Gibran melempar handuk kecil yg ia gunakan untuk mengeringkan rambut ke punggung kursi belajarnya. Gibran berdiri di depan cermin dengan memakai celana selutut tanpa atasan. Gibran menatap dan meraba perut rampungnya yg terdapat beberapa bekas jahitan akibat luka tusuk.
Dia terlalu istimewa di sebut berandal, dan juga cowok yg hobi tawuran. Gibran tidak pernah mengusik dan melukai siapapun, tapi entah mengapa mereka sedang berlomba-lomba untuk membunuhnya. Bukan hanya itu, bahkan hampir setiap malam dia melihat teror bayangan hitam dan juga paketan bangkai hewan bersama bunga mawar putih berlumur darah.
Diluar hujan deras dengan disertai angin kencang, gemuruh terdengar menggelegar dimana-mana. Dan tumben sekali ayahnya belum juga pulang sampai malam seperti ini.
Cklek...
Gibran menoleh saat pintu kamarnya terbuka, dan memperlihatkan wanita cantik dengan baju tidur panjang, tengah berdiri didepan pintu bersama kakaknya.
"Adek, turun yuk, makan. " ajak bu kirana dengan menghampiri putranya yg baru selesai mengeskan salep pada memar yg terus timbul di tubuhnya.
"Mama sama abang duluan aja, gibran belum lapar." jawab gibran dengan duduk di sisi kasur.
"Meski nggak lapar sayang, tetep makan. Nanti mau papa yg maksa? " tanya bu Kirana dengan mendekat kearah putranya.
"Gib sekalian nunggu papa kalau gitu, kasian papa, nanti kalau makan nggak ada temenya. " ujar gibran dengan tersenyum manis. Karina yg mendengar itu ikut tersenyum.
"Habis ngerendem lagi? " tanya bu Kirana dengan menyisir pelan rambut anaknya.
Gibran mengangguk pelan.
"Jangan keseringan ngerendem lama-lama dek, nanti kamu masuk angin." ujar genta dengan berjongkok di hadapan gibran dan menggenggam tangan gibran yg sangat dingin. "Dingin banget tangannya. "
Genta menempelkan punggung tanganya pada dahi Gibran. "Tu kan, demam lagi. "
"Pusing nggak nak? " tanya bu Kirana dengan memeluk tubuh anaknya.
"Genta ambil air hangat dulu. " genta bangkit dan langsung menuju dapur secepat mungkin.
Gibran berbalik dan memeluk erat ibunya. Hangat, ini sangat hangat sekali. Dada gibran semakin terasa sesak, rasa takut mulai menguasainya, Lagi-lagi bayangan hitam itu selalu muncul dengan membawa pisau.
"Kenapa sayang? " tanya bu Kirana dengan mengusap punggung putranya yg bergetar hebat.
"Jangan kemana-mana, ma. Temani gib disini. Gib takut, mereka datang lagi ma, mereka mau bunuh gib. " ricau gibran dengan terus menatap bayangan hitam di balkon kamarnya.
" Mama nggak kemana-mana. Nggak akan ada yg nyakiti gib. Sekarang tidur ya, mama temani. "Ujar Kirana dengan mengajak anaknya berbaring.
Wanita itu tidak menghiraukan ucapan putranya, dia mengira gibran sedang berhalusinasi, tapi bayangan hitam itu benar-benar ada dan hanya menampakkan diri pada gibran yg memang sudah menjadi targetnya malam ini. Tidak henti-hentinya bu karina mengusap buliran bening yg terus mengalir dari kelopak mata indah milik putranya.
Grep.
Gibran memeluk ibunya dengan sangat erat, saat tiba-tiba listrik rumah mereka padam.
"mama, papa dimana? Gib takut. "Lirih gibran dengan terisak.
"Bentar ya, bentar lagi papa pulang. Jangan nangis, ada mama. " bisik bu Kirana supaya anaknya lebih tenang.
Wanita cantik itu meraba-raba atas nakas untuk menjangkau ponsel putranya dan menyalakan lampunya agar tidak begitu gelap. Wanita itu merasa lega saat dia menemukan benda yg dia cari. Walau cahayanya tidak menerangi ruangan seluas kamar putranya, tapi setidaknya ini bisa sedikit membuat putranya merasa tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
GINARA
Teen Fiction"kalau seandainya Tuhan ngizinin kita hidup lebih lama. Mau nggak terbang bareng gue? " . . . . . "tapi kenapa lo terbang sendiri tanpa ngajak gue, Gib? kenapa? " . . .