Chapter 12 (Bab 2)

20 5 0
                                    

Pemimpin geng Saudara Bulan berusaha membuat dirinya nyaman di atas lantai yang keras dan dingin. Ia berada dalam ruang isolasi karena telah melakukan kerusuhan selama masa penahanannya. Keluhan terus terdengar dari mulutnya yang besar, terkadang ia memukul pintu agar penjaga mendengarnya dan segera membebaskannya dari ‘neraka’ ini. Namun, penjaga tidak menghiraukannya, malah mencaci pemimpin geng yang terkenal kejam dan tak kenal ampun itu.

Ia terbangun, merasakan kantong kemihnya yang penuh memaksanya untuk segera mengosongkannya. Hal ini membuatnya kesal karena harus menahan bau pesing. Ketersediaan air di ember di sebelahnya terbatas, tidak cukup untuk menghilangkan baunya. “Sial, ini seharusnya tidak pernah terjadi,” keluhnya, yang entah sudah berapa kali terucap dari bibirnya yang tampak kering.

“Kau terlalu banyak bicara,” ujar Baron yang muncul tiba-tiba, berdiri di belakangnya.

Ia menoleh dengan cepat, wajahnya memucat, dan pupil matanya menyusut. Ia mundur perlahan hingga punggungnya menempel pada tembok yang dingin dan keras. “K-kau? Bagaimana kau bisa…” sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Baron sudah menutup mulut pria berkumis tebal tersebut dengan tangannya.

“Diam,” perintah Baron dengan suara tegas. “Jika kau tidak ingin bertemu ajal, jawab pertanyaanku dengan jujur, mengerti?” Ancaman tersebut membuat pria itu mengangguk dengan ketakutan.

Baron melepaskan cengkeramannya. “Baik, aku hanya akan bertanya satu hal kepadamu, siapa otak di balik semua ini? Siapa kelompok mafia yang mendanai gengmu, yang sudah menguasai kota ini dengan peredaran narkoba dan perdagangan senjata?”

Pria berkumis tebal itu menelan ludah, matanya bergerak gelisah mencari jalan keluar. “Aku… aku tidak bisa mengatakannya. Mereka akan membunuhku,” bisiknya dengan suara serak.

Baron mendekat, tatapannya menembus jiwa. “Kau lebih takut pada mereka daripada pada kematian yang mungkin aku berikan padamu sekarang?”

Dengan napas yang tercekat, pria itu akhirnya mengungkapkan, “Walikota… Walikota adalah dalang di balik semua ini. Dia yang mengatur segalanya, dari peredaran narkoba hingga senjata. Saudara Bulan hanyalah pion dalam permainannya.”

Baron mundur selangkah. “Walikota, huh? Ini lebih dalam dari yang kukira. Lanjutkan, ceritakan semuanya.”

Pria berkumis tebal itu mulai bercerita, mengungkapkan bagaimana Walikota menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan kejahatan di kota, bagaimana ia memanipulasi polisi dan pejabat lainnya, dan bagaimana ia memanfaatkan ini semua demi uang.

"Aku tidak yakin hanya Walikota yang terlibat dengan ini semua. Pasti ada kekuatan yang jauh lebih besar. Ceritakan semuanya tanpa terlewat," Baron mengangkat pedangnya untuk membuat orang di depannya merasa lebih terancam.

Pria berkumis tebal itu tampak ragu-ragu, tetapi tekanan dari Baron terlalu kuat untuk diabaikan. “Baiklah,” katanya dengan suara yang bergetar, “Aku akan memberitahumu semuanya.” Baron mendekat, memastikan tidak ada kata yang terlewat. “Kelompok mafia yang kau sebutkan, mereka dikenal sebagai ‘Kartel Bayangan’. Mereka memiliki jaringan yang luas dan sangat terorganisir.”

“Dan walikota?” desak Baron.

Pria berkumis itu menghela napas panjang. “Walikota…sebenarnya juga dikendalikan. Kartel Bayangan memiliki kekuatan yang cukup untuk mempengaruhi politik kota ini. Walikota hanyalah boneka; dia melakukan apa yang mereka perintahkan demi keamanan posisinya dan nyawanya sendiri. Sudah jelas.”

Baron merenung sejenak. “Jadi, Walikota adalah korban dalam permainan kekuasaan ini juga. Tapi Walikota memilih untuk bersekongkol dengan mereka daripada melawan?”

“Ya,” lanjut pria berkumis, “dan ada lebih banyak lagi. Kartel Bayangan ini… mereka tidak hanya bersekala kecil. Mereka bahkan hampir menguasai negeri ini. Tapi entah mengapa pengaruh mereka bisa teratasi dan hanya kota ini yang bertahan dalam genggamannya."

Baron merenung. Jadi selama masa itu, Baron bersama Rakal dan Indra melawan kelompok Kartel Bayangan tanpa disadari, hingga merosot sejauh itu. Baron tidak menyangka. "Baiklah, terima kasih atas infromasi yang kau keluarkan. Nikmatilah hidupmu," baru berjalan selangkah dan berhenti. "Tapi bohong," Baron mengangkat pedangnya dan menebas pria itu hingga terbelah dua.

Darah segar menyebar hingga ke mantel yang Baron pakai. Tidak lama, darah yang bercipratan perlahan menghilang, terbakar oleh api hitam, begitu juga dengan mayat yang tergeletak di depannya. Tidak ada bekas jejak sama sekali dari pembunuhan yang Baron lakukan.

****

Seorang terikat di sebuah kursi yang tampak mewah. Di kediamannya sendiri, Pak Walikota sedang berusaha melepaskan diri dari ikatan yang kencang, walaupun ia tahu itu mustahil. Si Topeng Biru memukul wajahnya berkali-kali hingga babak belur.

Baron mendesak orang di depannya untuk berbicara. “Apa kamu tahu siapa pemimpin Kartel Bayangan? Siapa!” Ia menabok kepala Pak Walikota dengan tangannya yang sekeras besi.

Pandangan Pak Walikota seketika menjadi buram, darah asin masih basah di lubang hidung dan bibirnya. Kedua matanya bengkak hingga hampir tidak bisa melihat siapa iblis yang menyiksanya. “Sumpah, aku tidak tahu siapa dia. Dia tidak pernah menunjukkan sosoknya sama sekali,” Baron sudah mendengar jawaban itu berulang kali. Ketika Baron ingin menendang wajahnya dengan sepatu yang bergerigi, Pak Walikota melanjutkan jawabannya. “Tunggu! aku ingat. Dia pernah menemuiku satu tahun lalu dengan pakaian serba hitam, wajahnya tidak terlihat sama sekali, bahkan sekelebat helaian rambut pun begitu misterius. Aku berbicara jujur, sangat jujur,” suaranya bergetar ketika berbicara. Pak Walikota memohon ampunan, terus-menerus berbicara tentang anak dan istrinya.

Baron mengetahui bahwa anak dan istri Pak Walikota sedang terlelap dalam tidur, tidak menyadari bahwa salah satu anggota keluarga mereka sedang disiksa olehnya. Arlid, yang tiba-tiba merasa empati, langsung melepaskan ikatan Pak Walikota dan meninggalkannya.

Detik bergulir hingga angka sepuluh. Pak Walikota menjerit kesakitan. Saat Baron menoleh, ia melihat kepala Pak Walikota yang berdenyut-denyut dan membesar seperti balon, hingga akhirnya pecah, darah pun berceceran.

Baron terkejut. Saat ia hendak menyelidiki, istri Pak Walikota terbangun dan memanggil suaminya karena mendengar suara jeritan. Baron menghentikan aksinya dan menghilang.

Istri Pak Walikota masih mencoba memahami apa yang terjadi, dalam keadaan setengah sadar. Kini, raungan ketakutan terdengar begitu nyaring. Suaranya yang bergetar itu berhasil membangunkan anaknya.

Kematian Pak Walikota akan membuat satu kota geger. Tapi setidaknya, Baron sudah merekam semua percakapannya yang akan segera menjadi bukti untuk dirinya bisa mengungkapkan siapa yang dimaksud oleh Pak Walikota.[]























Dua Arus Sang PenghakimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang