- 12

608 103 96
                                    

Taufan tidak marah.

Tidak juga banyak berkomentar. Padahal sebelumnya, Taufan menanya-nanyai aku soal keadaan rumah. Dia hanya membawaku pulang ke rumah manis itu, yang mana ketika aku menapakki kaki di kerikil pada halaman depannya, aku merasa iklim di daerah sini lebih sejuk. Aku tersugesti untuk menghirup napas panjang, dan mengeluarkan karbon dioksida dari paru, lalu menggantikannya dengan oksigen bagus di sini.

Setelah selesai parkir Taufan melengos pergi ke pintu. Dan ia menoleh ke belakang, lalu bicara, "Ayo masuk."

Suaranya merdu, dan berdenging di telingaku. Aku telah berpuasa melihat wajahnya, jadi aku memerhatikannya dulu, dan setelah puas, aku baru merespons.

"Ejojo." Pasca menginjakkan kaki di ubin lantai dalam, aku buka suara. Aku menyebut nama si tua bangka itu, dan berminat ingin mengisahkan dongeng buatanku padanya, soal Ejojo, dan kelakuan-kelakuannya.

"Aku tahu." Taufan mendaratkan telapak tangannya di pundakku. Bajuku tipis. Hanya atasan bebahan satin. Tangan Taufan begitu hangat, dan rasanya kehangatannya menembus pakaian tipisku, lalu tersalurkan ke kulit epidermis pundakku. "Sejak dulu, Mama kamu selalu mendamba menantu dari kursi investor. Andai aku memperoleh satu dari lima kursinya, (Nama). Kurasa Mamamu juga akan menyayangi aku."

Aku menaikkan satu alis, dan menatap Taufan yang mematung di sampingku.

"Kupikir iya." Aku membenarkan.

Kemudian, Taufan mendecak, "Tega sekali Mama kamu, ya. Kamu kan, masih istri aku. Tapi sudah mau dijodoh-jodohkan begitu."

Aku mendongak pada Taufan lagi. Nada bicaranya penuh ketersinggungan. Taufan sesungguhnya marah. Tapi Taufan tak menunjukkannya padaku, dan bersikap sok berlapang dada—baiklah, aku berusaha mengerti meskipun nanti-nantinya dia akan mengatakan kalimat tak enak, karena tak seorang pun senang ketika istrinya direncanakan untuk menikah lagi.

Ekspresi cemberutnya tertinggal di wajah manis itu, dia juga lalu menunduk dan mengecup singkat pipiku.

"Rasanya seperti mimpi." Ujarnya. "Membawa kamu pulang ke rumah."

Aku mengelus bekas ciumannya di pipi. Apa semudah itu dia berbuat demikian? Sebetulnya, Taufan tidak salah. Dia boleh menyentuhku. Dia seratus persen halal dipegang-pegang. Tapi aku merasa asing. Aku sadar, sebelum amnesia, rumah tangga ini begitu kaku, dan dikendalikan sepihak olehku. Aku tak banyak berkontak fisik dengan Taufan selain ketika aku menamparnya, atau mendorongnya menjauh dari sisi ranjangku.

Tidak bisa dipungkiri, rasanya disayangi itu nyaman sekali. Maksudnya oleh Taufan, bukan Ejojo. Aku memutuskan pulang kemari karena timbangan keadilanku lebih berat kepada piringan rasa ilfeeel tiap aku melihat bagaimana cara Ejojo menatapku—meskipun menikahinya berarti aku akan hidup bergelimang pundi-pundi uang dari investasi proyek paling menjanjikan seAsia.

"(Nama)?" Taufan memanggil kala aku melamun terlalu lama. "Kamu masih marah. Maafin aku."

Wajahnya agak tertunduk. Bibirnya menipis.

"Kamu salah apa, memangnya?" Aku melongo. Dia hanya minta maaf. Minta maaf, mempersalahkan dirinya sendiri, dan berharap egoku turun.

Tanganku menjulur ke atas, aku meraih kepalanya, lalu mengelusnya pelan. Aku menduga, Taufan rajin keramas, soalnya rambutnya seperti helai gulali pink di pasar malam; lembut, halus, dan terurai.

Dia sungguh manis sehingga ketika aku terpikirkan soal omongan Solar, seketika aku mengesampingkan praduga-praduga liarnya. Ayuyu dan Solar berkomplot? Karena Ayuyu dendam kesumat akan terpenjaranya si ayah sebagai terdakwa korupsi? Enggak! Taufan orangnya manis sekali. Dia terlalu manis untuk membunuh.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now