Chapter 6

282 73 9
                                    

Sabiru mengeluarkan semua unek-uneknya tentang Safira pada Sadewa. Perihal Safira yang tidak mau pergi dari rumah yang ada di Senopati.

"Itu warisan Safira dari ibu kamu, dan kamu sudah mendapatkan yang lain, bahkan lebih dari itu. Kenapa harus marah?"

"Masalahnya Namira menginginkan rumah itu."

"Yakin hanya menginginkan rumah itu?"

"Maksud kamu?" Sabiru balik bertanya dengan raut tidak suka.

"Dia iri pada kehidupan yang pernah diraih Safira. Bu Cintami lebih memilih Safira ketimbang dia. Kalau aku ada di posisi Bu Cintami, akan melakukan hal yang sama. Akan memilih Safira sebagai menantu karena jelas biibit, bebet, dan bobotnya. Lagian Namira belum sah menjadi istri kamu, permintaannya terlalu berlebihan. Memangnya dia memiliki kualitas apa?"

"Kamu membela Safira? Jangan-jangan kamu suka sama dia." Tuduh Sabiru.

"Terserak kamulah. Aku cuma mau bilang, sayangnya Namira sama kamu itu nggak tulus. Tetapi menyedihkannya hati kamu buta, padahal Bu Cintami udah ngingetin dari dulu. Kalau nanti kamu hancur karena dia, aku nggak mau nolong. Capek aku ngomong sama orang bucin. Semua nasehat nggak bakal didengar, kecuali udah ngerasain sakit." Sadewa beneran gemas dengan tingkah Sabiru.

"Namira nggak kayak gitu. Dia ...."

"Dahlah, aku males dengarnya." Sadewa mengibaskan tangannya, pertanda kesabarannya sudah habis.

Sadewa memilih keluar dari ruangan Sabiru. Satu juta nasehat tidak akan masuk ke telinga orang bucin. Kasihan sebenarnya dengan Safira, tetapi perpisahan jauh lebih baik. Meskipun ia tahu, jika gadis itu sedang berada dalam bahaya besar. Makanya, Bu Cintami menitipkan Safira kepadanya, agar dijaga dari jarak yang jauh. Safira membutuhkan perlindungan yang tidak mampu Sabiru berikan. Dan kini terbukti, Sabiru melepaskannya setelah ibunya pergi.

Jika pun, Bu Cintami tidak menyuruhnya, ia akan tetap menjaga Safira. Mengirimkan orang-orang yang bisa mengawasinya dari dekat.

***
Safira baru saja selesai salat Zuhur. Dia berniat untuk duduk di balkon, namun saat akan keluar ia menemukan sebuah amplop yang ditujukan untuknya. Perlahan dia jongkok, dan meraba isi amplop. Tidak direkat, sehingga bisa langsung dibuka. Sebuah kertas tersimpan dalam amplop berhasil dibuka oleh Safira. Ada sembilan kata yang tertulis dalam isi surat.

Cepat pergi dari rumah ini, jika tidak ingin mati!

Dada Safira berdebar. Ada ketakutan yang merayap isi hatinya. Mata Safira menelisik tiap sudut yang ada di balkon. Bahkan memperhatikan dengan detail pot-pot bunga yang berjajar rapi dan bunga rambat yang menjuntai. Tidak ada siapapun. Siapa yang telah menaruh surat ini? Benaknya bertanya. 

Tiba-tiba entah berasal dari mana sumbernya, Safira mencium bau amis. Perut Safira bergolak hebat. Ia tidak tahan dengan bau amis. Ia memuntahkan isi perutnya, meski hanya berisi cairan. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Ia mencari sumber bau amis berasal.

Mungkinkah Sabiru yang melakukan semua ini agar dia segera hengkang. Tetapi, kenapa caranya seperti ini?Akan sangat mudah menuduh pelaku sebagai dalang dibalik semua ini bukan, kalau Sabiru adalah pelaku utamanya?

Dengan jeli Safira mencari sumber bau amis yang muncul, meskipun balkon rumah ini tidak terlalu besar.

"Hiii..." Sabira menjerit ketika matanya melihat  bangkai tikus yang baru mati. Ada ceceran darah ditemukan di dekat pot aglonema. Antara jijik dan takut, Safira bergegas meninggalkan balkon.

Kamar mandi menjadi tempat pelarian Safira, dia memuntahkan kembali isi perutnya yang bergolak karena bangkai tikus yang mengeluarkan isinya serupa jantung ayam. Ketika Safira mengangkat wajahnya, ia melihat penampilannya dari kaca. Kembali ia dikejutkan dengan coretan di cermin berwarna merah. Seperti coretan lipstik. 

Kamu harus mati! Harus mati! Harus mati! 

Wajah Safira memucat. Tubuhnya bergetar karena ketakutan. Rumah ini sudah tidak aman lagi untuknya. Untunglah sebelum ini terjadi, Safira sudah mengamankan surat rumah, kebun di suatu tempat yang aman. Termasuk dengan menyimpan tabungannya. Entah kenapa saat itu, ia tergerak untuk mengamankan aset-aset pemberian ibu mertuanya.

"Siwi tolong jemput aku. Aku merasa tidak aman di sini." Safira segera mengirim pesan pada sahabatnya.

Safira mengambil tas gendongnya. Memasukan barang-barang yang ia anggap berharga. Perlahan ia mengamati keadaan rumah saat turun lewat tangga. Sebenarnya bisa saja menggunakan lift untuk turun ke bawah. Tetapi ia takut di dalam lift lah nyawanya terancam.

Namun baru saja ia turun tangga, terdengar jeritan para pelayan. Bu Kursiti pelayan setianya terjatuh di lantai dengan mulut mengeluarkan busa. Para pelayan mengerubunginya. Safira segera mengambil air yang dicampur garam, agar racun tidak cepat menyebar. Ia tidak yakin kalau usahanya akan berhasil, tapi harus dicoba. Namun Nina menyenggolnya hingga gelas itu tumpah.

"Nina, apa-apaan kamu?!" bentak Safira. Ia tahu kalau Nina melakukannya dengan sengaja.

"Maaf, Bu, tidak sengaja." Gadis itu memasang ekpresi tidak bersalah.

"Bu Kursiti sudah meninggal. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun," ucap Lala sambil mengucapkan kalimat tarji.

Safira mendekati tubuh Bu Kursiti. Meraba pergelangan tangan dan menyentuhkan tangan ke hidungnya. Tidak ada denyut nadi. Bukti bahwa Bu Kursiti telah meninggal dunia. Rasa sedih menelusup ruang hati Sabiru. Wanita ini sangat baik padanya. Paling lama mengabdi di rumah ini.

"Kalian semua tahu kan penyebab Bu Kursiti keracunan?"

"Dia habis makan buah semangka yang ada di meja, Bu. Setelah itu menjerit karena mulutnya terasa terbakar."

"Siapa yang menyiapakan buah semangka ini?" Safira melirik pada ketiga pelayan yang ada di rumah.

"Sa--saya, Bu," jawab Mina dengan wajah pucat. Tangannya telihat bergetar.

"Apakah kamu membubuhkan racun di semangka ini?" selidik Safira.

"Ti--tidak, Bu."

"Lalu siapa? Kamu atau kamu?" Safira melirik Nina dan Lala.

"Demi Allah saya tidak melakukannya, Bu." Lala membantah karena dia tidak melakukannya.

"Nina?"

"Aku sedang di taman, Bu. Saat mendengar suara jeritan baru saya masuk karena penasaran."

Safira menyuruh untuk memanggil sekuriti, tukang kebun dan supirnya pada Lala. Ia akan segera memanggil polisi. Kejadian yang terjadi pada Bu Kursiti terhitung sangat cepat. Pasti jenis racunnya sangat mematikan. Apa mungkin racun tersebut di suntikan ke dalam buah semangka?

Salah satu pelakunya sudah Safira ketahui, tapi ia memilih diam. Karena ia ingin tahu motif apa yang membuat dia mau melakukan perbuatan kejinya. Dia pasti melakukannya tidak sendirian, tapi bekerjasama. Untuk sementara, biar polisi yang bertindak untuk menyelidikinya.

Beberapa menit kemudian polisi datang begitupun dengan Sadewa, entah dari mana laki-laki itu tahu kalau di rumah ini insiden yang mengerikan baru saja terjadi apakah dia pun patut dicurigai? Mengingat teleponnya kemarin yang menanyakan kalau dirinya aman atau tidak?

Semua orang bisa berubah jadi penjahat dalam sekejap jika memiliki kepentingan. Safira harus berhati-hati dengan semua orang. Ia hanya harus percaya pada dirinya sendiri. Tiba-tiba kenangan pahit masa lalu bermunculan dalam ingatan Safira. Sebuah penculikan, gudang gelap, dan ledakan.

"Pak Kirman, tolong periksa CCTV dapur dan semua ruangan di rumah ini," perintah Safira pada sopirnya. []



Takdir Cinta Safira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang