Aku memasuki kamar yang berantakan itu, semua barang pecah belah sudah hancur tidak berbentuk. Semua barang yang seharusnya tersusun rapi di meja malah berserakan di lantai tampak menyedihkan. Di sudut kamar itu aku melihat seorang lelaki yang memeluk kedua lututnya, dia menangis sedih.
"Sava ..." Aku terduduk di hadapannya. "Sava ..." Aku mencoba untuk memegang tangannya tapi belum sempat dia sudah menahanku.
"Kamu lebih baik pulang, Rahayu, aku mau sendiri dulu." Aku tidak mau berkata apa-apa lagi, aku harus mengerti kalau dia sedang terpuruk saat itu.
Setelah kejadian sore itu, malamnya aku memutuskan untuk duduk termenung di balkon depan kamarku ditemani dengan rinai hujan yang sedihnya sangat setia kepadaku. "Aku dengar semuanya, Sava, aku tahu kalau hubungan kita sekarang sudah sangat rumit."
Keesokan harinya badanku sangat lemas, sepertinya aku demam karena kemarin malam aku di balkon bermain-main dengan angin malam. Hal ini menyebabkan aku tidak fokus dengan dosenku juga tidak mood untuk bertemu dengan Tammy dan Farrell. Aku terduduk di taman itu mencoba menenangkan diriku dengan membaca buku sampai seseorang datang mendekatiku, dia Sava.
Dia terduduk di sampingku dan untuk sepesekian menit terjadi kediaman di antara kami. "Kita lebih baik tidak usah ketemu lagi."
Itulah kata-kata yang dia putuskan untuk keluar dari mulutnya. Aku menahan napasku, kenapa masih terasa sakit setelah semalam aku mencoba berlatih untuk mengikhlaskan apabila ada keputusan yang menyedihkan seperti saat ini.
Aku mencoba sekuat tenaga untuk menahan air mataku. "Kalau itu adalah keputusanmu maka akan aku terima mungkin memang sudah seharusnya seperti itu." Tampaknya Sava shock melihat aku menerimanya dengan tenang atau itu hanya perasaanku saja? Kami kembali terdiam atau mungkin lebih tepatnya memikirkan perasaan kami masing-masing.
Aku teringat sesuatu kemudian merogoh tasku dan setelah mendapatkannya, aku mengambil tangan Sava dan memberikan sebuah barang yang sudah seharusnya kembali kepadanya.
"Aku bukan polaris yang kamu cari mungkin di luaran sana kamu akan menemukan cahaya polaris yang lebih pantas untuk menerangi hatimu." Dia meremas kalung itu, iya, aku tahu kalau kita sama-sama terluka. Aku sudah tidak tahan untuk melihat ini semua dan ingin beranjak meninggalkannya.
Tiba-tiba dia memelukku dari belakang dengan berurai air mata. "Kita jangan saling berhubungan lagi, hapus semua chat dari aku dan kalau perlu block semua yang berhubungan dengan aku supaya kita tidak saling mencari lagi. Mari kita tidak saling bertemu lagi sampai aku sanggup datang untuk menemuimu, sampai aku punya keberanian untuk mengenggam tanganmu lagi. Aku mohon bersabarlah sampai hari itu tiba karena cuma kamu Polarisku, Rahayu."
***
"Kalian nggak dengar, ya? Saya tanya apa yang kalian semua lakukan di sini?" Wanita itu kembali memperjelas pertanyaannya dengan nada tegas dan tentu saja masih tidak ada yang berani buka mulut.
"Kalau kalian tidak punya kepentingan untuk tinggal di sini lebih baik kalian kembali ke kamar Sava!"
"Ma!" bantah Sakya.
"Jangan buat ribut di rumah sakit, Sakya. Kalian dengar saya, kan? Cepat kembali ke kamar Sava! Ayo, Sava, kamu harus istirahat." Tidak mencoba untuk membantah lagi dengan berat hati Sakya pergi meninggalkan Rahayu. Sava yang sedari tadi juga duduk di samping Rahayu, berdiri dan berjalan keluar tanpa mengeluarkan suara apapun.
Saat ini tinggallah wanita itu yang melihat Rahayu sendu, dia berjalan gontai mendekati Rahayu. "Apa yang terjadi Rahayu? Tante kenal kamu dan Tante tahu kalau kamu bukan anak yang lemah lalu kenapa kamu sekarang begini?" Tidak ada jawaban, Rahayu masih berada di alam bawah sadarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Singularity (Rosekook)
FanfictionTidak ada yang salah dengan yang namanya cinta hanya saja hukum yang dibuat dunia telah membatasi semuanya. Bahkan rasanya sangat salah hanya dengan melihat dari jauh. Hukum yang ada dan mata dunia yang melihat hina semakin menghina hanya karena ses...