Shun mengubur kembali mayat gadis yang ditabraknya dengan tanah.
"Maafkan aku, Haruna." Air mata menetes di pipinya, "Aku sungguh-sungguh tak sengaja ... namun jangan khawatir. Aku sudah mengetahui rahasia mereka. Aku akan membangkitkanmu kembali. Aku berjanji!"
Wajah cantik Haruna serasa bersinar memantulkan cahaya rembulan.
"Seharusnya aku mengajakmu tadi. namun aku tak percaya pada kalian." Shun mengelus pipi gadis yang sudah kaku itu. Rasanya dingin namun halus, seperti porselen. "Salah satu dari kalian adalah pembunuh psikopat. Aku tak tahu yang mana, namun sebaiknya aku tak mengambil resiko. Kau harus tahu, Haruna ... bukan aku yang membunuh Taka ..."
"Kyu-ai ... Kyu-ai ..."
Shun menoleh dan melihat makhluk-makhluk itu mengintip melalui pepohonan.
"Sial! Maaf Haruna, aku akan kembali lagi untukmu!" Shun bergegas masuk ke dalam mobil.
***
Dengan bersusah payah, Miki berhasil membawa Yuka kabur dari makhluk-makhluk itu. Mereka harus bersembunyi, namun tak ada tempat yang aman.
Kuil itu, Miki teringat. Jika ada kuil itu, mereka takkan masuk.
"Ayo, gunakan kekuatanmu, Miki!" bisiknya dalam batin, "Konsentrasi! Ah, di sana!"
"Ayo, Yuka!" ajak Miki, "Kita akan aman di rumah itu!"
Yuka dengan pasrah mengikutinya.
"Apa kau yakin, Miki? Bagaimana dengan Shun, Haruna, dan Masa-kun?"
Miki menatap Yuka dengan sedih, terutama ketika nama Masa-kun disebut. "Kita tak bisa melakukan apapun untuk mereka, Yuka. Yang bisa kita lakukan adalah bersembunyi di sini hingga fajar. Aku yakin cahaya akan mengusir makhluk-makhluk mengerikan itu."
Miki dan Yuka bersembunyi di dalam kegelapan, di balik dinding geser yang terbuat dari kertas.
Miki melubangi kertas di belakangnya dengan jarinya. Ia ingin melihat keadaan di luar.
Kosong. Hanya ada kegelapan malam di sana.
Miki tahu mereka aman di sini.
"Miki, kau berasal dari Kyoto, bukan?" tanya Yuka tiba-tiba. Sebelum itu, kesunyian telah menelan malam. Tak ada suara sedikitpun, bahkan jangkrik yang biasanya bernyanyi.
"Ya, kenapa memang?" Miki mengalihkan pandangannya dan menatap gadis itu. Mukanya sembab oleh air mata.
"Aku tak pernah pergi jauh dari Tokyo seumur hidupku." Yuka menatap Miki dengan wajah sendu, "Ada kuil yang sangat indah bukan di sana, di Kyoto?"
"Tak hanya kuil," Miki tersenyum mengingat kota asalnya, "Ada istana, taman Jepang, danau ..."
"Bisakah kita pergi ke sana jika kita keluar dari sini?"
"Tentu saja." Miki mengangguk.
"Aku ingin mengunjungi kuil itu. Aku tak pernah percaya Tuhan, namun setelah semua ini ..." Yuka menunduk sebentar, lalu kembali menatap Miki. Matanya berkaca-kaca, hampir menitikkan air mata. "Kita akan mengunjungi kuil itu bersama-sama ya?"
"Ya, dan kita juga akan berpiknik di tepi danau sambil menikmati musim gugur yang indah. Dan siapa tahu kita bisa bertemu cowok-cowok di sana"
Yuka tertawa, "Itu kedengarannya asyik."
Namun tawa mereka terhenti ketika mereka menyadari ada suara di belakang mereka.
"Ssssst ... kau dengar itu?" bisik Miki.