The Pastel Man

30 1 0
                                    

Anggaplah hal ini sebagai sebuah peringatan. Dalam keadaan paling lemah sekalipun –seperti yang saat itu terjadi padaku- katakan tidak pada Pastel Man. Tak perduli betapa kau mencintainya atas janji manisnya untuk menolongmu, resiko yang akan kau terima sungguh tak sebanding. Aku mengatakan ini dengan harapan agar kalian tidak melakukan kesalahan yang sama sepertiku di malam musim salju nan dingin itu, berlutut di samping tubuh ayahku yang sekarat di atas lantai ruang tamu.

Saat itu tahun 1997, saat dimana aku bertemu untuk pertama kalinya dengan mahluk yang satu ini. Sejak itu, tak ada satu hari pun yang kulalui tanpa dihantui oleh wajahnya dalam bayanganku. Saat itu aku masih remaja, namun sore itu merupakan awal dimana masa kecilku nan indah hancur –remuk dan terteror oleh iblis keji dengan kulit berwarna biru pucat.

Walau terjadi bertahun-tahun lalu, aku masih mengingat kejadian –pertemuan pertama- itu secara jelas. Aku masih ingat baju yang kami kenakan, toping pizza yang sedang kami santap, bahkan skor football yang sedang kami tonton. Saat itu menjelang pertengahan babak ketika kemudian bicara ayah mulai terdengar kacau, yang mana terlihat janggal karena beliau hanya menyesap satu kaleng bir saja sejak kick off. Yang lebih aneh lagi adalah saat mengingat bahwa di masa lalu, beliau masih bisa berkata dengan jelas walaupun telah menyikat habis enam karton bir untuk dirinya sendiri. Sungguh tak bisa dimengerti kenapa hanya dengan satu kaleng bir saja sudah bisa membuat ayah nampak begitu mabuk. Kemudian aku sadar bahwa semua itu bukanlah akibat dari alkohol saat separuh tubuhnya terlihat lemas terkulai dan kemudian, ayah merosot jatuh dari sofa. Dengan panik aku mencoba bertanya apakah beliau baik-baik saja,namun ayah mulai meracau. Aku segera meraih ponsel di meja dan menghubungi 911.

"911. Apa keadaan darurat anda?"

"Kurasa ayahku mengalami serangan stroke." Hanya pikiran itu yang terlintas sebelum kemudian operator menjawab.

"Ok, kami sudah mencatat alamat anda. Ambulan sudah dalam perjalanan dan akan segera datang. Apakah Ayah anda sadar?"

"Ya! T-tapi aku tak bisa mengerti perkataannya." Racauan semakin deras muncul dari bibir Ayah. Aku sangat khawatir. Hanya dia yang aku punya. Ibu telah meninggal saat aku masih bayi sehingga tidak ada kesempatan bagiku untuk mengenalnya lebih dekat. Ayahlah yang selalu ada untukku, berperan sekaligus sebagai sosok ibu. Jika aku sampai kehilangan ayah, maka aku akan sebatang kara.

"Serangan stroke bisa diatasi. Kabar baiknya adalah Ayah anda masih sadar – " Dan kemudian aku tidak mendengar kata-kata selanjutnya karena saat itulah aku menjatuhkan ponsel.

Saat itu aku merasa bahwa semua hal mengabur dan dunia sekitar menjadi senyap. Pertandingan di televisi, suara operator yang memberikan instruksi lewat ponsel, bahkan suara ayah saat dirinya menggeliat penuh penderitaan di atas karpet menjadi gambaran putih – seolah tersedot ke dalam dimensi lain saat kesadaranku akan sekitar menghilang. Perhatianku terfokus pada sebuah hal: sosok menjijikan nan aneh yang berdiri di dapur, menataku dan ayah dengan senyum ganjil yang menghiasi wajah menjijikannya.

Kepalanya nyaris menyundul atap dapur yang setinggi sembilan kaki. Dia mondar-mandir dengan gelisah seperti layaknya seorang bocah SD yang sedang menunggu bel pulang berbunyi sebagai isyarat dimulainya libur musim panas. Warna biru pastel yang menyelubungi seluruh tubuhnya –dari kepala sampai ujung kaki mengerikannya- tampak kusam dan berkeriput seperti selembar daun yang telah terpapar panas matahari selama berhari-hari. Tergantung pada lengannya yang kurus, terdapat sebuah tas dengan rajutan warna hitam. Benda itu dipindahkan dengan enteng dengan menggeser talinya oleh mahluk itu dengan menggunakan jemarinya yang panjang, sementara wajahnya menunjukan ekspresi tidak sabar.

Awalnya kupikir pikiranku kacau, dikarenakan melihat ayah yang mengalami stroke, namun setelah mahluk tersebut semakin mendekat denga merayap, aku mulai sadar bahwa apa yang kulihat bukanlah produk halusinasi. Dia menundukkan kepalanya saat memasuki ruang tamu dan menapakan kakinya yang kurus ke atas sofa. Walau mahluk tersebut bipedal (berdiri dengan dua kaki) namun saat bergerak, dia lebih memilih untuk merangkak. Dia berjalan mendekat dengan sikap layaknya seekor hewan buas yang sedang mengamati mangsanya. Siapa pun pastilah akan merasa ketakutan setengah mati melihatnya, namun senyum memuakan di wajahnya yang sangat mengerikan, jauh lebih membuatku berang daripada takut. Seolah-olah mahluk keparat itu menikmati penderitaan yang dialami ayah. Dia merangkak semakin dekat dan aku menggenggam tanga ayah dengan perasaan putus asa karena tidak bisa melindunginya. Mahluk itu kemudian berhenti hanya beberapa inchi dari diriku sebelum kemudian mengalihkan perhatiannya pada ayah.

Horror ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang