Chapter 1

549 107 7
                                    

Safira menatap tiga alat tes pack yang dipegangnya dengan perasaan sedih. Hasil tes dari ketiganya sama, ada dua garis merah dalam setiap tes pack, sebagai pertanda bahwa kini ia bakal menjadi ibu. Hal itu tentu memporak-porandakan hidupnya. Bukannya dia tidak bersyukur, tapi kenapa harus ada tanda dua garis merah, jika perpisahan sedang menghadangnya di depan mata? Pantesan selama ini ia sering pusing dan lemas, ternyata sedang hamil.

Di dalam kamar mandi, Safira menangis dalam diam. Sudah hampir dua minggu ia ditinggalkan ibu mertuanya ke alam baka. Mertua yang sangat baik, dan sangat menyayangi Safira, tapi sayangnya sang anak, atau lebih tepatnya laki-laki yang menjadi suami Safira tidak mencintainya sama sekali. Jika mereka harus menikah, itu sebagai bagian dari bakti dia pada ibunya.

Jika orang bilang tidak cinta, tapi kok bisa hamil? Laki-laki terkadang tidak membutuhkan cinta dalam berhubungan intim, dia hanya butuh melepaskan hormon prolaktin nya yang akan memicu munculnya hormon dopamin. Melepaskan pada seseorang yang sudah halal, bukan sebuah kesalahan bukan? Meskipun tanpa melibatkan cinta di dalamnya.

Bagaimana ini? Safira bingung sendiri. Antara jujur atau diam, dua-duanya adalah pilihan yang sulit. Bertahan dengan resiko diabaikan, atau menjauh dengan resiko bayinya tidak tahu siapa ayahnya. Kepala Safira mendadak pening.

Baru dua minggu ibu mertuanya pergi, sikap suaminya sudah berubah. Dia dingin,  tidak tersentuh dan jarang berada di rumah.Akan pulang ketika malam sudah larut. Hati Safira dibuat nelangsa. Inilah resiko jika menikah karena dijodohkan. Orang tua Safira dan orang tua suaminya bersahabat dekat. Di masa lalu, para orang tua mereka berencana menjodohkan anak-anaknya. Perjodohan itu berhasil, namun tidak melibatkan hati di antara keduanya.

Safira bingung, nanti setelah bercerai harus kemana? Orang tuanya meninggal karena kecelakaan setahun yang lalu. Keluarganya memang mewariskan harta yang cukup, tapi keluarga dari pihak ayahnya, merebut seluruh hartanya. Lalu, Safira hidup dengan belas kasihan mertuanya yang super baik itu. Jika orang tuanya masih ada, mungkin Safira tidak akan sebingung ini.

Lebih baik pergi dari pada menghabiskan hidup dengan orang yang salah. Sabiru tidak pernah menghargai perjuangannya, tidak pernah menganggap dirinya ada selama dua tahun berumah tangga. Safira tidak bodoh kalau Sabiru hatinya telah tertambat pada wanita lain, bahkan sebelum perjodohan itu hadir. Ia datang sebagai perusak kebahagiaan Sabiru, meskipun dirinya pun adalah korban.

Malam tadi, Sabiru mengajaknya berbicara, dan laki-laki itu mengatakan kalau ia akan segera menikahi kekasihnya. Itu artinya Safira sudah tidak diperlukan lagi keberadaannya.

"Aku sudah berusaha mencintai kamu, tapi maaf ternyata tidak bisa. Setelah mama pergi, tidak ada halangan lagi buat aku berpisah dari kamu, dan aku bebas memilih jalan hidupku sendiri. Maaf Safira, jika ini akan menyakitimu."

"Tidak apa-apa Mas, terimakasih sudah mau jujur," jawab Safira berusaha tegar, padahal hatinya seperti sedang dicabik-cabik.

"Setelah berpisah nanti, hiduplah dengan baik. Kamu wanita baik, layak mendapatkan laki-laki baik yang bisa mencintaimu dengan tulus."

Sayangnya, malam itu, hati Safira sudah mati. Membangun kepercayaan pada laki-laki sangat sulit, apalagi berniat untuk berumah tangga kembali. 

"Tinggallah di sini, rumah ini sudah diwariskan oleh mama untuk kamu." 

Safira tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia sedang menata hatinya yang hancur. Untuk tidak menangis dihadapan Sabiru saja sudah merupakan prestasi yang luar biasa. Sakit banget rasanya ketika tidak diinginkan. 

Terbayang dalam benaknya, ketika bayinya lahir ke dunia tanpa keberadaan ayahnya. Sanggupkah ia membesarkan anaknya tanpa ayah? Jika jujur pun belum tentu hati Sabiru luluh dan mau mempertahankan rumah tangganya.

Ibu mertuanya memang mewariskan banyak harta untuknya, seakan dia tahu jika selepas kepergiannya, Sabiru tidak akan mempertahankannya. Tetapi, untuk apa warisan itu, jika alasan dia untuk bertahan di sini sudah tidak ada. Rumah mewah bergaya klasik yang ditinggalkan mertuanya hanya akan mengingatkan ia pada mertua yang baik hati, tapi tidak pernah mendapat tempat di hati putranya.

"Tidur lah, mulai besok aku akan pergi dari rumah ini. Sekali-kali mungkin aku akan kemari, jika kangen sama almarhumah mama."

Safira pun menurut, ia pergi dari ruangan keluarga menuju kamarnya, lalu semalaman ia menagis. Menangisi kehidupannya yang menyedihkan. Paginya, ia merasa pusing dan mual. Sabiru benar-benar pergi dari rumah besar ini, ia meninggalkan sebuah pesan perpisahan dan mengatakan kalau surat cerai akan diurus oleh pengacaranya. Safira hanya bisa menangis dalam kesendirian. Mungkin Sabiru lebih memilih tinggal di apartemennya dari pada tinggal di rumah penuh kenangan peninggalan dari orang tuanya.

"Kamu harus kuat Safira, dunia tidak akan hancur dengan kepergian laki-laki yang tidak peduli sama kamu. Harusnya kamu bahagia, karena satu beban hilang dari hidupmu," ujar Safira berusaha menguatkan hatinya yang berantakan.

Tidak dicintai oleh pasangan hidup itu beban bukan? Beban pikiran dan perasaan. Lelah memikirkan orang yang tidak menoleh sedikit pun padanya. Sulit makan, tidak bisa tidur. Keberadaannya ada, tapi tidak menganggapnya. Ah, ternyata selama ini Safira telah membuang-buang waktu untuk orang yang salah. Cukup satu kali, ia hidup dengan orang yang salah. Setelahnya ia harus berhati-hati ketika akan memutuskan memilih pasangan hidup.

Safira melihat tubuhnya di kaca. Kata orang, ia memiliki wajah cantik seperti peri. Tetapi kenapa suaminya tidak pernah meliriknya? Itu artinya kecantikan bukan ukuran seseorang bisa jatuh cinta bukan? Ah, sudah lah, ia tidak boleh memaksakan dirinya lagi, agar Sabiru mencintainya. Toh, ketika ia sudah mendapatkan pasangan yang tepat, maka siapapun nanti yang akan menjadi pasangan hidupnya, pasti akan menerima dirinya apa adanya.

Pesan ibu mertuanya sebelum meninggal, menyuruh Safira harus tetap bertahan di sisi Sabiru dalam kondisi apapun, tidak bisa ia turuti. Karena Sabiru lah yang melepasnya dan memintanya pergi. []




Takdir Cinta Safira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang