Sayup-sayup, aku mendengar suara televisi yang sinyal parabolanya jelek karena cuaca. "Baik. Selamat berakhir pekan, para permisa setia channel TV 33 di buletin siang. Saya Ravi J. Jambul mengabarkan bahwa Perdana Menteri Malaysia saat ini tengah didemonstrasi oleh para buruh dan karyawan perseroan. Sosok yang di-Pertuan Agong kini diminta warga untuk membatalkan pembangunan proyek Mall terbesar di Malaysia. Proyek dadakan garapan baru itu nyatanya mempergunakan tanah gusuran dari dua unit usaha pabrik manufaktur bertaraf multinasional. Oleh karena penggusuran paksanya, terjadi PHK besar-besaran. Dan maka itulah, para buruh dan karyawan memprotes."
Aku mendengarkannya. Meskipun kepalaku sakit, aku tetap menyimak. Karena hanya itu yang bisa kuperbuat selain menggerutu dan menyumpah-nyumpah dalam benak alangkah sakitnya gelenyar nyeri di kepalaku.
Mataku terbuka pelan-pelan, dan melandaskan pusat perhatiannya pada televisi LED yang di tempel di dinding bercat putih, yang mana sambungan kabel antenanya acak-acakkan karena tidak digulung dengan baik. Cicak berekor buntung hinggap di sisi atasnya. Layar televisinya menampilkan lautan manusia di depan istana negara, mereka membawa poster-poster kecaman serta banner ujaran kebencian bertagar anti pemerintah. Dipertontonkan oleh si wartawan, prilaku anarkis oleh sejumlah remaja putra pada satu dan dua scene setelahnya. Ban serep karet dibakar, kemudian dijadikan sentral atensi para pendemo. Sang pemimpin demo ialah mahasiswa dengan almamater kampus Malaya. Ia membawa toa bertuliskan 'Properti milik BEM Fakultas Hukum Malaya.' yang ditorehkan oleh tulis tangan spidol permanen. Demonstran-demonstran di sana tampak terbakar gejolak amarah, makanya mereka begitu menggebu-gebu dalam berkerumun dan berusaha menembus pasukan sipil bersenjata. Aku melihat adanya mobil-mobil kepolisian datang dan menyemprotkan gas air mata, memecah masa, dan mensterilkan jalan.
Aku mengerjap. Aku mengalihkan pandang dari televisi di dinding, dan mataku berlabuh pada kondisi jendela. Jendelanya diselot dari dalam. Gorden katunnya tersibak miring ke samping. Kerai bambunya tergulung ke atas. Kaca memperlihatkan buntalan awan mendung di antara cakrawala. Dan segera, hujan turun membasahi kota. Bulir-bulir air menetes dari pipa air di luar sana, merosot sebagai endapan bening di kaca, dan menyamarkan pengamatanku terhadap dunia luar. Tapi aku sempat memergoki adanya gedung pencakar langit dengan stopsol mengkilap—balkonnya banyak, dan ditumbuhi tanaman hias jenis aglonema dan bunga-bunga yang banyak digemari semenjak pandemi covid-19 lainnya, oleh karenanya aku mendunga bangunan itu ialah unit alcove.
Otakku belum bersinergi sepenuhnya dengan tubuhku. Saraf-sarafku tak siap. Aku hanya dapat memerhatikan gerimis pra-badai, sembari merenung mengapa aku terbaring tanpa daya di ranjang pasien. Aku berhasil mengangkat sedikit tanganku. Aku diinfus di tangan kanan. Tapi tangan kiriku juga diplester. Sebagian kulit punggung tanganku membiru, agak bengkak, seperti memar. Pembuluh darahku pecah. Banyak kutemukan noda kecil seperti bekas tusukan jarum. Ini sering terjadi. Kurasa aku mengingat satu dan dua hal. Kadar leukositku tinggi sedari kecil. Kemudian, sialnya, aku selalu masuk UGD karena penyakit lambung kambuhan atau dehidrasi, dan aku sulit diinfus. Darahku kental. Ayahku khawatir ketika aku dimarahi dokter yang merangkap sebagai konsulen—aneh. Aku tahu ayah senantiasa berada di sisi ranjangku di UGD, tapi aku ...
Tidak mengingat wajahnya.
"(Nama)?" Seseorang memanggil dari ambang pintu.
Aku segera menoleh ke samping kanan. Pria itu mengenakan topi, tapi posisinya miring. Ia membawa jeruk mandarin di dalam keresek daur ulang. Dan seketika, karena ia terkejut, ia menjatuhkan kereseknya. Jeruk-jeruknya menggelinding ke segala arah laksana kelereng yang berhambur keluar ketika toplesnya jatuh.
Kalau dipikir-pikir, kurasa aku sangat menyukai jeruk.
Kepalaku terlalu pusing untuk memandang lebih jelas pada wajah si penjenguk. Aku begitu mengantuk, malas, dan membutuhkan istirahat sedikit lebih lama lagi. Sedangkan si pria berkemeja biru berteriak memanggil dokter jaga, aku memejamkan mata. Aku tidak ingin mencerna keadaan pelik. Tidur berada di atas segalanya.
Aku tidur lagi. Mataku terpejam. Tapi aku malah meluncurkan air mata yang menjadikan pipiku lengket-lengket. Aku tak tahu kenapa.
-
Buku ini merupakan perpanjangan Boboiboy x Reader dari buku author yang berjudul 'Boboiboy Oneshoot' chapter 'Abang - Taufan'
Sebenernya yg voting interpol agent banyak. tp interpol agent tergolong chapter baru. kalo diakumulasikan dri awal sampe akhir (termasuk requestan yg masuk ke dm, wall, atau apalah, chapter ini menang 2 suara lebih bnyk dri interpol agent)
YOU ARE READING
Taufan x Reader | You Can Call Me Abang
Fanfiction|Taufan x Reader| Aku hanya pengacara yang ditabrak lari oleh oposisiku di persidangan alot sebelumnya karena aku membela seorang nenek-nenek pencuri ayam secara gratis, dan sialnya aku jadi amnesia sehingga Taufan bisa membodohiku. Aku tidak menger...