Chapter 6 (Bab 1)

20 4 0
                                    

"Ternyata legenda itu memang nyata," ucap Rakal.

"Legenda apa?" tanya Baron.

"Legenda pertarungan antara Garuda, dewa cahaya, dan Arlid, dewi kegelapan. Pertempuran sengit yang terjadi di pulau ini dan berakhir dengan kematian keduanya. Dulu, aku sering membaca tentang legenda itu di perpustakaan," jelas Rakal.

"Apa pemicu pertarungan mereka?" Terlihat Baron sedikit tertarik dengan apa yang dibahas Rakal.

"Semuanya berawal dari Kristal Kehidupan, kristal yang menjadi sumber dari segala kehidupan di alam semesta ini," Rakal mulai menjelaskan lebih detail tentang legenda tersebut kepada Baron.
.
.
.
.
"Aku penasaran, siapakah yang pertama kali menulis kisah ini, padahal peradaban saat itu belum terbentuk?"

"Entahlah, semua itu masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Banyak orang, termasuk para penjelajah, yang percaya akan legenda ini. Mereka telah melakukan ekspedisi demi ekspedisi untuk menemukan pulau tersebut, namun hingga saat ini tak ada yang berhasil, kecuali kita berdua," ujar Rakal.

Baron bangkit dari tempat duduknya. "Dunia ini memang penuh misteri. Bagaimana jika kita menjelajahi pulau ini lebih jauh? Siapa tahu, kita mungkin menemukan sesuatu yang lebih menarik," ucap Baron sambil mengangkat pedangnya dengan mudah.

Setelah satu jam penjelajahan yang tidak menghasilkan temuan menarik, Rakal memutuskan untuk memanggil pesawatnya, yang kemudian mengantarkan mereka kembali ke titik awal mereka menginjakan kaki.

"Ah, aku sangat lapar," keluh Baron sambil memandang apel di tangannya. Dengan rasa putus asa, ia menggigit apel tersebut. "Ini tidak cukup untuk mengenyangkan perut," gumamnya, merasakan kelesuan menguasai tubuhnya.

Di kejauhan, Rakal memandangi lautan yang membentang luas di depannya. Tanpa ragu, ia masuk ke dalam air dan berenang dengan cukup mahir. Beberapa menit kemudian, Rakal muncul kembali di tepi, tangannya penuh dengan ikan segar.

"Sepertinya kita bisa makan malam."

...

Malam telah tiba. Baron, yang telah selesai menebang pohon, segera menyiapkan api unggun untuk membakar ikan-ikan tangkapan Rakal.

Setelah menikmati santapan lezat itu, mereka berdua merebahkan diri di pasir, ditemani kehangatan api unggun.

"Baron," panggil Rakal.

"Ya?" jawab Baron tanpa mengalihkan pandangannya dari bulan.

"Apa kau masih ingat Lala?"

"Lala?" Baron menghela napas, sebuah senyum mengembang di wajahnya. "Tentu, aku selalu mengingatnya. Aku sangat ingin bertemu dengannya lagi. Sudah sangat lama," kenangnya, terbawa dalam nostalgia masa kecil di panti asuhan.

"Aku sangat merasa bersalah karena tidak sempat mengucapkan selamat tinggal padanya," ungkap Rakal dengan nada penuh penyesalan.

Baron tertawa ringan. "Aku yakin dia pasti sangat sedih karena kita tiba-tiba menghilang. Aku benar-benar penasaran bagaimana kabarnya sekarang."

Rakal merenung sejenak, matanya terlihat jauh. "Setelah kita menyelesaikan semua urusan ini, kita akan segera mencari tahu keberadaannya."

Dua bulan telah berlalu sejak mereka terdampar di pulau misterius itu, namun keadaan mereka tidak berubah. Setiap hari, mereka berlatih dengan tekun untuk menguasai kekuatan yang terkandung dalam senjata misterius yang mereka temukan.

Pada suatu pagi yang cerah, Baron mengejar Rakal dengan langkah gesit. Dalam sekejap, ia menggunakan kekuatannya untuk berteleportasi tepat di atas kepala Rakal. Pedang besarnya, siap untuk menebas.

Namun, Rakal tidak kalah gesitnya. Dengan cepat, ia menghindari serangan itu. Melalui kekuatan yang tersimpan di balik pelindung lengan emasnya, ia mengeluarkan belati-belati kecil yang berkilau biru, melemparkannya ke arah Baron.

Baron menghindar dari belati yang terus berputar dan memburunya. Dengan pedang besar yang dipegangnya, ia menghancurkan belati-belati itu menjadi serpihan.

"Kau semakin hebat," puji Rakal.

"Kau juga," balas Baron.

Setelah mendapatkan kekuatan itu, Baron mulai mendengar bisikan jahat yang menggema dalam pikirannya, menyebabkan dia sering mengalami mimpi buruk belakangan ini.

"Sudah saatnya kita meninggalkan pulau ini," ujar Rakal.

Baron menoleh, kebingungan terpancar dari wajahnya walaupun tidak digambarkan terlalu jelas dari ekspresinya. "Bagaimana dengan pesawat ini?" tanyanya.

"Pesawat ini akan kita bawa ke sana. Gedung itu kini kosong, terbengkalai. Dengan uang yang telah aku kumpulkan, aku berencana mengubahnya menjadi sebuah markas," jawabnya.

"Maksudmu gedung di mana kita melawan Fahrih?"

Rakal mengangguk.

Mereka berdua telah siap, dalam sekejap pesawat tersebut terbang meninggalkan tempatnya.[]

Dua Arus Sang PenghakimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang