"Jangan biarkan dia hidup. Usahakan dia harus mati!" ujar laki-laki itu di ujung telepon.
Telepon sudah dia tutup. Nafasnya belum teratur karena diburu oleh amarah. Kekejaman dan kekejian terlihat dari sinar matanya. Dia lelaki penuh dengan ambisi, meskipun usianya sudah dibayangi oleh temaran senja. Waktu yang sebaiknya digunakan olehnya untuk bertobat. Tetapi dendam dan keserakahan masih bertahta di dalam raganya. Bergulung seperti ombak yang siap melalap pasir di tepi pantai. Sekarang, adalah waktu paling tepat untuk balas dendam dan merebut apa yang dia inginkan.
Dia kesal sekali jika rencananya harus gagal. Ceroboh! Kenapa pembantu itu tidak berhati-hati dalam menjalankan misinya. Hampir saja berantakan. Jika polisi sudah turun tangan, maka bisa saja misinya gagal. Narenda, polisi yang menangani kasus kemarin, bukan polisi yang bisa disogok oleh uang. Dia seorang polisi yang memiliki dedikasi tinggi untuk membongkar setiap kejahatan. Pasti mudah bagi dia untuk mencari dalang dibalik kejahatan yang dia ciptakan.
Dia bukan hanya menginginkan rumah yang ada di Senopati, tapi menginginkan semuanya. Semua harta milik Arasyd, harus jatuh ke tangannya. Selama ini, ia sudah banyak menurunkan orang-orang untuk menyingkirkan orang yang bakal jadi penghalangnya, tapi tidak mudah. Yang membuat ia kesal sekarang, karena pembantu yang disuruh melenyapkan menantu di kelaurga Arasyd, ternyata masih hidup, meskipun dia sudah menengak racun tikus.
"Ayah, tenang saja. Rencana kita pasti berhasil." Ia menyodorkan pada ayahnya satu cangkir teh tanpa gula. Penyakit diabetes yang dialami Sang ayah, membuatnya harus menghindar dari gula, kalau ingin hidupnya lebih lama bertahan di dunia.
Lelaki tua itu mengibaskan tangannya. Raut kesal masih nampak di sisa wajahnya.
"Ayah tidak ingin minum. Ini gara-gara mereka yang nggak becus mengatasi masalah seperti ini."
"Mereka sudah bekerja cukup keras, Ayah. Tetapi waktu memang belum berpihak pada kita."
"Diam kamu! Ini juga semua karena kamu yang bikin rencana kita berantakan!" bentaknya kesal.
"Aku tidak melakukan apapun." Gadis itu membela diri, tidak terima jika dirinya disalahkan.
"Sekarang, fokus saja pada rencanamu. Jangan libatkan dirimu pada apa yang sudah Ayah rencanakna."
"Baiklah. Aku tidak akan ikut campur. Tetapi, aku minta uang buat liburan bersama kekasihku." Gadis cantik yang memakai gaun berwarna gading itu menadahkan tangannya.
"Tidak ada. Sejak bersamanya, kamu malah sering menghambur-hamburkan uang. Jika dia cinta sama kamu, harusnya dia yang banyak berkorban."
Tetapi si gadis tidak mengindahkan perkataan ayahnya. Ia sangat cinta dengan lelaki yang tidak disukai ayahnya itu. Sebab dia yang bisa menemani segala kesenangannya dan mampu mengusir kesepiannya.
"Princess, sampai kapan kamu akan dibutakan oleh cinta?" tanya si ayah lelah. Harus berapa kali ia menyadarkan putrinya, jika pilihan dia adalah salah. Dan suatu hari kebucinannya akan menjadi batu sandungan atas misi yang diembannya.
"Sampai Ayah mengijinkan kami menikah."
Pria paruh baya itu mendengkus kesal. Jelas saja ia nggak bakal mengijinkan pria tidak bermodal menggenggam hati putrinya. Tetapi menolaknya, sama saja ia akan bermusuhan dengan putrinya, seperti yang sudah-sudah. Inilah yang menjadi kelemahannya, dibalik kebengisannya, ia juga sangat mencintai dan menyayangi putrinya. Rasa inilah yang menjadi titik kelemahannya.
Putri cantiknya adalah pusat bahagianya, setelah istrinya pergi meninggalkannya dan menyerahkan putrinya untuk berada dalam asuhannya. Serupa kaca, itulah ia dalam menjaga putrinya. Tetapi kini, hadir laki-laki lain yang mengalihkan fokus putrinya. Jelas saja ia tidak suka. Sebagai ayah, perannya merasa diabaikan karena kehadiran laki-laki baru yang bersemayan di hati putrinya. Maka, sebelum perasaan putrinya jauh berkembang, ia pun harus bertindak cepat, kalau perlu melenyapkannya. Seringai licik pun samar tercetak dari bibirnya yang hitam akibat sering bersentuhan dengan nikotin.
***
Sabiru baru saja selesai memakan lontong bumbu, sekarang perutnya sudah lumayan aman tidak kelaparan seperti tadi. Ada untungnya juga ia datang ke apartemen Sadewa, karena bisa merasakan makanan yang berbeda, tidak membosankan, tapi enak dilidahnya.
"Aku mau ngomong sama kamu. Hanya empat mata." Sabiru menatap Safira yang baru dua suap menikmati nasi uduk.
Jika Sabiru memilih lontong bumbu sebagai sarapan, maka Safira memilih nasi uduk.
"Biarkan Safira menyelesaikan makanannya lebih dulu," tegur Sadewa pada Sabiru.
Sabiru mendengkus kesal. Ia benci melihat perhatian Sadewa pada Sabiru dan gemas juga melihat Safira yang makannya sangat lelet. Entah berapa ratus kunyahan untuk menelan satu suap nasi uduk. Dia saja makan tidak membutuhkan waktu lama, mungkin tanpa menelannya, saking cepatnya itu makanan masuk ke dalam perutnya. Jika ada lomba makan, ia yakin akan jadi pemenangnya.
Safira mengacuhkan ucapan Sabiru. Hal apa lagi yang mau dibicarakan, ia sedang tidak memiliki keinginan untuk buka mulut. Buang-buang energi.
"Apakah perlu aku suapin makan nasi uduknya, dengan bantuan mulutku," ujar Sabiru gemas karena Safira tidak bereaksi. Ia nggak suka didiamkan begini.
Safira mendengkus kesal. Ia tidak suka mendengar ucapan Sabiru yang terkesan merendahkannya. Sebenarnya ia sedang mual, tetapi dicoba ditahan agar tidak muntah. Melihat wajah Sabiru, entah kenapa memicu mual di dalam perutnya. Mungkin si janin tidak suka kehadiran ayahnya. Perut Safira kembali bergolak, kali ini tidak bisa ditahannya. Safira segera turun dari stool dengan tangan menutup mulutnya, gegas berlari menuju ke kamar mandi.
Sabiru refleks mengikuti langkah Safira. Sadewa dan adiknya saling pandang.
"Mas, kalau Mas Biru tahu Mbak Safira hamil gimana?"
"Biarkan saja. Dia ayahnya, kok."
"Tetapi kelihatannya Mbak Safira tidak menyukai kehadiran mantan suaminya."
"Sudahlah, kita cukup jadi pengamat saja. Biarkan Safira sendiri yang cerita kalau dirinya hamil. Kita cukup diam saja," ujar Sadewa pada adiknya.
Lita pun tidak bertanya lagi, karena itu bukan urusannya.
"Kamu mual kenapa?" tanya Sabiru. Terlihat ada rasa khawatir dari tatapan matanya.
Safira menepis tangan Sabiru yang masih bersandar di tengkuknya.
"Aku tidak apa-apa," ujarnya lemah.
"Kamu tidak sedang hamil kan?" Sabiru menatap curiga pada Safira.
"Ngarang. Aku sedang tidak hamil. Hanya lambungku sedikit bermasalah."
"Ayo, kita periksa ke dokter." Tangan Sabiru mencekal tangan Safira.
Safira kembali menepisnya. "Aku tidak apa-apa. Jangan sok peduli, kehidupan kita sudah berbeda," tegasnya. Ia merasa harus memiliki batasan yang jelas dengan mantan suaminya, kalau tidak ingin hatinya patah.
"Aku peduli sama kamu."
"Aku tidak butuh kepedulian kamu. Kita sudah tidak ada ikatan apapun. Jadi, berikan saja kepedulianmu pada wanita yang pantas kamu cintai." Suara Safira terdengar dingin dan penuh penekanan.
Safira berlalu dari hadapan Sabiru yang masih mematung. Kenapa ucapan Safira membuat perasaan hatinya tidak nyaman? Ada secercah kesedihan yang tiba-tiba menyusup bilik hatinya. Padahal, rasa yang dirasakan Safira mungkin lebih jauh dari ini, karena pengabaian darinya. []

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Safira
ChickLitSetelah diceraikan oleh suaminya, kepahitan masih enggan sirna dari hidup Safira, ia harus mengalami penculikan oleh orang yang memiliki dendam masa lalu terhadap keluarganya. Safira berhasil meloloskan diri dari kejaran sang penculik, namun naas, m...