"Apa yang kamu keluhkan akhir-akhir ini? " tanya sangat dokter dengan menyuntikkan obat kemoterapi ditubuh seorang remaja laki-laki, yg sudah berbaring di sebuah berangkat.
Remaja itu memejamkan mata kala obat itu berhasil masuk. Walau dia sudah terbiasa dengan rasa sakit suntikan, tapi itu masih menyakitkan untuknya yg jelas-jelas paling membenci rasa sakit.
"Semuanya terasa sakit. " jawab remaja itu dengan datar.
"Yg paling terasa dibagian apa? "Tanya sang dokter dengan tersenyum ramah.
Remaja itu mulai memberitahu bagian-bagian dari tubuhnya yg mulai terasa sakit bahkan bagian dari tubuhnya ada yg memar dan membengkak tanpa sebab.
" nanti kita cek lagi, ya. "
Remaja itu mengangguk.
Ruangan seketika menjadi senyap. Sang dokter merapikan obat-obatan yang sudah digunakan untuk menangani remaja itu.
"Masih datang sendiri? " tanya sangat dokter dengan sedikit melirik remaja itu.
Remaja itu hanya diam dengan tatapan kosong. Dia tidak heran dengan tingkah pasiennya ini, bahkan sudah hampir 7 bulan ini bliau meminta anak itu untuk datang bersama orang tuanya, tapi dia selalu datang sendiri tanta teman ataupun orang lain.
"Apa hubungan kalian tidak baik? " tanya sangat dokter dengan duduk di kursi yg ada disamping berankar.
Remaja itu mengusap air matanya lalu tersenyum sendu. "Hubungan kami sangat baik, bahkan sangat dekat. Hampir setiap waktu kami selalu menghabiskan waktu bersama. "
"Lalu, apa yang membuatmu tidak menceritakan kondisi kesehatanmu saat ini? Ketahuilah nak, banyak hal yg ingin saya bicarakan dengan keluargamu, mengenai kanker mu yg sudah sangat parah ini. "
Remaja itu menunduk dan terdiam.
"Saya anak yang sangat ceroboh dan bodoh. Padahal saya terlahir ditengah-tengah keluarga dokter dan terkenal akan kecerdasan serta lingkungannya, tapi saya malah menderita kanker stadium akhir tanpa sepengetahuan mereka. "
"Ayah mu dokter?" tanya sangat dokter.
Remaja itu mengangguk pelan dengan tersenyum bangga.
"Beri tahu ayahmu. "
Remaja itu kembali menunduk. "Aku takut. " lirih nya.
"Kenapa mesti takut? Jika ayahmu tau bliau akan lebih paham tentang dirimu. "
Sekelebat ingatan kembali berputar di memori remaja itu, layaknya kaset rusak. Dia sudah terlalu banyak menciptakan trauma di kehidupan ayahnya. Bayangan kematian terus menghantui ayahnya setelah kelahirannya. "Banyak trauma yg saya berikan ke ayah saya, hingga saya tidak ingin menceritakan hal ini pada bliau. Bliau cukup menderita saat menyaksikan saya hampir mati berulang kali. " jelas remaja itu dengan menunduk untuk menyembunyikan air matanya.
Sang dokter tersenyum. Tangan kekar milik nya terangkat untuk menggenggam tangan pucat remaja itu.
"Sekarang coba bayangkan, sehancur apa ayahmu kalau suatu hari nanti bliau tau dari orang lain? Bliau akan membenci dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga kamu dengan baik. "
Remaja itu menunduk semakin dalam.
"Renungkan itu, tapi jangan sampai buat tubuh kamu drop lagi. Saya permisi. " ucap sang dokter dengan berdiri dan hendak keluar ruangan.
Namun langkahnya terhenti kala jasnya di tahan oleh seseorang. Sang dokter menoleh dan pandangannya bertemu dengan mata indah milik remaja itu.
"Apa saya bisa sembuh? " pertanyaan itu berhasil membuat Sang dokter merasa kasihan dengan pasien kesayangannya ini. Tidak jarang dia menangisi remaja itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GINARA
Teen Fiction"kalau seandainya Tuhan ngizinin kita hidup lebih lama. Mau nggak terbang bareng gue? " . . . . . "tapi kenapa lo terbang sendiri tanpa ngajak gue, Gib? kenapa? " . . .