Chapter 14.2 (Bab 2)

9 5 0
                                    

Rakal terhuyung-huyung menahan gempuran bertubi-tubi dari wanita misterius itu. Napasnya tersengal. "Mau tak mau, harus kuakhiri ini," desisnya pelan.

Sekejap kemudian, sepeda motor merah Rakal melesat bagaikan kilat, tanpa pengendara. Motor itu meliuk-liuk di udara, lalu menempel di lengan kiri kanan Rakal, berubah menjadi sebilah pedang bercahaya biru serta merah.

“Oh~ keren sekali. Jadi tambah semangat,” ucap wanita itu.

Rakal bangkit, pedang di tangannya menari. Bentrokan sengit terjadi, percikan api beterbangan di antara mereka. Namun, wanita itu dengan lincah menangkis setiap serangan Rakal. "Hanya segini kemampuanmu?" ejeknya.

"Ck!" geram Rakal. Pedangnya kembali bertransformasi, kali ini menjadi tembakan laser. Tanpa aba-aba, dia menembakkan sinar biru raksasa yang menghantam ruangan yang mereka pijaki hingga hancur lebur.

Wanita itu terkesiap dan segera menghindar. Baron mengambil kesempatan ini untuk menyerang. Dengan cepat, Baron berteleportasi ke atas lalu mengarahkan pedangnya. Wanita itu yang sadar langsung menangkis serangan yang diarahkan Baron untuknya.

"Kedua aura kalian begitu aneh. Tapi, dirimu lebih aneh. Black Power,” wanita itu terkekeh.

“Apa maksudmu?”

“Tidak, aku merasa ada sosok lain yang mengendalikan tubuhmu. Dan aku tahu sekarang aku berbicara dengan sosok itu,” jawabnya.

Di tengah pertarungan, Rakal mulai terlihat kelelahan. Tubuhnya goyah, senjatanya terlepas dari kedua tangannya dan kembali berubah bentuk menjadi sepeda motor.

"Baiklah, cukup sampai di sini," kata wanita itu dengan nada menggoda. "Jika kalian ingin bekerja sama untuk membalas dendam ayah kalian, datanglah temui aku. Jangan ragu."

Tawa kecilnya menggema di udara, lalu dia melangkah ke mobil hitam yang terparkir di dekatnya. Mobil itu melaju kencang, menghilang ke kegelapan malam.

Baron bergegas menghampiri Rakal, tangannya mengulur, tetapi Rakal menepis tangan Baron. “Aku belum bisa memaafkanmu,” Rakal berdiri, menaiki motornya. “Tunggu sampai anak itu kembali ceria.”

****

Rakal yang sudah tidak lagi memakai pakaian vigilantenya, melihat bangunan panti asuhan yang tidak terlalu besar di hadapannya. Rakal melangkah mendekati bangunan panti asuhan itu. Matanya mengamati gedung bercat cokelat muda yang tampak sudah usang. Dindingnya yang tadinya berwarna cerah kini memudar, dihiasi coretan kapur berwarna-warni. Jendela-jendelanya berkaca bening, namun kusennya sudah mulai lapuk dimakan usia.

Di depan panti asuhan, terdapat taman kecil yang dihiasi beberapa pohon dan bunga. Rumputnya tampak terawat rapi, namun beberapa tanaman terlihat layu karena kurang air. Di taman itu, terdapat beberapa bangku taman yang terbuat dari kayu, catnya sudah mengelupas di sana-sini.

Rakal melangkah menuju pintu panti asuhan yang terbuat dari kayu. Catnya sudah terkelupas, dan pintunya sedikit berderit saat Rakal membukanya. Di dalam panti asuhan, Rakal disambut oleh ruangan yang sederhana namun rapi. Lantainya terbuat dari ubin keramik berwarna putih, dan dindingnya dihiasi beberapa gambar anak-anak yang sedang bermain dan belajar.

Di ruangan itu, terdapat beberapa anak yang sedang duduk di kursi dan bermain. Mereka tampak sehat dan ceria. Di sudut ruangan, Rakal melihat seorang wanita tua yang sedang duduk di kursi roda. Wajahnya dihiasi kerutan-kerutan halus, namun matanya berbinar-binar saat melihat Rakal.

Wanita tua itu mendorong kursi rodanya. Wanita tua itu menatap Rakal lekat-lekat. "Rakal? Kamu sudah dewasa sekarang." Rakal sedikit berjongkok dan Wanita tua itu segera memeluknya. "Ibu dengar dari pengurus bahwa kamu sering datang ke sini, dan ternyata itu benar kamu. Ibu kangen sekali."

Rakal mengembang senyumnya, namun air mata tak kuasa dibendungnya saat ia berhadapan dengan Ibu Rini. "Ibu Rini, saya juga kangen Ibu," ucapnya diiringi tawa kecil.

"Kamu datang sendiri? Nak Baron mana?" tanya Ibu Rini sembari menyeka air matanya yang mengalir.

"Oh, Baron sibuk sekali, Bu, dengan pekerjaannya. Jadi, dia tidak ada waktu untuk datang ke sini," jawab Rakal, beralasan.

Ibu Rini hanya mengangguk pelan, sembari tersenyum tipis. "Ya, semoga dia selalu sehat. Titip salam untuknya ya, Nak," ujarnya. Pandangan Ibu Rini kemudian tertuju pada tote bag yang dibawa Rakal. "Nak Rakal, itu apa yang kamu bawa?"

Rakal meletakkan tote bag itu di atas meja dan mengeluarkan beberapa buku. "Ini buku, Bu. Saya sebenarnya datang ke sini untuk bertemu dengan Anwar. Dia suka sekali membaca buku. Saya juga ingin mengajari anak-anak lain di sini untuk belajar sastra," jelasnya.

Ibu Rini tampak termenung sejenak saat mendengar nama Anwar. "Anwar... Kasihan sekali dia. Saat pertama kali datang ke sini setelah masa pemulihan di rumah sakit jiwa, dia terlihat begitu murung dan tidak pernah berbicara sama sekali."

Pintu salah satu kamar terbuka, memperlihatkan Anwar berdiri sembari memegang sebuah buku. Ia menghampiri Ibu Rini dan Rakal. Anwar tampak menyalami Ibu Rini dengan sopan.

Rakal tersenyum. "War, Kakak bawa beberapa buku untukmu. Mungkin kamu suka." Rakal menunjukkan buku-buku novel kepada Anwar.

Anwar mengamati buku-buku yang dibawa Rakal. Senyuman tipis terukir di bibirnya. "Terima kasih, Kak Rakal."

Anwar membawa buku pemberian Rakal dan membacanya di pojok ruangan. Ibu Rini terharu melihat senyuman yang menghiasi wajah Anwar. "Nak Rakal, terima kasih sudah membuat Anwar tersenyum."

"Sama-sama, Bu. Itu sudah tugas saya untuk membahagiakan mereka yang terluka," jawab Rakal. Matanya melirik sekeliling ruangan. Kenangan masa kecilnya bersama Baron dan Lala bermain di ruangan ini terbayang jelas.

"Lala..." Ibu Rini terdiam sejenak ketika Rakal menyebut nama itu. "Bu, bagaimana kabar Lala sekarang?" tanyanya dengan rasa penasaran.

"Dia sudah diadopsi, Nak. Tidak lama setelah kamu dan nak Baron diasuh oleh Pak Angga. Saat itu, dia menangis mencari kalian berdua," ujar Ibu Rini sambil tertawa.

"Aku merasa bersalah karena saat itu tidak memberikan ucapan selamat tinggal kepadanya. Ngomong-ngomong Lala diadopsi oleh siapa bu? Kira-kira ibu tahu di mana dia tinggal sekarang?"

Ibu Rini menggeleng. "Nak Lala di bawa ke Amerika, karena saat itu yang mengadopsinya adalah orang luar. Ibu kangen sekali kepadanya. Semoga saja dia sehat selalu di sana dan bahagia."

...

Setelah menyelesaikan urusannya di panti asuhan, Rakal melompat ke atas sepeda motornya dan segera melaju kencang, meninggalkan tempat itu. Di jalanan yang relatif sepi, Rakal memacu motornya, menyalip mobil dan motor di depannya dengan gesit.

Tiba-tiba, saat melaju kencang, Rakal langsung mengerem motornya mendadak ketika melihat seorang perempuan hendak menyeberang jalan. "Hei, hati-hati dong!" teriak perempuan itu kesal yang langsung saja menendang body motor Rakal.

Rakal mengerutkan keningnya, berusaha mengenali perempuan di depannya. Rambutnya pendek sebahu, dibingkai poni yang menutupi seluruh dahinya. Matanya berwarna cokelat, memancarkan sorot yang tak asing. "Lala?" tanya Rakal ragu, suaranya bergetar. Helm yang menutupi wajahnya perlahan diangkat.

Lala tampak terkejut. "Ra-rakal?"[]

Dua Arus Sang PenghakimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang