VERSI LENGKAP ADA DI PLAYSTORE & KUBACA
Anak Angkat - 38th
•Ketukan palu sebanyak tiga kali menjadi pertanda penutupan sidang yang digelar hari ini. Kini Papa Bram dan Mama Karina resmi bercerai setelah melewati dua kali mediasi.
Sepanjang jalannya sidang, aku hanya bisa diam seribu bahasa. Apalagi saat melihat bagaimana Papa Bram yang begitu mantap bercerai dari Mama Karina. Membuat hati ku merasa sedih dengan semua yang terjadi pada mereka.
Benar, aku memang egois karena menginginkan mereka tetap bersama semata agar aku bisa merasakan memiliki keluarga yang lengkap. Namun aku juga egois ingin memiliki Papa Bram untuk diri ku sendiri.
Selain merasa sedih karena orang tua angkat ku telah berpisah, aku juga semakin tertekan saat mengetahui jika Mama Karina telah mengajukan gugatan permohonan hak asuh anak atas diriku. Mama angkat ku itu bersikeras agar aku tinggal bersamanya. Sedangkan Papa Bram mati-matian menolak gugatan tersebut. Dia bahkan sudah melampirkan bukti-bukti perselingkuhan yang Mama Karina lakukan. Agar hakim mau mempertimbangkan keputusannya.
Hakim sidang akhirnya memutuskan jika aku berhak memilih ingin tinggal bersama siapa karena usia ku sudah di atas 12 tahun. Sehingga tanpa pikir panjang aku memilih untuk tinggal bersama Papa Bram. Walau pun sebenarnya aku merasa sangat berat saat memutuskan hal itu. Terlebih selama ini Mama Karina selalu memperlakukan ku dengan baik.
Mama Karina terlihat sangat kecewa setelah mendengar keputusan ku memilih Papa Bram. Wanita itu terlihat beberapa kali menyeka air matanya dan membuat hati ku merasa sangat bersalah.
Bagaimana jika dia tau kalau aku dan Papa Bram memiliki hubungan lebih dari selayaknya ayah dan anak? Pasti dia akan sangat kecewa lebih dari apa yang dia rasakan saat ini.
"Sayang.. "
Panggilan lembut dari Papa Bram membuat aku mengalihkan pandangan ku dari Mama Karina yang tengah ditenangkan oleh kekasihnya. Dengan ragu aku menatap Papa Bram yang terlihat berwajah cerah. Tak ada raut sedih yang tergambar di wajah tampannya saat ini. Padahal dia baru saja melepaskan wanita yang telah dicintai selama bertahun-tahun.
"Terimakasih karena sudah memilih Papa." ujarnya dengan senyum hangat. Jemarinya yang hangat melingkupi jari-jari mungil ku.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan balik menggenggam tangannya dengan erat. Aku berusaha untuk terlihat tenang di depan Papa Bram yang menyorot ku dengan tatapan teduhnya.
"Lebih baik sekarang kita lekas pulang. Kamu pasti merasa lelah karena harus berada di sini." ajak Papa Bram sembari merangkul pinggang ku mesra.
Lagi-lagi aku memilih untuk tetap diam dan mengiyakan ajakan Papa Bram dengan anggukan kecil. Berusaha untuk mengabaikan tatapan Mama Karina yang tengah menatap kami berdua dengan pandangan yang sulit diartikan.
Aku berharap Papa Bram segera membawa ku pergi dari tempat ini. Tapi Mama Karina tiba-tiba saja menghadang jalan kami.
"Luna.." panggil Mama Karina dengan suara lembutnya yang sengau.
Aku menelan ludah dengan susah payah mendengar panggilan tersebut. Dengan gerakan patah-patah aku menoleh ke arah Mama Karina yang tengah berdiri tak jauh dari kami.
Melihat raut wajah Mama Karina saat ini membuat hati ku merasa sedih. Matanya yang selalu memancarkan kebahagiaan kini terlihat redup. Dengan jejak-jejak air mata yang membasahi pipinya.
"Mama mohon, kamu mau ya tinggal sama Mama. Mama akan melakukan apapun asal kamu mau tinggal bersama Mama." ujar wanita itu dengan suara bergetar.
Aku menghela napas berat dengan wajah tertekan. Melihat keadaan Mama Karina saat ini benar-benar membuat pikiran ku menjadi bimbang.
"Lebih baik kamu berhenti membujuk Luna agar mau tinggal dengan kamu, Karina. Dia sudah memilih ku, jadi jangan buat dia merasa tertekan." seloroh Papa Bram yang sejak tadi diam.
Aku refleks menatap wajah Papa Bram yang terlihat mengeras. Matanya memicing dengan rahang mengetat yang membuat aku sadar jika dia sedang tidak suka dengan apa yang Mama Karina lakukan.
"Tapi aku yang lebih dulu mengusulkan untuk mengadopsi Luna. Jadi seharusnya hak asuh Luna jatuh pada ku, Bram." balas Mama Karina tak mau kalah.
Kedua orang dewasa itu justru saling bertikai. Membuat atensi orang-orang yang masih ada di sekitar parkiran menjadi teralihkan pada mereka. Aku yang tidak menyangka jika keduanya akan menjadi seperti ini seketika menggigil ketakutan.
Kekasih Mama Karina yang sejak tadi diam langsung mengambil tindakan. Dia berusaha untuk menghentikan Mama Karina yang terus saja mencecar Papa Bram. Karena jika dilihat, wanita itu yang sejak tadi menggebu-gebu saat berbicara dengan mantan suaminya itu."Udah, Mah, Pah. Luna nggak mau liat kalian berantem." seru ku yang merasa benar-benar tertekan.
Keduanya lantas menatap ke arah ku dengan pandangan berbeda. Papa Bram tampak merasa bersalah saat melihat aku yang berwajah kacau. Sedangkan Mama Karina terlihat menatap penuh permusuhan ke arah ku.
"Maaf, Ma. Luna bener-bener nggak bisa tinggal sama Mama. Luna lebih nyaman tinggal sama Papa Bram." aku mencoba untuk mengatakan kalimat itu dengan berani.
Walau bagaimanapun, aku tidak akan pernah mau tinggal dengan Mama Karina. Aku tidak ingin jauh dari Papa Bram. Jika aku tinggal bersama wanita itu, aku dan Papa Bram tidak akan bisa bebas berhubungan.
Mama Karina tampak menarik napas dalam dengan wajah mengeras. Aku tahu, Mama Karina pasti sangat kesal dengan ku saat ini. Tapi aku sungguh tidak bisa jauh dari Papa Bram.
"Sudah jelas kan Luna memilih siapa?" timpal Papa Bram dengan mata menyipit.
Pria itu lantas menarik tangan ku agar mendekat ke arahnya. Membuat aku terkesiap karena gerakan tiba-tiba yang dia lakukan.
"Sekarang lebih baik kita pulang, Sayang. Papa tahu kamu sangat tidak nyaman berada di tempat seperti ini." ajak Papa Bram sembari menuntun ku pergi menuju mobilnya.
Mama Karina hendak menyusul ku, namun kekasihnya dengan susah payah menahannya. Sumpah serapah terus wanita itu layangkan pada Papa Bram yang membuat aku kembali dilanda rasa sedih.
Papa Bram pasti merasa sakit hati dengan perlakuan Mama Karina. Bagaimana pun mereka pernah merajut cinta bersama selama bertahun-tahun. Susah pasti kenangan-kenangan yang telah mereka lewati tak dapat hilang begitu saja.
"Papa.. " lirih ku melihat punggung Papa Bram yang tampak luruh, tidak tegak seperti biasanya.
Papa Bram menoleh ke arah ku sembari mengulas senyum. Yang aku sadari jika senyuman itu tidak sampai di matanya. Dan lagi-lagi membuat hati ku merasa tercabik-cabik dengan apa yang aku lihat saat ini."Tidak papa. Sebentar lagi dia pasti akan menerimanya." kata Papa Bram dengan suaranya yang terdengar pelan.
Pria itu lantas membukakan pintu untuk ku, disusul dengan dirinya yang duduk di kursi kemudi. Ketika Papa Bram hendak menarik tuas kemudinya, aku dengan lembut menggenggam tangan itu.
"Luna janji, Luna nggak akan pernah ninggalin Papa." aku mengatakannya dengan suara yang hampir terdengar seperti sebuah bisikan.
•
•
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Angkat [AFFAIR]
RomanceLuna tidak pernah menyangka jika hubungannya bersama papa angkatnya akan menjadi serumit ini. Berawal dari Papa Bram yang memergokinya bermain 'sesuatu' saat tidak ada orang lain di rumah orang tua angkatnya. Lalu berlanjut pada ancaman Papa Bram ya...