Chapter 2

291 76 2
                                    

Di sinilah Safira sekarang, di sebuah rumah sakit untuk membuktikan hasil tes packnya benar atau tidak, kalau dia hamil. Safira belum percaya kalau dokter belum memastikan kalau dia beneran hamil.

"Selamat, ya, Bu Safira atas kehamilannya. Kalau bisa, lain kali ditemani suaminya, ya, jika mau memeriksakan kandungan," ujar Dokter Vina.

"Maaf, Dok, suami saya sedang di luar kota, jadi dia nggak bisa menemani saya kemari," jelas sekali jika alasan Safira adalah sebuah kebohongan. Dia hanya diantar oleh Siwi datang kemari. Siwi adalah sahabat baik Safira saat dulu kuliah.

"Fir, kamu beneran nggak bakal bilang sama suamimu, kalau kamu hamil?"

Safira menggeleng.

"Mungkin saja Sabiru bakal berubah jika kamu bilang hamil. Dia pasti senang kalau bakalan jadi ayah."

"Nggak Wi, aku sudah lelah menunggu cinta Mas Biru yang tidak kunjung hadir. Biarlah dia bahagia dengan kekasihnya."

Siwi merasa sedih dengan kehidupan Sabira. Dia sebatangkara, dan sekarang harus berpisah dalam kondisi hamil.

"Terus rencana kamu setelah ini, mau kemana Fir, apa kamu mau tetap tinggal di rumah peninggalan mertuamu itu?" 

Safira menggelengkan kepalanya kembali. Tentu saja ia sudah memikirkan dengan matang untuk keluar dari rumah peninggalan ibu mertuanya. Karena sesekali pasti Sabiru akan datang ke rumah masa kecilnya. Dan laki-laki itu akan tahu kalau ia hamil anaknya. Sabiru tidak boleh tahu kalau ia hamil. Biarkan dia bahagia dengan pilihannya, tanpa harus merasa terbebani dengan sebuah tanggung jawab.

"Wi, tolong, ya, kalau suatu saat kamu bertemu Mas Biru, jangan pernah katakan kalau aku hamil anaknya."

"Kamu beneran mau pergi? Pergi kemana Fira?"

Safira memilih diam. Untuk saat ini tempatya masih dirahasiakan. Siwi tidak boleh tahu tentang tujuan pelariannya. Suatu saat, ia akan mengatakan yang sejujurnya pada Siwi tentang tempat tinggalnya.

"Kamu beneran nggak mau ngasih tahu aku?"

"Mungkin ke Jogja, di sana aku masih punya saudara dari pihak almarhum mama," jawab Safira, dan sekali lagi ia harus berbohong.

"Mulai kapan? Aku bantuin kamu rapi-rapi, ya."

"Nggak usah. Aku cuma bawa tas ransel doang, kok." Tentu saja barang-barang lainnya sudah Safira kirim melalui travel saat Sabiru tidak ada di rumah, dan para asisten keluarga disuruh Safira berlibur. Ia ingin kepergiannya nanti tidak diketahui siapapun.

"Aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu dari aku Fir, kamu takut banget ya, aku bakal bilang pada Sabiru. Demi Allah ... Fir, aku bisa jaga rahasia."

"Aku percaya sama kamu, kok, Wi. Kita akan tetap berkomunikasi meskipun berjauhan."

Setelah dari rumah sakit, Safira mengajak Siwi untuk makan di sebuah restoran. Sebagai bentuk perpisahan, karena setelah ini ia akan jarang bertemu lagi dengan Siwi. Namun baru saja masuk, Siwi menghentikan langkahnya, di sana ia melihat pemandangan yang mengiris hati.

"Siwi, ada apa?" Safira mengikuti arah tatapan mata Siwi. Dua meter dari mereka ada sepasang muda-mudi yang terlihat sedang dimabuk cinta, dan ia sangat mengenali siapa dua orang dari mereka.

"Kita keluar aja ya, cari makan ditempat lain." suara Siwi sengaja dikeraskan sehingga menarik perhatian pengunjung. Dua orang dari mereka pun ikut menoleh ke arah Safira dan Siwi.

"Nggak usah, kita makan di sini saja. Aku nggak apa-apa, kok."

"Tidak. Aku tidak suka kalau kamu harus menyaksikan kemesraan sepasang pengkhianat. Hidup kamu harus bahagia setelah ini. Yuk ..." Siwi menarik lengan Safira keluar.

Safira menurut, mengikuti langkah Siwi keluar. 

"Aku sudah nggak nafsu lagi buat makan, demi melihat kedua pengkhianat itu. Mending kita pulang aja."

"Kamu nggak usah marah-marah gitu, Wi, biarin aja mereka mau ngapain juga, toh, Mas Biru udah mentalak aku."

"Dan dia bisa bebas bersenang-senang saat mantan istrinya sedang hamil. Hati kamu terbuat dari apa sih, Safira. Kamu lebih berhak mendapatkan Sabiru, karena dia ayah dari anakmu. Bukan perempuan tadi."

"Aku udah ikhlas Wi, udah jangan ngomongin Mas Biru lagi."

"Tapi aku nggak ikhlas melihat kamu diceraikan. Aku tahu kamu menyimpan luka sendirian. Kamu itu paling pintar nyimpan masalah, nggak bakalan ngomong kalau aku nggak korek-korek. Tubuh kamu sudah tinggal tulang gini, itu artinya kamu ngebatin."

Siwi memang benar, dia bukan orang yang bisa curhat pada semua orang untuk membagi kesedihannya. Safira lebih banyak menulis di group facebook pribadinya yang ia privasi. Di sana ia bebas mencurahkan kesedihannya, tanpa ada seorang pun yang tahu kalau ia sedang bersedih. Dengan mencurahkan lewat tulisan, Safira merasa lepas dan bebas.

"Sudahlah jangan bahas lagi tentang Mas Sabiru."

Siwi gemas dengan sikap sahabatnya yang sesantai itu, kalau ia sendiri mungkin akan mengamuk di restoran tadi. Menghancurkan apa yang ditemuinya. Bodo amat dengan rasa malu. Orang yang sedang terluka, rasa malu akan disimpan dulu di laci lemari. Tetapi pengendalian Safira, patut diacungin jempol. Dia tampak tenang, padahal Siwi yakin kalau hati sahabatnya itu sedang remuk redam.

Siwi dan Safira pun akhirnya pulang, kali ini Siwi ikut menemani Safira pulang ke rumah peninggalan mertuanya.

Rumah itu setelah pemiliknya pergi hanya menyisakan asisten rumah tangga dan penjaga kebun serta security. Rumah sebesar ini akan sepi, ketika Safira pun memilih pergi.

Safira berusaha untuk ceria dihadapin Siwi, ia mengobrolkan banyak hal, tanpa menyinggung sama sekali kalau dia bakal segera pergi. Barang-barang pemberian dari Sabiru sudah ia jual, seperti mobil dan perhiasan. Beruntung ia punya teman yang bekerja di show room mobil, jadi bisa meminta bantuan kepadanya. Sengaja menjual mobil, biar kepergiannya tidak mudah dilacak. Nanti juga ia akan ganti ponsel dan nomer handpone. Siapapun setelah ini, Safira tidak ingin berhubungan lagi. Untuk Siwi suatu saat ia akan menghubunginya kembali. 

"Padahal, kamu itu sangat cantik di banding selingkuhan suamimu itu. Apa sih yang di mau laki-laki. Sudah dapat istri cantik, cerdas, berbakti sama mertuanya, tapi hatinya masih batu," ujar Siwi gemas.

"Karena kami mungkin berjodohnya sebentar. Dahlah nggak usah bahas dia lagi, kalau bisa bantu aku biar cepat move on."

"Kenapa kamu kelihatan nggak sedih?"

Safira terkekeh. Apa dia harus banjir air mata karena dicampakan? Sudah cukup semalam saja dia menangis, membuang-buang air matanya untuk sebuah harapan bodohnya yang berharap kalau Sabiru bakal mencintainya.

"Aku pernah mendapatkan masalah yang lebih berat dari ini, jadi berpisah dengan Mas Biru bukan masalah yang besar." 

Siwi paham kalau Safira pernah kehilangan orang tuanya dalam satu waktu. Lebih perih dari itu, ia harus kehilangan hak waris dari harta orang tuanya akibat keserakahan keluarga dari pihak ayahnya. Kalau sekarang masih bisa terlihat tegar, karena dia sudah melewati ujian yang dahsyat dalam hidupnya. []












Takdir Cinta Safira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang