Plak...
Satu tamparan keras hinggap dipipi kinara. Gadis malang itu hanya menunduk untuk menyembunyikan air matanya.
"Dasar jalang! "
Jlep.
Jalang, semurahan itukah dia dimata orang tuanya.
"Masih kecil udah jadi jalang! Kalau tau begini saya tidak akan sudi membesarkan dan merawat kanu. Dasar nggak berguna, nggak punya malu! Pembunuh! " teriak bu Mira dengan emosi yg meluap-luap.
"Saya tidak pernah minta dirawat orang seperti anda! Saya tidak pernah meminta ibu pengganti dalam hidup saya! "
BUGH...
Pukulan keras dari ayahnya berhasil membuatnya tersungkur ke lantai yg terasa menusuk tulang.
"Udah mulai kurang ajar kamu ya! " bentak Glen
Kinara menghiraukan makian dari ayahnya. Dia berjalan mendekati kanira, Kinara menatap nanar manik mata kakak tirinya. "Kenapa harus gue yg nanggung dosa lo! "
Kanira terpaku ditempat bersamaan dengan sosok kinara yg sudah menaiki tangga menuju kamar.
Sedangkan kinara, gadis itu membanting pintu dan menguncinya. Kinara menatap kosong keluar jendela dengan genangan air mata yang siap untuk tumpah. Inilah diri kinara yg sesungguhnya, hidup yg sangat menyedihkan, dia selalu di asingkan, dipukul, dimaki dan tidak pernah diberi keadilan.
Kinara terduduk dilantai yg dingin dengan memeluk lututnya. Dia menangis sesenggukan di tengah malam yg hujanya sangat deras. Kinara sangat membenci hujan, karena hujan yg selalu datang membuatnya tidak bisa melihat indahnya bulan dan bintang. Karena hujan dia tidak bisa bercerita dengan abangnya.
Kinara berdiri mendekati laci kecil yg ada dikamarnya. Dia mengambil sesuatu yg ada disana, sebelumnya dia menatap luka goresan yg dia ciptakan dihari- hari lalu. Bahkan luka-luka itu masih basah, tapi kinara selalu menambah dan memperdalamnya hingga luka itu tidak sempat untuk mengering.
Kinara mendorong benda itu agar isinya keluar. Tau itu benda apa? Itu adalah Carter.
Kinara mulai mendekatkan pisau Carter itu dikulit nya yg terdapat banyak bekas luka. Dengan sangat pelan-pelan dia menikmati setiap goresanya. Senyuman lebar tercetak jelas di bibir mungil nan merah itu, kala darah segar mengalir deras dari lengan kirinya.Itu adalah silf Insjury, keadaan seseorang yg tidak bisa membenci siapapun. Hingga akhirnya dia memilih melukai dirinya sendiri.
Kinara melangkah menuju jendela kamarnya, ia menjulurkan tanganya yg berlumuran darah itu agar terkena air hujan. Kinara menikmati setiap rasa sakit dan perih yg dia ciptakan tadi.
"Hujan... Aku iri sama kamu. Kenapa kamu nggak pernah marah, walau dijatuhkan berkali-kali? "
◦•●◉✿ 𝐺𝑅𝑍 ✿◉●•◦
Pak kevin melangkah pelan memasuki kamar Gibran, selepas sholat isya' Gibran lebih dulu berpamitan untuk tidur. Dan benar saja anak itu sudah tertidur dengan posisi memeluk erat bantal gulingnya. Kevin menelisis kamar itu, sakit ataupun tidak kamar itu terlihat sangat rapi dan bersih. Bahkan kamar sebesar ini terlihat sederhana meski dipenuhi barang-barang berharga, terutama Piagam dan mendali yg ia peroleh dari perlombaan.
Pak kevin menuju pintu balkon dan menutup tirai yg belum ditutup. Diluar hujan sangat lebat hingga pintu itu berembun dan angin pun bertiup kencang diluar sana. Seandainya kondisi Gibran tidak sedang sakit mungkin anak itu akan bermain hujan-hujanan.
Hujan dan Gibran, seolah sahabat sejak kecil. Walau hujan sering menyakitinya, tapi Gibran tidak pernah membenci hujan. Padahal hujan adalah sebagian dari traumanya, tapi dia tidak pernah takut, bahkan dia pernah mengatakan kalau hujan adalah pengobatan segala rasa takut, hanya dengan hujan kita bisa melupakan kesedihan dan kemarahan.
Pak kevin terus mengamati wajah Damai anak bontot nya. Kalau saja mereka berhasil membunuh Gibran, mungkin sekarang ini dia tidak bisa menikmati keaktifan anak-anaknya, celotehan dan lelucon dari mereka. Tapi akhir-akhir ini rasa trauma Gibran sedang kambuh jadi dia lebih banyak diam dan kalem.
Pak kevin menaiki kasur besar itu dan berbaring disamping Gibran. Terdengar lenguhan pelan dari bibir regnum milik Gibran.
"Papa." Lirih Gibran dengan suara berat khas bangun tidurnya.
"Apa, hm? " tanya pak kevin dengan memeluk Gibran yg masih memejamkan mata.
Walau Gibran tumbuh menjadi remaja, bagi pak kevin Gibran tetaplah anak nya yg masih kecil dan sangat manja. Pelukan pak kevin adalah pelukan paling nyaman dan merupakan tempat favorit Gibran saat tidur.
Terlihat Gibran tertidur dengan menyembunyikan wajahnya ke dada bidang ayahnya. Tapi disini kevin mulai merasakan kalau suhu tubuh Gibran naik lagi.
"Papa, dingin. " adu Gibran dengan tubuh yg bergetar hebat.
Padahal mereka baru saja pulang dari rumah sakit siang tadi." Bentar ya papa ambil air hangat dulu. "
Dengan cepat Gibran menggelengkan kepala dan langsung melingkarkan tanganya pada tubuh atletis ayahnya.
"Nggak boleh, jangan tinggalin, gib."celoteh Gibran yg menyembunyikan wajahnya di dada bidang nan lebar itu.
"Bentar aja, dek. Nanti papa kesini lagi. "
Gibran menggeleng. " nggak boleh, papa. Mereka bohongin gib, pa. Mereka bilang nggak akan nyakitin gib. Tapi mereka tusuk perut gib. "Adu Gibran dengan menangis.
Dia cukup paham apa yg dimaksud anaknya." mereka nusuk perut gib, pa. Perut gib berdarah. Dada Gibran di injek sama mereka. "
Pak kevin yg mendengarkan itu, memilih mengurungkan niatnya, dia kembali memeluk putranya sampai celotehan itu berhenti dan Gibran kembali tertidur.
"𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘨 𝘣𝘢𝘬𝘢𝘭 𝘨𝘶𝘦 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩𝘪𝘯 𝘙𝘦𝘯, 𝘭𝘰 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳 𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘪𝘯 𝘵𝘳𝘢𝘶𝘮𝘢 𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘨𝘶𝘦. " batin pak kevin dengan mencoba melepaskan diri dari Gibran.
5 menit berkutat didapur akhirnya pak kevin kembali ke kamar Gibran dan dibantu dengan Genta yg membawakan bubur dan air minum untuk Gibran. Pak kevin mendekati Gibran yg masih tertidur dengan meringkuk. Gibran kedinginan padalah sudah mengunakan penghangat ruangan. Bahkan tubuh Gibran basah karena keringat.
Ingin rasanya pak kevin mengajak Gibran kerumah sakit untuk cek up kesehatan tapi anak itu selalu saja menolak. Bahkan keluarga mengadakan cek up kesehatan bulanan Gibran pun selalu kabur dari rumah agar tidak ikut. Pak kevin mengkhawatirkan kesehatan Gibran yg 5 bulan ini sangat menurun.
"Kita bawa kerumah sakit aja mungkin pa, dedek pucet banget. " usul Genta yg sudah duduk di pinggiran kasur Gibran.
Pak kevin menarik nafas panjang. "Kalau dia mau udah lama papa ajak dia. "
Genta memperhatikan wajah pucat adiknya. "Dasar keras kepala. "
***
Hai aq update hari ini☺
Maaf atas segala sesalahan
yg saya perbuat.
Ceritaku terlalu alay ya?
Maaf ya kalo nggak menarik.
Aq bingung😔
KAMU SEDANG MEMBACA
GINARA
Teen Fiction"kalau seandainya Tuhan ngizinin kita hidup lebih lama. Mau nggak terbang bareng gue? " . . . . . "tapi kenapa lo terbang sendiri tanpa ngajak gue, Gib? kenapa? " . . .