Kepergian Sabiru menyisakan lara di hati Safira. Ternyata pertemuannya di toko buku--yang berlanjut mengajaknya berbicara karena laki-laki itu menginginkan rumah yang sekarang ditempatinya.
"Aku hanya punya kenangan di rumah ini, sedangkan kamu sudah memiliki apa tujuanmu ketika datang ke rumah ini bukan?" Kata-kata yang diucapkan Sabiru terdengar seperti sebuah penghinaan.
Kenapa Safira menganggapnya penghinaan? Karena laki-laki itu menganggap jika kedatangannya sebagai menantu di keluarga Arasyd adalah karena uang. Itu salah besar. Bu Cintami, ibunya Sabiru, dialah yang memohon agar Safira mau menikah dengan putranya yang dingin dan arogan. Selain ingin balas budi, menikahnya dengan Sang putra akan menyelamatkan keluarga Arasyd. Entah menyelamatkan apa, Safira tidak paham.
Laki-laki itu lebih membela kekasihnya. Harusnya ia yang dipedulikan, karena ada janin yang berkembang dalam rahimnya. Apa ini semua karena salahnya yang tidak mau terbuka tentang status kehamilannya? Safira merasa lelah jika harus dipusingkan untuk memikirkan masalah rumah warisan.
"Kalau aku tidak mau." Safira menatap Sabiru dengan tatapan menantang. Lelaki dihadapannya sudah bukan siapa-siapa lagi. Jadi, tidak ada priorioritas memuliakan mantan suami dalam hidupnya.
"Aku akan melakukan berbagai cara agar bisa memiliki rumah ini lagi. Bukankah awalnya kedatangan kamu ke rumah ini tidak membawa apa-apa?" Seringai licik dan senyum meremehkan, itulah yang Safira lihat dari wajah Sabiru.
'Gila! Gara-gara ulah perempuan ular itu si Sabiru jadi gerser otaknya!' geram Safira dalam hati.
"Lakukanlah. Aku tidak takut!" tantang Safira.
Giliran Sabiru yang menggeram dalam hati. 'Dasar rubah licik! Ini semua salah ibunya yang membuat Safira jadi serakah.'
Kejadian itu sudah tiga hari berlalu, namun tetap saja Safira masih kecewa. Jika pun ia ingin bertahan sebentar, semua demi calon anaknya. Dia lebih berhak memiliki rumah peninggalan eyangnya. Bukan Sabiru atau Namira dan keturunannya.
Malam semakin larut, semilir angin mengirimkan hawa dingin. Safira merapatkan jaketnya. Ia harus segera masuk, tidak baik perempuan yang sedang hamil lama berada di balkon. Meskipun pemandangan dari balkon terlihat sangat indah. Suasana balkon di ruang terbuka, tampak memiliki pemandangan kota yang indah dengan lampu-lampu di malam hari.
Kerongkongan Safira terasa kering. Ia lupa belum memberi tahu asisten rumah tangganya kalau galon yang ada di dalam kamarnya belum sempat diganti karena habis. Ia pun memilih turun ke lantai bawah menuju dapur.
Saat melintas lorong menuju dapur ia mendengar suara seseorang sedang mengobrol di telepon.
"Besok serbuk racunnya akan saya campur ke dalam minumannya."
Dada Safira langsung berdebar ketika mendengar kata racun. Niatnya untuk pergi ke dapur, urung ia lanjutkan. Ia mencari tempat sembunyi yang aman demi bisa menguping pembicaraan. Matanya awas menatap kamar yang sedikit terbuka. Lampu masih menyala. Sedangkan satu kamar lainnya sudah gelap, dan mungkin penghuninya sudah terlelap dalam mimpi indah.
Lima menit kemudian, terdengar suara pintu di kunci, lalu lampu kamar berubah gelap.
'Ya Tuhan ... Apa yang sedang mereka rencanakan? Apakah aku yang akan jadi sasarannya?' batin Safira.
Setelah dirasa tidak ada yang mencurigakan, Safira berjingkat, berjalan menuju kamarnya, mengunci pintu dengan hati-hati. Dia tidak jadi mengambil air minum, lebih baik minum air keran, agar tidak ada yang mencurigai bahwa dia sudah mengetahui jika di rumah ini ada pengkhianat. Besok dia akan pura-pura tidak tahu. Tetapi akan lebih berhati-hati dalam menerima makanan atau minuman yang diantarkan oleh ART-nya. Musuh sudah mulai melancarkan serangan, dan dia melawan sendirian.
Tidak mungkin sasarannya sesama pelayan. Yang mereka tuju, jelas dirinya. Mereka ingin menguasai apa yang sudah Safira miliki. Tetapi syukurlah, Safira mengetahui rencana busuk mereka dari awal, sehingga ia bisa berhati-hati dan bisa menyusun rencana.
***
Pukul 4.30, Safira sudah bangun. Setelah itu, ia mandi, dan bersiap untuk melaksanakan kewajibannya. Lalu, turun ke bawah untuk membuat sarapan. Beruntung hari ini tidak mual-mual seperti sebelumnya."Bu Safira mau minum teh, biar saya buat. Ibu bisa menunggu di ruang keluarga sambil menonton televisi, nanti tehnya saya antar." Seorang pelayan yang masih terlihat muda mendekati Safira.
'Dia tahu aku suka minum teh chamomile di pagi hari,' batin Safira.
Safira tersenyum lalu mengangguk. "Boleh," ujarnya.
Teh chamomile sangat bagus buat kesehatan diambil dari ekstrak bunga tanaman chamomile yang berasal dari Eropa. Tidak mengandung kafein. Banyak diminati, karena bagus untuk kesehatan. Rasanya yang manis dan aromanya yang harum sangat cocok diminum di pagi atau sore hari.
Manfaat teh chamomile diduga berasal dari senyawa aktif yang ada di dalamnya, seperti azolin, bisabolol, apigenin, dan luteolin. Berkat kandungannya tersebut, teh chamomile berkhasiat sebagai antiradang, antimikroba, antioksidan, dan bahkan antikanker. Karena memiliki banyak manfaat, maka Safira menyukainya.
Setelah menyiapkan selembar roti yang di olesi selai nanas, Safira pura-pura pergi. Ia ingin melihat sampai mana pelayan itu berbuat kurang ajar padanya.
"Bu Safira, ini tehnya."
"Oh, simpan saja di meja. Nanti akan saya minum"
Ketika minuman itu sudah tersimpan di meja, Safira dengan gerakan yang sudah direncanakan dia mendorong gelas, sehingga airnya tumpah menciptakan genangan di atas meja.
"Ops ... Maaf aku nggak sengaja." Safira memperlihatkan raut muka penuh rasa bersalah.
Wajah itu terlihat kaget. Dan tampak ada bias kekecewaan di wajah manisnya.
"Tidak apa-apa biar saya lap. Apa Bu Safira mau dibikinin minuman lagi."
"Ah, tidak usah." Safira mengibaskan tangannya. "Selera saya untuk minum teh sudah hilang. Saya mau minum air kemasan saja. Kalau pun mau minum, saya akan membuatnya sendiri." Safira bangkit dari duduknya, dan ia berjalan ke dapur untuk mengambil air mineral kemasan. Jauh lebih aman, menurutnya.
Sebelum jauh melangkah, Safira mendengar makian pelan yang keluar dari mulut pelayannya.
"Sial! Rencanaku gagal pagi ini!" geramnya.
Safira tersenyum puas. Karena pagi ini berhasil membuatnya kecewa. Tetapi Safira yakin bahwa setelah ini mereka akan terus mengupayakan agar rencananya berhasil. Safira jadi penasaran, apa yang membuat mereka ingin menyingkirkannya? Sabiru atau Namira yang ada dibalik semua ini? Atau ada orang lain yang menginginkan nyawanya mati.
Sekarang Safira sedang berada di kamarnya, ia berniat merebahkan tubuhnya, saat panggilan telepon masuk, ia pun mengurungkannya untuk rebahan.
Mas Sadewa yang meneleponnya. Ada apa laki-laki itu menelponnya pagi-pagi. Bukankah urusan dia hanya kantor, dan itu berkaitan dengan Sabiru. Safira tahu kalau Mas Sadewa adalah kaki tangan suaminya di perusahaan milik keluarga Arasyd. Jauh sebelum Safira dan Sabiru menikah.
"Safira, bagaimana keadaanmu?" Pertanyaan laki-laki itu membuat kening Safira mengernyit. Terdengar ada nada khawatir dari getar suaranya.
"Alhamdulillah aku baik, Mas."
"Tidak ada orang yang berniat mencelakakanmu?"
"Nggak, Mas. Buktinya aku baik-baik saja."
Sadewa tertawa. Suaranya terdengar renyah.
"Syukurlah. Aku khawatir kamu kenapa-napa. Cerita ya, kalau kamu mendapat masalah."
"Iya, Mas."
"Ya udah, saya tutup teleponnya, ya. Mau siap-siap berangkat ke kantor."
"Baik, Mas."
Telepon pun ditutup. Dan Safira menatap layar hapenya dengan pikiran berkecamuk.
"Kenapa dia yang jauh lebih peduli pada aku? Kenapa dia yang tahu bahwa aku dalam keadaan bahaya? Safira memejamkan matanya berusaha sekilas mengais memori di masalalu. []

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Safira
ChickLitSetelah diceraikan oleh suaminya, kepahitan masih enggan sirna dari hidup Safira, ia harus mengalami penculikan oleh orang yang memiliki dendam masa lalu terhadap keluarganya. Safira berhasil meloloskan diri dari kejaran sang penculik, namun naas, m...