..." gadis itu mendekat pada kekasihnya.
Seorang gadis yang berjalan di belakang mereka tertawa cekikikan, "Anak zaman sekarang tak mudah ditakuti ya?"
Pemuda itu menoleh.
"Ah, maaf Nona. Saya tidak tahu anda di belakang kami."
"Tak apa. Aku juga berpendapat sama kok. Rumah hantu ini sama sekali tak seram. Aku pernah mengalami cerita yang lebih seram."
"Hah, benarkah? Pengalaman nyata anda?"
"Tentu. Apakah kalian pernah mendengar cerita tentang sebuah resort?"
"Resort?" gadis itu tampak tertarik. "Belum pernah. Seperti apa ceritanya?"
"Apa benar kalian ingin tahu seperti apa ceritanya? Tidak menyesal?"
"Hahaha ... tak ada yang membuatku takut, Nona!" kata pemuda itu menyombong. "Ceritakan saja. Saya sangat ingin mendengar seberapa seram ceritanya."
"Iya," kekasih pemuda iu juga mengangguk, "Ayo ceritakan!"
Gadis itupun memulai ceritanya sambil tersenyum.
"Semua dimulai di sebuah senja di pantai yang terlihat damai. Namun itu hanyalah awal dari bencana yang akan kami alami."
***
Miki menatap lautan biru di hadapannya. Deburan ombak seolah menyanyi di kepalanya. Ia menatap jauh ke laut lepas, sementara pasir-pasir yang terbawa hempasan ombak seolah-olah menggelitik kakinya.
"Miki," sahabatnya, Yuka, memanggil, "Kita harus pulang sebelum sore."
"Ah, tak bisakah kita menunggu sampai matahari terbenam?" kata temannya yang lain, Haruna, sambil menggulung tikar yang tadi mereka pakai untuk piknik.
"Sebentar lagi malam." Taka, yang selalu dianggap sebagai pemimpin oleh teman-temannya menjawab, "Aku tak bisa melihat jalan kalau sudah gelap."
"Ah, kau ini," keluh Haruna, "padahal kan kita sudah jauh-jauh ke sini."
"Ini bukan Tokyo, Nona. Di sana tak masalah segelap apapun, aku masih hapal jalan."
"Tokyo tak pernah gelap." ujar Shun, pemuda berkacamata itu. "Sudahlah, Haruna. Berkemas-kemaslah. Kita bisa melihat senja dari atas mobil. Justru akan semakin jelas."
"Nah, tuh." goda Taka , "Dengarkan pacarmu itu!"
Haruna memukul bahu Taka, "Bocah culun itu bukan pacarku!"
"Haruna!" bisik Yuka dengan tajam, "Pelan-pelan, nanti dia dengar!"
Namun pandangan Shun masih terpaku pada buku yang ia baca.
"Kamu itu kenapa sih?" bisik Yuka, masih dengan raut muka kesal. "Kau bisa menyinggung perasaannya."
"Kalian itu yang kenapa! Ini seharusnya menjadi piknik yang keren, tapi mengapa kalian malah mengajak si kutu buku itu dan gadis aneh itu. Seharian dia hanya berdiri menatap laut, sama sekali tak berbicara dengan kita." Haruna menggerutu.
"Well, aneh atau tidak, Nona," kata Taka. "Miki tetaplah teman satu angkatan kita dan mau tidak mau kita akan berjuang bersama dia sepanjang semester ini."
Yuka menatap Taka, "Dia tidak aneh. Ia memang introvert. Orang-orang bahkan mengatakan ia punya indra keenam."
"Ah, kau dan empatimu, Yuka." Taka menghela napas, "Aku tahu kita mahasiswa psikologi, tapi nalurimu untuk menolong orang, terlalu overwhelming bagiku. Setauku indra keenam nggak akan banyak berguna jika kita tak bisa menggunakannya untuk melihat soal ujian semester depan."