Anak Angkat | °11th•

13.4K 79 2
                                    

VERSI LENGKAP ADA DI PLAYSTORE & KUBACA

ANAK ANGKAT - 11th

Aku menggeliatkan tubuh ku yang terasa kaku karena kegiatan ku semalam bersama Papa angkat ku. Dengan setengah malas aku membuka kedua mata ku. Dan mendapati jika hari sudah pagi.

Aku melirik jam weker yang ada di atas nakas dan sontak membulat. Sudah hampir jam 7 pagi dan tidak ada yang membangun ku? Sial, aku benar-benar kesal sekali hari ini.

Tubuh ku yang masih terasa lemas dan lelah aku paksa untuk segera bangun. Tak mempedulikan kondisi ku yang masih polos, aku buru-buru berjalan menuju kamar mandi. Namun kesialan kembali menghampiri ku karena aku hampir saja jatuh.

Tak ingin membuang-buang waktu, aku bergegas membersihkan tubuh ku dengan cepat dan keluar dari kamar mandi hanya dalam waktu tidak kurang dari lima menit. Biarlah sekali-kali aku mandi bebek agar tidak telat masuk sekolah.

Aku menyambar satu set pakaian dalam berwarna powder blue. Memakainya dengan cepat sembari menatap penampilan ku di depan cermin. Biasanya aku akan berlama-lama memperhatikan lekuk tubuh ku yang indah ini. Namun karena waktunya yang tidak pas, aku bergegas memakai seragam sekolah ku dengan cepat.

Dengan tergesa aku memakai riasan natural di wajah ku. Dan hanya menyisir rambut panjang ku dengan asal. Aku lalu segera keluar dari kamar ku untuk turun ke lantai satu.

Sampai di dapur, aku hanya mendapati Mama Karina yang tengah bersantai sembari meminum teh hangatnya. Dia tampak terkejut saat melihat kehadiran ku.

"Luna, kamu berangkat ke sekolah?" tanya Mama Karina dengan raut terkejut.

Aku menatap Mama Karina dengan bingung sembari menarik satu lembar roti yang ada di atas meja makan.

"Ini bukan hari libur, Mama." jawab ku merasa aneh dengan pertanyaannya.

Mama Karina meletakkan gelas berisi teh miliknya di atas meja.

"Papa bilang kamu sedang sakit, jadi dia tidak membangunkan kamu pagi ini." ujar Mama Karina yang membuat ku mengernyit.

Sejak kapan aku sakit? Apa Papa.. ah, sepertinya Papa Bram tidak tega membangunkan ku. Mungkin karena dia ingin aku istirahat setelah kegiatan semalam. Memikirkan hal itu membuat pipiku seketika memerah.

"Sayang? Kenapa wajah kamu memerah? Kamu pasti masih demam." Mama Karina tampak khawatir melihat perubahan warna wajah ku.

Aku buru-buru menggeleng, tidak ingin Mama Karina salah paham.

"Luna nggak sakit kok, Ma. Kalau gitu, Luna berangkat sekarang ya, Ma." aku mencoba untuk menghindarinya karena tidak ingin Mama Karina kembali bertanya yang tidak-tidak. Sepertinya hari ini aku terpaksa berangkat bersama sopir.

Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, aku hanya diam sembari mengingat kegiatan ku bersama Papa Bram semalam. Entah berapa banyak gaya yang sudah Papa ajarkan pada ku. Dan entah berapa kali aku dibuat keluar banyak oleh pria itu.

Papa Bram memang sangat ahli dalam hal itu. Beruntung karena Mama Karina mendapatkan pasangan seperti Papa. Namun sekarang tidak lagi karena Papa Bram justru menyelingkuhinya dengan ku, anak angkatnya sendiri.

"Kita sudah sampai, Nona." ujar sopir yang biasanya mengantar jemput ku.

Aku mengangguk sembari mengucapkan terima kasih. Lalu aku segera keluar dari mobil mewah milik Papa Bram.

Sampai di depan sekolah, aku harus menelan kekecewaan karena pintu gerbang telah tertutup rapat. Memutar otak, aku akhirnya memutuskan untuk masuk melalui tembok belakang sekolah yang sering digunakan anak-anak berandal untuk kabur.

Sebenarnya aku tidak yakin dengan pilihan ku kali ini. Namun aku tidak ingin terlambat masuk ke sekolah. Dan hanya ini pilihan satu-satunya.

Aku menatap tangga besi yang menjulang tinggi di depan ku dengan ragu. Seumur hidup ku aku belum pernah menaiki tangga besi seperti ini. Memantapkan hati, aku akhirnya dengan hati-hati mulai menaikinya.

Aku menghela napas lega setelah sampai di atas. Namun aku harus kembali berhati-hati untuk turun dari atas tembok ini.

Ketika aku tengah turun perlahan-lahan dari tangga, aku tiba-tiba mendengar siulan dari bawah ku. Aku tersentak dan refleks melepaskan pegangan ku. Membuat tubuh ku melayang dan akhirnya jatuh menimpa seseorang yang tadi berada di bawah ku.

Bruk
Auwwshh..

Aku bisa mendengar ringisan kesakitan dari seseorang yang ku timpa. Dengan raut wajah kesal aku berbalik menatap sosok itu.

"Kamu-"

Ucapan ku tertahan saat aku melihat sosok lelaki tampan yang tengah mengaduh sembari memegangi punggungnya. Ya, posisi kami sekarang benar-benar awkward. Aku terjatuh di atas pangkuannya.

"Minggir lo." kesal lelaki tampan itu.

Aku dengan kikuk turun dari atas pangkuannya dan menatap canggung ke arahnya.

"Ma-Maaf." ucapku dengan wajah memerah.

Lelaki itu lantas menatap ke arah ku dan tampak tertegun. Wajah kesalnya seketika berubah tercenung. Entahlah apa yang terjadi pada lelaki itu saat ini.

"Lo Luna?" tanya lelaki itu sembari menunjuk ke arah ku.

Aku menatapnya dengan bingung, dan dengan ragu mengangguk. Kenapa laki-laki ini bisa mengenali ku?

Dia buru-buru bangun dan menepuk celananya yang kotor dengan debu. Setelahnya dia menyodorkan tangan kanannya ke arah ku.

"Gue Romi." kata laki-laki itu memperkenalkan diri.

Aku menyambut uluran tangannya dengan kikuk. Dan memperkenalkan diri ku secara resmi.

"Ternyata lo lebih cantik daripada di foto ya." celetuk Romi yang membuat ku mengernyit bingung.

Romi tampak tertawa kecil memperlihatkan lesung pipinya. Membuat wajahnya berkali lipat lebih tampan. Sial, kenapa aku baru bertemu dengannya setelah hampir satu tahun bersekolah di sini sih.

Aku hendak bersuara, namun ku urungkan niat ku saat mendengar bel tanda pelajaran akan segera dimulai berbunyi nyaring. Dengan tergesa aku pamit untuk pergi dan mendapat lambaian tangan dari Romi.

Sampai di dalam kelas, aku melepaskan jas yang bertengger di pundakku. Aku merasa gerah karena habis berlarian menuju kelas. Untung saja guru masih belum masuk ke dalam kelas ku.

Karena merasa gerah, aku lantas mulai mengepang rambut panjang ku sendiri. Aku tidak mempedulikan tatapan para teman laki-laki ku yang menatap ku penuh minat. Karena menurut ku tidak ada yang menarik di antara mereka semua.

Setelah mengepang rambut ku, aku lalu mengeluarkan ponsel yang ada di dalam saku kemeja ku. Dan mendapati beberapa pesan yang dikirim oleh Papa Bram.

Sial, aku mengumpat membaca satu persatu pesan yang Papa Bram kirimkan. Hanya dengan membacanya saja berhasil membuat ku panas dingin. Papa Bram benar-benar gila.

***

Anak Angkat [AFFAIR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang