16 - Marah

188 19 8
                                    

Di kantor Dhirendra gelisah karena memikirkan kondisi El. Setelah kabar El mengurung diri di kamar, Dhirendra langsung berniat untuk pulang saat itu juga. Tapi tiba-tiba sekretarisnya menginfokan bahwa ada kunjungan langsung dari menteri olahraga untuk mengetahui sejauh mana persiapan pertandingan basket besok selaku tuan rumah. Selain itu juga tak lupa memberikan motivasi dan dukungan kepada para pemain karena ajang pertandingan basket besok masuk ke kelas asia dan tentunya club basket Feroz menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia.

Panggilan telepon dari Edo pun berlangsung dan ia hanya mampu menjawab dengan perintah tanpa ada solusi.

"Edo, dengarkan baik-baik. Aku titip El padamu. Saat ini aku belum bisa kesana. Ada pertemuan dengan menteri olahraga untuk membahas acara pertandingan besok. Kau paham maksudku kan?!! Aku tidak bisa lama-lama, intinya pastikan El baik-baik saja. Atau kau tahu sendiri akibatnya!!!"

Tuttt!!! Panggilan telepon terputus secara sepihak tentunya oleh Dhirendra tanpa menunggu jawaban dari Edo.

.
.

Dalam perbincangannya dengan menteri olahraga, ia sebisa mungkin mempertahankan fokusnya. Karena sebagai pemilik club basket, ia harus profesional karena ini membawa nama negara. Nama Indonesia harus diperjuangkan. Sementara untuk kondisi anaknya, saat ini ia hanya bisa berdoa, tanpa bisa memantau melalui hp. Rasa was-was terus menyelimuti hatinya.

"Baiklah mari akhiri acara hari ini. Saya menantikan permainan apik besok malam, lakukan yang terbaik untuk membawa nama harum Indonesia. Terimakasih juga saya sampaikan kepada Bapak Dhirendra selaku pemilik club basket ini yang telah melakukan segala upaya untuk melebarkan sayap basket ke kancah asia. Baiklah, sepertinya saya cukupkan sampai disini saja. Terakhir, saya ingin melihat semangat kalian semua. SIAP JADI JUARA!!!"

"SIAP!!!" balasan dari para pemain dan semua orang yang ada di aula tampak begitu semangat.

"SIAP JADI JUARA!!!"

"SIAP!!!"

.
.

Setelahnya menteri olahraga pun pamit undur diri. Saat ini sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, dan sudah sekitar 4 jam juga ia lewatkan tanpa dapat kabar mengenai kondisi anaknya.

Di mobil, diisi oleh tiga orang. Dhirendra, asisten pribadinya, serta supir. Dhirendra duduk sendiri di belakang dengan gerak-gerik gelisah.

Dhirendra benar-benar tidak bisa menahan dirinya sekarang. Padahal Dhirendra termasuk orang yang tenang dan pemikir ulung tanpa celah.

"Arkkhh!!!!" Ia menarik rambutnya karena merasa kecewa dengan dirinya sendiri.

"Maafkan papa El. Papa tidak bisa mengutamakan mu kali ini". Dhirendra benar-benar dibuat kalang kabut oleh anaknya sendiri.

"Carikan aku cctv mansion sekarang"

Asisten pribadi yang memang sudah tahu akan adanya perintah ini sudah mempersiapkan saat di aula tadi.

"Ini tuan"

*Flashback on

Tanpa berlama-lama lagi ia melihat semua kegiatan El di mansion. Ia bangun tidur lalu menanyakan keberadaan mamanya. Rupanya anaknya ingin makan bersama dirinya di kantor. Lalu menelpon Calista, dan raut wajahnya berubah murung. Kemudian kembali ke kamar. Tunggu, Edo dimana? Bukannya seharusnya ia selalu ada disamping El kapanpun itu, malah tidak terlihat batang hidungnya. Edo kau melakukan kesalahan lagi.

Di kamar, anaknya menangis lagi. Tidak ada suara meraung-meraung. Hanya ada tatapan kecewa di matanya. Lalu ia meremas perutnya. Tidak-tidak, anaknya belum makan bukan dari tadi? Dan apa, mengapa anaknya malah memilih tidur? Jangan, jangan tidur lagi nak. Tangis yang El tahan pun membuatnya sesak nafas sampai akhirnya ia tak sadarkan diri setelah itu.

ELVIRO [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang