Anak Angkat |°47th•

6.1K 39 0
                                    

VERSI LENGKAP ADA DI PLAYSTORE & KUBACA

Anak Angkat - 47th

Sedari tadi aku tidak dapat menahan senyum ku kala melihat kedatangan Mama Karina dan Om Arman yang datang di acara kelulusan ku. Tidak hanya mereka, Alex juga datang setelahnya. Membuat beberapa siswi yang masih berada di pelataran sekolah histeris melihat ketampanannya.

Ya, aku akui Alex memang sangat tampan. Apalagi dengan penampilannya yang rapi dan menawan. Namun entah mengapa aku tidak tertarik dengannya. Mungkin karena hati ku sudah tertambat pada Papa Bram.

Dengan diapit Papa Bram dan Mama Karina di sisi kanan kiri ku, aku tersenyum lebar menatap ke arah kamera. Beberapa kali kami berlima sempat bersua foto untuk mengabadikan momen kelulusan ku.

Setelah puas berfoto bersama, Papa Bram mengajak kami makan bersama di sebuah restoran mewah untuk merayakan kelulusan ku. Hari ini aku benar-benar senang sekali karena kami bisa berkumpul dengan rukun.

"Jadi kamu benar-benar ingin kuliah di kota ini saja, Sayang?" tanya Mama Karina membuka obrolan.

Sebelumnya aku memang memutuskan untuk mendaftar di salah satu kampus yang ada di kota ini. Jaraknya tidak begitu jauh dari rumah Papa Bram. Hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke kampus tersebut.

"Iya, Mah. Luna nggak mau kuliah jauh-jauh." jawab ku seadanya.

Ku lihat dari ekor mata ku Alex tampak memutar bola matanya meledek. Membuat ku memelototinya karena kesal.

"Halah, bilang aja lo nggak mau jauh sama Om Bram." cibir Alex.

Aku hanya mencebik dan kembali menyuap sesendok vegan cheesecake yang ada di depan ku dengan acuh. Walau sebenarnya ucapan Alex benar adanya. Aku memang tidak ingin berjauhan dari Papa Bram. Apalagi kami akan segera melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini.

"Memangnya apa salahnya Luna berpikir seperti itu, Lex? Mama juga tidak ingin berpisah jauh dari Papamu. Sehari saja tidak bertemu, rasanya hidup Mama bagaikan.. "

"Haishh.. udah deh, Mah. Kalian ber-empat ini emang sama-sama bucin. Alex nggak mau denger lagi ucapan Mama." potong Alex mengintruksikan ucapan Mama Karina. Walau terkesan tidak sopan, tapi tingkahnya itu berhasil membuat kami semua terkikik geli.

"Makanya jangan kelamaan jomblo." ledek ku merasa puas karena bisa membalas Alex.

Alex tampak mencibir dengan wajah memberengut. Kedua tangannya bersidekap di dada dengan punggung yang dia sandarkan pada kursi. Benar-benar seperti seorang anak kecil yang tengah ngambek karena permintaannya tidak dikabulkan oleh orang tuanya.

"Benar itu, Lex. Kapan kamu mengenalkan pacar kamu pada Papa. Apa iya kamu belum bisa move on dari Luna?" timpal Om Arman yang makin membuat wajah Alex masam.

"Ih, kok Luna dibawa-bawa sih, Om." seruku pura-pura merajuk.

Ketiga orang dewasa itu kompak tertawa melihat aku dan Alex secara bergantian.

"Ya bagaimana, Luna. Kamu itu cinta pertamanya Alex. Wajar saja jika dia belum bisa move on dari kamu." ujar Om Arman setelah tawanya mereda.

Aku mengerjap berkali-kali mendengar ucapan Om Arman. Apa benar aku adalah cinta pertamanya Alex? Tapi masak sih cowok seperti dia baru pertama kali ini mengenal cinta?

Namun saat aku melirik ke arah Alex, aku bisa melihat kedua pipinya yang memerah walau samar. Apalagi kedua telinganya yang tampak jelas sekali berwarna merah. Alex juga tidak berani menatap ke arah ku. Apa mungkin dia merasa malu?

"Apa kamu sedang memikirkan ucapan Arman barusan?" bisik Papa Bram yang entah sejak kapan sudah duduk sangat dekat dengan ku.

Aku hanya mengulum bibir ku dengan raut bingung. Ingin menjawab iya, takut Papa Bram cemburu. Tapi jika aku diam saja, kekasih tua ku itu pasti akan merajuk nantinya.

"Luna nggak mikirin apa-apa kok, Pah." balas ku berusaha meyakinkan pria tua itu.

Papa Bram tampak menatap ku dengan intens sebelum kemudian kembali bercengkrama dengan Om Arman dan Mama Karina. Setidaknya aku bisa bernapas lega karena Papa Bram tak memperpanjang masalah ini. Lagipula dia pasti juga memilih untuk menjaga sikap di depan keluarga baru Mama Karina.

Suasana di antara kami berubah riuh dengan obrolan seputar masa remaja Papa Bram, Mama Karina dan juga Om Arman. Yang baru ku ketahui jika Mama Karina adalah adik kelas Papa Bram. Dan waktu itu sedang menjalin hubungan dengan Om Arman.

Jadi ternyata, dulu Papa Bram yang telah merebut Mama Karina dari Om Arman. Dan kini keadaan berbalik menjadi Om Arman yang merebut Mama Karina dari Papa Bram. Sungguh cerita cinta yang sangat rumit.

"Kalian tahu tidak, sewaktu aku pertama kali bertemu dengan Luna, aku  benar-benar terkejut. Wajahnya begitu mirip dengan mendiang kakak ku." celetuk Mama Karina yang membuat atensi ku mengarah padanya. Sebelumnya Mama Karina tidak pernah mengutarakan hal ini.

"Jadi itu yang membuat kamu bersikukuh mengadopsi Luna waktu itu?" tanya Papa Bram yang ikut menyimak ucapan Mama Karina.

Mama Karina tampak mengangguk. Dia lalu menceritakan sosok mendiang kakaknya yang bernama Krisna. Dari cerita yang aku dengar, Om Krisna meninggal karena penyakit kanker yang dia derita sejak lama. Bahkan karena mengetahui usianya yang tidak akan lama, membuat Om Krisna terpaksa memutuskan kekasihnya yang saat itu tengah hamil.

"Waktu itu aku benar-benar kecewa dengan keputusan Kak Krisna. Seharusnya dia bertanggung jawab pada Kak Yana. Bukan malah menghilang tanpa jejak. Papa dan Mama berusaha untuk mencari keberadaan Kak Krisna. Tapi setelah sekian lama mencari, kami justru mendapatkan kabar buruk jika Kak Krisna sudah meninggal karena sakit kanker yang selama ini dia sembunyikan dari kami." jelas Mama Karina yang tampak berkaca-kaca ketika mengingat kenangan memilukan itu.

Aku yang mendengar cerita itu tidak dapat menahan rasa sedih ku. Entah kenapa aku merasa begitu sakit mendengarnya.

"Lalu bagaimana kabar kekasih Kak Krisna? Apa keluarga kamu mengetahuinya?" tanya Papa Bram yang juga baru mendengar cerita ini dari Mama Karina. Papa Bram memang tidak begitu mengenal mendiang Om Krisna. Karena sifatnya yang cuek dan tidak peduli, ditambah keluarga Mama Karina yang cukup tertutup mengenai kisah Om Krisna.

Gelengan samar yang Mama Karina berikan membuat hatiku tiba-tiba mencelos. Entah kenapa seperti ada ribuan jarum tak kasat mata yang menghujam dada ku saat ini. Rasanya benar-benar sakit, seperti aku ikut merasakan bagaimana beratnya hidup kekasih Om Krisna.

"Kami kehilangan jejak Kak Yana. Dia bagai hilang ditelan bumi. Terakhir yang aku dengar waktu itu, dia telah melahirkan seorang bayi perempuan. Tapi setelah itu aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya." balas Mama Karina dengan raut sedih.

Jantung ku berdetak dengan cepat mendengar semua cerita yang keluar dari mulut Mama Karina. Entah kenapa setelah mendengarnya aku merasa begitu gusar. Apa yang sebenarnya terjadi pada ku? Mengapa aku harus merasa gelisah seperti ini?

Di tengah kegundahan ku, sebuah tangan yang berukuran besar tiba-tiba saja menggenggam tangan ku. Menghantarkan perasaan hangat yang mampu mengusir rasa resah yang beberapa waktu lalu ku rasakan.

"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Papa Bram sedikit berbisik.

Aku yang tak ingin membuat Papa Bram merasa khawatir lantas mengangguk kecil. Sembari mengulas senyum yang mungkin akan terlihat kaku.
Diam-diam aku menyimpulkan jika sikap Mama Karina yang baik pada ku selama ini sepertinya karena aku mirip dengan mendiang kakaknya. Tapi entahlah, apa semua dugaan ku benar atau tidak.

Setelah acara makan bersama selesai, kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Kini aku tengah berada di perjalanan menuju ke rumah Papa Bram.
Papa Bram kali ini sengaja membawa sopir. Sehingga pria itu kini duduk di jok belakang bersama ku. Sedari tadi tangan Papa Bram tak lepas menggenggam tangan ku dengan erat.

"Kamu lebih banyak diam setelah dari restoran tadi." celetuk Papa Bram yang membuat aku menoleh ke arahnya.

"Ada apa, Sayang? Apa ada sesuatu yang mengganjal di hati kamu?" tanya Papa Bram dengan lembut.



Tbc.

Anak Angkat [AFFAIR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang