Chapter 4

288 80 21
                                    

Saat rapat pikiran Sabiru tidak bisa fokus. Padahal, ini adalah rapat penting dengan perusahaan Jepang yang menawarkan kerjasama di bidang farmasi. Perusahaan milik keluarga Arasyd bergerak di bidang farmasi yang menyuplai obat-obat untuk rumah sakit yang ada di dalam negeri. 

Pertengkarannya tadi pagi dengan Namira lah yang membuatnya tidak fokus. Masalah yang diributkan Namira tetap sama dengan kemarin, yakni rumah yang kini ditempati oleh Safira harus menjadi miliknya. Tentu saja Sabiru tidak bisa setega itu. Jasa mantan istrinya sangat besar untuk keluarganya, terutama untuk kebahagiaan ibunya. Sejak Safira masuk menjadi keluarga Arasyd, mata ibunya terlihat lebih hidup. Seperti menemukan anak perempuannya yang hilang.

Kepergian kakak perempuannya yang mengalami sakit kanker otak, membuat jiwa ibunya cukup terguncang hebat. Kedatangan Safira sebagai menantu, mampu mengobati rasa kehilangan Sang ibu.

Dan kedua orang tua Safira, menurut cerita ibunya, memiliki peran penting dalam kelancaran bisnis jeluarganya. Di saat keluarganya bangkrut, keluarga Safira lah yang menolongnya dari kebangkrutan. Pantas saja jika ibunya lebih rela kalau ia menikah dengan anak dari orang yang sudah berjasa dalam hidupnya, ketimbang dengan Namira yang datang hanya untuk mereguk hasilnya.

Permintaan Namira akhir-akhir ini juga mulai tidak wajar, padahal dia belum jadi istrinya. Tetapi karena cinta, Sabiru senantiasa menuruti keinginan calon istrinya. Ia tidak peduli dengan nasehat sahabatnya, jika Sabiru itu bucin dan buta, sehingga tidak sadar jika dirinya sedang dimanfaatkan.

Rapat akhirnya berakhir di jam empat sore. Sabiru menarik napas lega. Ia berbasa-basi dengan Mr. Yumiko, setelah itu berpamitan. Urusan lainnya segera diserahkan kepada Sadewa orang yang menjadi kepercayaan sekaligus kaki tangannya.

Toko buku menjadi tempat pelarian Sabiru saat ini. Ia memang sangat suka baca dan juga petualangan. Namun hampir tiga bulan ini, ia jarang ke toko buku atau meneruskan hobinya seperti melakukan hiking, diving, atau olah raga paralayang yang memacu adrenalin. Kesibukannya di perusahaan sangat padat, ditambah ibunya mulai sakit-sakitan--yang membutuhkan banyak perhatian.

Kenapa ia suka ke toko buku? Ini adalah kegiatan yang diwariskan oleh keluarganya. Ayah dan ibunya akan mengajak kedua anaknya ke toko buku dibandingkan ke Mall. Menurut mereka kegiatan tersebut jauh lebih bermanfaat. Toko buku juga menyenangkan, tempatnya sepi, rapi, dan bersih.

Membeli buku memang sudah bisa dilakukan secara online, dan banyak juga yang sudah buku berbasis digital. Tetapi, datang ke toko buku langsung dan membaca buku secara cetak jauh lebih menyenangkan.

Sabiru sedang berada di bagian rak buku-buku  bisnis, tanpa sengaja matanya menangkap sesosok tubuh yang dikenalnya. Dia sedang berada di rak buku kehamilan, dan objek yang menjadi perhatiannya tampak asyik memilah buku. Sabiru mengernyitkan keningnya, rasa penasaran pun muncul dibenaknya. Dengan perlahan langkah kakinya mendekat.

"Safira kamu ada di sini juga?"

Mata bulat Safira melebar, ia terlihat kaget.

"Eh ... Iy--iya, Mas," jawabnnya gugup.

"Mencari buku kehamilan buat siapa?"

"Ehm ... Ada teman yang nitip, Mas." Jangan sampai ketahuan kalau dirinya sedang hamil bisa gawat.

"Ooh ..." respon Sabiru datar. "Emangnya kamu nggak repot dititipin beli buku. Zaman sudah canggih gini, tinggal klik saja online shop. Atau bisa minta dibeliin suaminya mungkin. Ngomong-ngomong teman kamu yang mana, bukannya teman kamu cuma Siwi doang, ya?"

Ais ... Sangat menyebalkan kalau jiwa kepo Sabiru sudah keluar. Untuk apa juga dia nanya sedetail itu. Ekpresi dia juga biasanya datar dan lempeng kayak papan triplek.

Safira mengibaskan tangannya. "Nggak lah. Aku nggak repot. Ini teman kuliah yang satu lagi, tapi tinggalnya di pelosok karena ikut menemani suaminya yang seorang dokter. Dia jauh dari toko buku, dan kalau beli, lebih mahal ongkirnya." Safira merasa berterimakasih pada otaknya yang encer dalam mengarang cerita.

Ternyata hobinya ngehalu membuat cerita sangat berguna, meskipun cukup di pejeng di blog pribadinya.

"Bukannya sama saja ya, dibelikan oleh kamu ongkirnya tetap akan mahal?"

Duh, kenapa sih ini orang jiwa detektifnya jadi kumat gini? Aku harus ngarang cerita apalagi.

"Aku rencananya mau ngasih kado sama dia. Sebagai bagian dari rasa bahagiaku, karena sahabatku telah hamil."

"Tadi nitip, sekarang kado, mana sih yang benar?" Sabiru menatap Safira dengan tatapan menyebalkan.

Kalau masih bergelar suami, ingin saja menggemplang kepala Sabiru dengan panci. Bodo amat kepalanya benjol atau bocor. Pria satu ini jadi berubah menyebalkan di matanya.

"Mas Sabiru lagi ngapain di sini?" tanya Safira mengalihkan pembicaraan.

"Nyari bukulah." Ekpresinya kembali datar.

"Nyari buku kehamilan juga?"

Sabiru tidak menjawab pertanyaan Safira, ia merasa malu karena sudah terlalu kepo pada urusan mantan istrinya. Dia pun perlahan menjauh.

Ada dua buku kehamilan yang Safira pilih. Sisanya ia membeli buku novel, motivasi, kesehatan dan juga agama. 

"Biar aku yang bayar. Mbak tolong total semua harganya dengan buku ini." Tiba-tiba Sabiru menyerobot antrian Safira. 

Safira mengucapkan terimakasih, ia males berdebat jika menolak.

"Aku ada yang ingin dibicarakan sama kamu," ucap Sabiru ketik sudah berada di luar.

"Maaf aku harus buru-buru, Mas. Pak Yono pasti sudah kelamaan menunggu."

"Biar aku yang ngomong sama dia, dan kamu pulangnya sama aku."

Safira menghela napas lelah. Jika sikap Sabiru kayak gini, akan banyak masalah di masa depan. Tidak ada ruang buat mantan yang sudah mencampakannya. Lihat saja, sikap Sabiru seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal ia masih terluka dengan keputusan yang sudah diambil oleh Sabiru.

Lelaki itu mengantar Safira sampai rumah. Dia bahkan ikut masuk ke dalam. Mengajak Safira bicara di ruang perpustakaan. 

"Mas mau ngomong apa?" tanya Safira setelah menurunkan gelas berisi minuman.

"Safira, kamu tahu nggak, kalau rumah ini menyimpan banyak kenangan buat aku bersama almarhum Kak Liana, juga mama dan papa."

"Iya, Mas," jawab Safira lirih.

"Setelah aku menikah, aku ingin tinggal di rumah ini. Biar hatiku selalu tertaut dengan kenangan orang-orang yang aku sayang--yang kini telah tiada."

Safira mengatupkan mulutnya. Ia tahu maksud Sabiru, lelaki itu ingin mengusirnya dari rumah warisan ini. Tega! Ini pasti karena desakan Namira. 

Semula ia memang ingin pergi. Rumah terlalu besar untuk ditinggali sendiri. Tetapi kedatangan Namira membuat tekadnya berubah. Ia harus mempertahankan rumah warisan ini, jangan sampai dikuasai oleh calon istri baru mantan suaminya yang memiliki watak serakah.

"Safira, kamu mau kan kalau rumah ini di tukar dengan rumahku yang di permata hijau?"

"Mas, awalnya kamu sudah setuju bahwa rumah ini jadi milikku, sesuai wasiat ibu. Kenapa sekarang kamu berubah? Apa ini semua karena Namira?"

Kini Sabiru yang bungkam. Kenapa Safira bisa mengetahui maksud dari semua ini karena Namira? Atau jangan-jangan, Namira sudah datang menemui Safira. []


Takdir Cinta Safira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang