Chapter 3

295 80 11
                                    

Sabiru lebih banyak diam setelah secara bertemu dengan Safira di restoran bersama sahabat dekatnya. Mantan istrinya tidak berbicara apapun, seperti tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Namun, ucapan sahabat Safira cukup menyentil hatinya.

"Aku tidak suka menyaksikan kemesraan sepasang penghianat." Itulah kalimat yang tertangkap di telinga Sabiru. Cukup menampar perasaannya.

Apa benar dirinya seorang pengkhianat? Bukankah perpisahan mereka baik-baik? Safira pun dengan legowo menerimanya. Dari perpisahan ini, Safira banyak diuntungkan. Ia banyak mendapatkan warisan dari almarhum ibunya. Rumah yang ada di kawasan Senopati, termasuk perumahan untuk kalang elit. Jika di jual akan membuat Safira kaya. Belum mobil Rubicon, kebun, dan tabungan. Di antara mereka tidak saling mencintai, namun perpisahan ini tidak ada yang dirugikan.

Jangan-jangan Safira sudah cerita macam-macam pada temannya, sehingga menghakiminya sebagai suami jahat. Keterlaluan! Tidak tahu diuntung! Sudah untung almarhum ibunya mau mengangkatnya jadi menantu, kalau tidak, mungkin nasibnya akan jadi gembel di jalanan.

"Mas, kamu kenapa?" Namira menggenggam tangan kekasihnya. Sabiru kelihatan aneh, ia mendadak diam dan ogah-ogahan untuk menyentuh makanannya. Padahal, katanya sangat lapar.

"Aku nggak apa-apa. Kamu teruskan aja makannya." 

"Yang tadi itu mantan istrimu kan?" tanya Namira. Sabiru pernah memperlihatkan poto mantan istrinya. Cantik. Tetapi, Namira merasa dirinyalah yang lebih cantik.

"Iya," jawab Sabiru datar.

"Terus dia tinggal di mana sekarang?"

"Masih di rumah Mama."

"Apa?! Sayang, itu kan rumah peninggalan mama kamu, harusnya dia hengkang dari rumah itu."

"Rumah itu sudah diberikan almarhum mama untuk Safira. Jadi aku nggak bisa bertindak apa-apa."

"Ini nggak adil! Kamu ini anaknya, harusnya kamu yang mendapatkan warisan peninggalan rumah itu. Di sana ada banyak kenangan kamu dengan kedua orang tuamu," protes Namira. 

Namira tentu merasa kesal, kenapa keberuntungan selalu berpihak pada perempuan itu. Dialah yang lebih layak menjadi keluarga Arasyd, bukan Safira. Bisa jadi sultan, kalau Safira mendapat warisan rumah bergaya modern klasik itu. Harga rumah di kawasan itu 'kan mahal-mahal.

"Aku mau maharnya rumah itu kalau kamu menikahiku," ujar Namira sedikit kesal.

Enak saja Safira mendapatkan warisan rumah yang di Senopati, dia cocoknya tinggal di perumahan KPR.

"Nanti aku belikan, kalau kita sudah menikah." 

"Nggak mau. Aku maunya yang di Senopati. Aku suka dengan perumahan bergaya Eropa kalasik yang mirip kastil. Kesannya kayak tinggal di kerajaan. Elegan dan Estetik."

"Kita bisa membuatnya, dengan menyewa arsitek terbaik."

"Aku maunya rumah masa kecil kamu." Namira kukuh dengan keinginannya. Lebih tepatnya, ia nggak rela Safira tinggal di rumah yang menyimpan banyak kenangan masa kecil Sabiru.

Sabiru menghembuskan napasnya dengan kasar. Namira mendadak menjadi perempuan yang menyebalkan. Nggak mungkin 'kan kalau dia sedang cemburu pada Safira.

"Kamu kenapa?" tanya Sabiru. Biasanya Namira tidak pernah bertingkah kekanak-kanakan seperti ini.

"Pokoknya aku mau rumah yang ditinggali Safira sebagai mahar pernikahan kita."

"Kalau Safira nggak mau pindah?"

"Ya, kamu usir dia, kek, Mas. Kamu lebih berhak tinggal di rumah itu."

"Rumah warisan mama untuk aku ada di permata hijau, Namira. Jadi sudah, nggak usah ribut, dengan memperkarakan masalah sepele kayak gini. Rumah aku nanti bakal jadi milikmu, seluruh hartaku, bahkan jug hatiku. Bukankah itu yang kamu mau?" Suara Sabiru sedikit keras. Untung saja restoran sedang sepi.

"Pokoknya aku mau rumah itu."

"Terserah kamulah Namira, aku lelah." Sabiru bangkit dari duduknya, dan berjalan ke kasir untuk membayar makanan yang sudah di pesannya. Kalau pertemuannya dengan Namira, bakal tegang kayak gini, lebih baik ia tinggal di apartemen sendirian.

"Mas jangan tinggalin aku!" teriak Namira ketika Sabiru berjalan keluar dari restoran.

Lihat saja, ia akan membuat Safira tersingkir dari rumah milik calon mertuanya yang gagal. Kalau bisa, tidak ada sepeser pun harta yang dia bawa. Dia harus jadi gelandangan, karena Safira, dirinya harus tersingkir untuk menjadi menantu di keluarga Arasyd. 

***
Safira baru menyelesaikan makan siangnya. Dia hanya makan satu piring salad buah. Hanya ini makanan yang bisa diterima oleh perutnya, selain salad ia akan merasa mual. Kalau  ketahuan mual-mual saat makan, bisa-bisa kehamilannya terbongkar. Bisa saja para asisten yang sudah lama mengabdi di keluarga Arasyd, mengadu pada Sabiru. Lalu, semua rencananya bubar.

"Nona Safira ada tamu yang ingin bertemu dengan Nona." Bu Siti datang menghampiri Safira yang baru saja selesai makan.

"Siapa, Bu?"

"Kalau saya nggak salah, dia adalah mantan pacar Tuan Sabiru, Nona."

Safira mendecih dalam hati. Mau apa perempuan itu datang ke rumah ini? Bukannya sebentar lagi dia bakal jadi Nyonya Sabiru. Mungkin dia ingin memamerkan keberhasilannya karena telah berhasil membuatnya terdepak dari pernikahannya.

"Baik Bu Siti, saya akan segera menemuinya. Tolong siapkan air minum buat tamunya." Safira bangkit dari duduknya dengan anggun.

Meskipun sebelumnya belum pernah bertemu dengan wanita itu, tapi Safira harus menyiapkan amunisi agar bisa berhadapan dengan tegar.

Perempuan itu, namanya Namira. Ibu mertuanya dulu pernah mendapatkan sedikit informasi tentang kekasih Sabiru yang tidak direstui menjadi menantu. Saat itu Safira tidak terlalu peduli tentang asal-usul Namira. Toh, di masa mendatang kehidupan manusia bisa berubah. Yang awalnya baik, bisa jadi buruk begitupun sebaliknya. Tetapi, bagi keluarga Arasyd, bibit, bebet, dan bobot itu sangat penting.

Namira sudah duduk di kursi jati berukiran Jepara, kakinya saling menyilang dengan kedua tangan bersedekap ketika Safira datang menemui. Tatapan matanya terlihat merendahkan, ketika menilik penampilan Safira. Satu kata, penilaian Safira untuk Namira, yakni bad attitude. Layaknya, seorang tamu ketika datang ke rumah seseorang, harusnya dia bersikap sopan. Namun, ini malah kebalikannya.

"Kamu tahu kan, kalau aku calon istrinya Sabiru?" Namira malas berbasa-basi.

"Almarhumah ibu mertua saya pernah menceritakan siapa Anda." Safira berusaha tenang dan tetap memamerkan senyum manisnya. Ia tidak boleh terpancing. Kedatangan Namira, pasti memiliki maksud tertentu.

"Oh, ya?" Namira tersenyum sinis. Ia sebal ketika Safira menyertakan nama mertuanya.

Pastinya wanita yang sedang dikerubuti cacing itu sudah menceritakan keburukan-keburukannya. Bersyukurlah, jika sekarang wanita itu sudah mati. Sehingga ia bisa mendapatkan anaknya, sekaligus mengendalikannya.

"Rumah ini tentu milik Sabiru bukan?"

Safira mulai paham maksud kedatangan perempuan minim etika ini.

"Asalnya milik mertua saya, namun beliau mewariskannya pada saya."

"Enak saja! Harusnya rumah penuh kenangan masa kecil itu diberikan kepada anak sahnya, bukan menantu yang sekarang sudah jadi mantan menantu."

"Mungkin saja beliau ingin rumah ini tetap ada. Takutnya kenangannya jadi hilang, jika jatuh pada Mas Sabiru."

"Maksud kamu apa?" Namira memicingkan matanya.

"Karena bisa saja menantu baru merubah banyak kenangan dari rumah ini. Bukankah kedatangan Anda ke sini, ingin menjelaskan posis Anda di hati mantan suami saya? Tetapi lebih dari itu, Anda menginginkan rumah ini jatuh ke tangan Anda." Suara Safira sangat tenang tanpa emosi. Namun, cukup membuat Namira kesal dan tidak betah berlama-lama berbicara di depan Safira.

"Kamu boleh saja bersikap tenang saat ini, tapi lihat saja, aku akan membuat kamu segera tersingkir dari rumah ini, tanpa membawa apapun! Ancam Namira.

Safira hanya mengulas senyum, ia tidak perlu melayani ancaman Safira. []


Takdir Cinta Safira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang