1 - Keinginan El Bersekolah

463 19 0
                                    

Pagi ini sekitar pukul 07.00 WIB, Keluarga Feroz melakukan sarapan seperti hari-hari biasanya. Tiga orang anggota keluarga itu duduk di meja makan dengan hikmat. Di mansion Keluarga Feroz hanya ada Elviro, mama dan papanya serta para maid dan pengawal tentunya. Lantai satu ditempati kamar para maid dan pengawal serta ada meja makan utama dan ruang tamu. Sementara lantai dua digunakan untuk ruang keluarga, ruang baca, dan kamar kedua orang tua El serta dapur bersih. Lantai tiga digunakan untuk kamar El, dan ruang bermain. Di belakang mansion ada kolam renang, lapangan basket dan taman hijau dengan banyak koleksi tanaman bunga milik Calista. Ada juga air terjun buatan dengan kolam ikan di bawahnya dan kicauan burung-burung milik Dhirendra yang membuat suasana mansion semakin tentram. Tidak ketinggalan pohon mangga, alpukat, strawberry, dan pepohonan hijau lainnya yang melengkapi fasilitas mansion Keluarga Feroz.
.
.

Keluarga Feroz merupakan keluarga bisnis yang menaungi bidang properti, baik itu mall, maupun apartemen, dan saat ini sedang merambah ke bidang lain yaitu olahraga, dengan membentuk klub basket yang semuanya tergabung dalam Feroz Group. Dhirendra merupakan pewaris tunggal Keluarga Feroz. Daneswara dan Sarah selaku orang tua Dhirendra sudah meninggal karena kecelakaan pesawat 5 tahun yang lalu. Keluarga dari pihak Calista juga sudah meninggal saat Calista berusia 17 tahun. Calista sejak dulu hidup dengan mandiri, dan karena hal itulah Dhirendra teman SMA-nya menyukai Calista dan berakhir menikah dengannya. Dhirendra merupakan sosok yang tidak kenal ampun, apalagi itu menyangkut keselamatan anaknya.

"Pa, El ingin sekolah umum", pinta El kepada papanya setelah menyelesaikan sarapan di meja makan.

"Apa maksudmu El?", heran Dhirendra kepada anak semata wayangnya. Biasanya bukan permintaan seperti ini yang diucapkan anaknya, melainkan permintaan berupa materi seperti handphone keluaran terbaru, motor sport ataupun sepatu-sepatu mahalnya.

"El ingin sekolah umum pa~", ulang El kembali yang saat ini tanpa ia sadari sedang merengek kepada papanya. Tak lupa ekspresi wajahnya yang menunjukkan dia sedang kesal karena permintaanya tidak langsung diiyakan oleh papanya.

"Apa yang membuatmu menginginkan itu El?", ucap Dhirendra dengan enggan menyebutkan kalimat sekolah umum. Dia hanya masih khawatir akan kejadian 9 tahun lalu yang mengancam keselamatan anaknya.

"El mohon pa, El ingin seperti anak lainnya yang menikmati masa-masa remaja dengan bersekolah. El juga ingin merasakan bertemu teman-teman sebaya El, makan di kantin, melaksanakan upacara bendera setiap hari Senin, dan masih banyak lagi hal-hal lainnya yang ingin El coba pa. Boleh yaa?", jelas El kepada Papanya dengan gurat permohonan di wajahnya dan diakhir kedua telapak tangan yang bersatu menunjukkan sikap permohonan yang sempurna.

"El dengar papa. Papa tidak mau kau kenapa-napa di luar sana, tolong pahamilah. Dan untuk masalah ini papa anggap kamu mengerti maksud papa", jawab Dhirendra kepada anaknya dengan helaan nafas yang memberat sarat akan kekhawatiran terhadap anaknya.

"Sudah sekarang papa akan berangkat ke kantor. Jaga dirimu baik-baik di rumah, jangan melakukan hal-hal yang bisa membuatmu terluka boy, papa tidak suka", lanjut Dhirendra lagi tanda dia tidak ingin membahas masalah sekolah anaknya lebih jauh dan dia mengusap rambut sang anak untuk menyalurkan afeksinya.

"Aku berangkat dulu yaa", ucap Dhirendra kepada Calista sembari memeluknya.

"Hati-hati mas", jawab Calista dengan lambaian tangannya. Calista sejujurnya bingung dengan situasi saat ini. Dia ingin mengabulkan keinginan anaknya untuk sekolah, tetapi ada rasa khawatir juga terhadap keselamatan anaknya. Namun, Dia juga tidak bisa melihat wajah sedih anaknya, Dia terlalu sayang kepada anaknya dan tidak ingin melihat wajah yang biasanya dihiasi senyum kotak dengan mata berbinar itu murung berganti wajah lesu tanpa semangat. Setelah keberangkatan suaminya, Dia mencoba menghibur anaknya.

"Sayang, jangan murung begitu dong, mana senyum kotaknya. Mama ikut sedih kalau El sedih seperti itu", ucap Calista dengan wajah sesedih mungkin agar El luluh kepadanya.

"El ingin melukis di kamar ma, hanya kegiatan seperti itu yang aman menurut Papa di masa muda El", jawab El kemudian ia berjalan menjauh menuju ke kamarnya yang terletak di lantai 3 menggunakan lift. Rencananya ia akan menunjukkan kepada kedua orang tuanya rasa keputus asaannya. Yaa ia yakin, mama papanya akan mengabulkan keinginannya juga kali ini. Dia tidak pernah mendapat penolakan dari mama papanya. Karena kebahagiaan El juga milik mama papanya.
.

Suasana tegang di ruang makan itu belum juga surut, dan hati Calista terasa dihantam ribuan batu atas ucapan kecewa anaknya. Di tengah pikiran dan hatinya yang berkecamuk itu, para maid membuyarkan lamunannya.

"Permisi nyonya, saya izin membereskan semua yang di meja makan untuk di bawa ke dapur", ucap maid dengan sopan.

"Oh, iya bawa saja bi, terimakasih. Saya akan ke kamar El dulu", jawab Calista dengan ramah.

Di depan kamar El, Calista mengetuk pintu kamar anaknya, sambal memanggil namanya.

Tok tok tok.

"El mama boleh masuk?", tanya Calista dari depan kamar El. El pun mendengar suara mamanya, lantas Ia berjalan membukakan pintu kamarnya, lalu melanjutkan lukisannya. Calista juga mengikuti El dari belakang.

"El, kau sedang menggambar burung? Mengapa kaki burung itu terluka?", tanya Calista berusaha mendekati anaknya agar ia tak merasa kesepian dan bisa melupakan kejadian pagi tadi.

"Burung itu terluka ma, padahal ia sudah dijaga oleh pemiliknya untuk tetap di dalam sangkar. Namun ia masih tetap terluka karena ia hanya terbang di dalam sangkar yang tidak seluas dunia luar. Kakinya tergores ranting pohon tempatnya berpijak." Jawab El kemudian suasana hening.

"Ma, El tahu mama dan papa sangat menyayangi El dan tidak membiarkan El terluka. Tapi Ma, tanpa El tahu dunia luar pun, El bisa saja terluka ma seperti burung itu. El hanya ingin merasakan sekolah umum seperti anak lainnya Ma. El harus melakukan apa agar mama dan papa percaya kalau El akan baik-baik saja", jelas El lagi dengan wajah sendunya.

"El, tolong jangan seperti ini nak", ucap Calista sambil memegang tangan El.

"Luka fisik itu bisa diobati ma, ada dokter yang bisa mengobatinya kan? Tapi luka disini ma, bagaimana cara mengobatinya?", tanya El dengan satu tangan memegang dadanya. Tatapan mata El yang dalam dan sayu, membuat Calista terenyuh dan berencana untuk mencoba berbicara kepada Dhirendra, suaminya.

"El, mama gak bisa melihatmu patah semangat seperti itu. Mama sedih jika kau sedih. Mama nanti coba bicarakan masalah sekolahmu lagi kepada papa yaa. Mama hanya bisa mengusahakan, namun keputusannya tetap ada di tangan papamu El", Ucap Calista dengan penuh pengertian kepada El.

"Jadi ayolahama ingin melihat senyum El sekarang", sambung Calista lagi dengan mengusap pipi halus El.

"Ma, apakah Mama serius?, ucap El yang dibalas dengan anggukan oleh Calista disertai senyuman manis di wajah mamanya.

"Terima kasih ma, El sayang mama dan El bersyukur terlahir dari rahim wanita pengertian seperti mama", ucap El, sambil memeluk Calista. Lagi dan lagi El mampu menghipnotis Calista. Bagaimana dia akan menolak permintaan anaknya, sementara anaknya begitu manis tanpa pemanis buatan seperti ini. Hehee

"Iya Sayang, mama juga lebih-lebih menyayangi El. Sudah sekarang El mau mama buatkan kue strawberry kesukaanmu?", tanya Calista kepada anaknya.

"El mau ma, El ingin menonton TV di ruang keluarga sambil menunggu kue buatan mama yaa", jawab El dengan senyuman khasnya dan menunjukkan deretan gigi rapinya.

Lalu mereka berdua beranjak dari kamar El. Dalam hati Calista ia bersyukur mood anaknya sudah membaik tidak seperti tadi pagi dan ingatkan dia untuk berbicara kepada Dhirendra selaku suaminya terkait keinginan El untuk bersekolah Umum.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Halo guys, semoga suka dan bisa menikmati alur ceritanya ya. Jangan lupa vote dan tinggalkan pesan di kolom komentar yaa.

See you soon..

ELVIRO [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang