Chapter 8

298 60 9
                                    

"Siapa yang sudah menyuruhmu untuk melenyapkan saya?" tanya Safira to the point pada Nina. Gadis itu sedang memegang teko,  mau menuangkan teh ke dalam gelas ketika Safira hadir.

Nina langsung menurunkan tangannya dari pegangan teko. Ada binar terkejut di wajahnya.

"Ma-maksud Bu Safira--apa?" ujarnya gugup.

"Saya mendengar telepon kamu malam hari dengan seseorang--bahwa kamu akan mencampurkan racun pada minuman. Dan paginya, kamu mengantarkan teh chamomile buat saya. Jadi, siapa yang sudah menyuruhmu?" tegas Safira. Tatapannya yang tajam membuat Nina terlihat resah.

"Demi Allah, Bu saya tidak melakukannya."

"Jangan membawa-bawa nama Allah dalam perbuatan jahatmu. Saya sengaja tidak mengatakan kejahatan kamu pada polisi, karena ingin mendengar sendiri pengakuanmu."

"Saya jujur tidak melakukannya, Bu." Nina tetap tidak mengaku.

"Kamu pikir saya bodoh. Kamu mendengar jeritan Bu Kursiti, padahal mengaku sedang di taman. Kamu tahu kan, jarak dari dapur ke taman itu lumayan jauh. Itu artinya kamu bersembunyi di tempat lain setelah menebar racun ke dalam semangka--liciknya kamu menjadikan Mirna sebagai pihak tertuduh."

"Saya benaran tidak melakukan ...." Lalu entah ada ide dari mana, dalam secepat kilat tangan Nina mengambil pisau dapur yang tidak jauh dari jangkauannya. Ia berniat menusuk Safira, untungnya Safira cepat menghindar. Lalu, ia mengirim serangan telak pada Nina yang membuat gadis itu tersungkur. Pisau pun jatuh terpental ke lantai.

"Safira, apa yang anda ketahui tentang gadis ini?" tanya Sadewa yang sudah berada di dapur menyusul Safira. Ia merasa penasaran dengan Safira yang mengejar Nina ke dapur untuk mengambil minum buat tamu. Karena, ia pun sebenarnya mencurigai salah satu pembantu keluarga Arasyd.

Safira pun menjelaskan tentang kejadian yang ia dengar saat akan mengambil air minum pada malam hari, serta suguhan teh chamomile di pagi hari yang akan diberikan Nina kepadanya. Tetapi, ia tidak sempat meminumnya karena tumpah. Sengaja ditumpahkan, sebenarnya. Karena ia takut air teh itu telah dicampur racun.

"Apakah bekas gelasnya masih ada?" tanya Sadewa. Tak ketinggalan juga dia meminta pengelap lantai dan taplak meja untuk dijadikan bukti. Karena jika air minum itu dibubuhi racun, saat tumpah pasti akan membasahi barang tersebut, dan akan ada jejaknya yang tertinggal di sana. Bisa dijadikan bukti penyelidikan.

Sadar posisinya terdesak, Nina pun segera mengeluarkan sesuatu dari saku dasternya. Sebuah botol kecil. Dengan gerakan cepat ia buka tutupnya, lalu di tengak isinya sampai habis. Tidak lama gadis itu kejang-kejang. Tenggorokannya terasa terbakar. Ia bodoh, tapi hanya cara ini yang bisa dilakukan olehnya saat ini. Karena kalau ia buka mulut, seluruh keluarganya akan dibantai.

Safira melotot melihat tindakan bodoh Nina, gegas ia mengambil susu murni dari kulkas. Semoga saja bisa jadi penangkal racun.

"Dasar bodoh, apa yang kamu lakukan sehingga harus bunuh diri seperti ini?" maki Safira sambil membantu Nina. Sebisa mungkin ia menolong Nina agar gadis itu selamat. Dia tidak boleh mati, karena dialah  saksi kunci terjadinya kejahatan di rumah ini.

Tim polisi datang mendekat. Salah satunya menanyakan kronologi kejadian yang terhitung cepat. Sedang yang lainnya ikut menggotong tubuh Nina untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Setelah sebelumnya, ia telah diberi susu untuk menetralisir racun. Semoga saja tidak terlambat, sehingga masih bisa diselamatkan. Dan gadis itu mau buka mulut.

"Safira, ayo kita pergi dari rumah ini. Rumah ini sudah tidak aman buat kamu. Kejadian di rumah ini, benar-benar bikin aku khawatir dengan keselamatan kamu. Satu orang berusaha dilenyapkan, dan satu lagi berusaha bunuh diri. Ini bukan kejahatan biasa," tutur Sadewa.

Safira pun mengikuti langkah Sadewa. Ia harus rela meninggalkan rumah megahnya, karena nyawanya saat ini sedang terancam. Tadinya, ia tidak mau cepat-cepat pergi, ia ingin menggali motif Nina yang memiliki keinginan untuk melenyapkannya. Sayangnya, tidak berhasil.

Sabiru tidak suka melihat kedekatan Safira dengan Sadewa. Ia merasa jika orang kepercayaannya di kantor itu memiliki perhatian pada mantan istrinya.

"Kamu mau membawa Safira kemana?" 

"Membawa Safira ke tempat aman. Aku yakin jika dia masih berada ditempat ini, kamu dan kekasihmu, kemungkinan besar akan bekerjasama untuk melenyapkanmu," bisik Sadewa.

"Hati-hati dengan ucapanmu, Dewa. Aku tidak pernah memiliki niat untuk melenyapkan Safira." Sabiru terlihat geram.

"Awalnya mungkin iya, tapi ketika Sang kekasih hati berhasil mengomporimu untuk mengambil rumah ini, bisa jadi motif kamu berubah. Orang itu akan melakukan sesuatu yang nggak logis, ketika bucin pada orang yang dicintainya."

"Termasuk kamu," sinis Sabiru.

"Aku ini beda dengan kamu. Menyelamatkan, atau menjaga, berbeda dengan mencintai," sindir Sadewa.

Safira melihat percakapan Sadewa dengan Sabiru dengan datar. Ia pun sebenarnya sangat malas berurusan dengan keduanya. Tetapi, ia butuh tempat aman untuk malam ini.

Perdebatan selesai. Mobil Pajero Sport milik Sadewa akhirnya meninggalkan Senopati. Tidak ada percakapan yang terjadi setelah berada di dalam mobil. Safira benar-benar merasa lelah sekarang. Ia ingin tidur, tapi matanya sulit dipejamkan, saking banyaknya pikiran. Ia memilih duduk di belakang. Karena merasa tidak nyaman duduk berdua di sisi Sadewa. 

Safira merasa jika Sadewa sering melirik kaca spion mobil. Bukan meliriknya, tapi seperti ada yang membuntuti mobilnya. 

"Safira, mobil kita dibuntuti, kamu kencangkan seat bellnya, aku akan mengecoh mereka dan menambahkan kecepatan." Sadewa memperingati Safira.

Benar dugaannya, jika dibelakang ada yang membuntuti mobilnya. Untunglah suasana jalanan sedang ramai. Jadi, mobil di belakangnya tidak bisa leluasa mengejarnya, bahkan yang dikendarai penguntit sudah tersalip oleh dua mobil. Dan ketika jalanan lowong sedikit, Sadewa menambahkan laju kendaraannya. Sebisa mungkin jangan tersusul oleh mobil pengemudi Terios.

Akhirnya, Safira sudah berada di apartemen Sadewa dengan aman. Sadewa berhasil mengecoh pengemudi Terios dengan memilih jalan lain menuju apartemennya. Safira merasa lega untuk saat ini.

Safira dipersilahkan untuk istirahat di kamar Lita, Sadewa sangat paham jika Safira akan kelelahan. Kejadian tadi, akan sangat memukul jiwanya. Safira sedang hamil muda--di mana harusnya bahagia dan pikirannya tenang. Sabiru memang br*ngs*k, dia akan menyesalinya nanti jika tahu mantan istrinya hamil.

Masuk ke kamar perempuan, tercium wangi bunga angkrek yang sangat disukainya. Safira suka dengan aroma seperti ini, merasa segar dan tenang. Tetapi ia begitu kaget ketika melihat potret yang menempel di dinding. Bayi yang ada dalam pangkuan anak laki-laki itu, kenapa sangat mirip dengan potret dirinya di masa kecil yang tersimpan rapi di album keluarganya, semasih orang tuanya masih ada. Apakah bayi kecil itu Lita, tapi kenapa sangat mirip dengan dirinya? 

Terhubung dengan Sadewa, banyak hal aneh. Sedekat itukah dirinya di masa kecil. Jika, ya, hubungan sejenis apa. Sadewa juga banyak mengetahui dirinya. Ini hal yang harus dicurigai, dan patut di waspadai. []

Takdir Cinta Safira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang