Aku mulai menyapu. Rasanya nggak enak tidur-tiduran melulu. Apalagi kalau haid, aku pengen berolahraga sedikit—tapi nggak sampai burnout.
Aku menyapu kamarku sendiri. Keadaannya mulai berdebu, karena jendelanya selalu dibuka dan pada dasarnya, rumah ini berada di pinggir jalan besar. Meskipun hanya jalan komplek perumahan, tapi kalau sore, barisan mobil-mobil super sering melintas menuju area pantai buatan dengan posisi atapnya dibuka. Dan pagi harinya, jalanannya akan ramai dilewati mobil-mobil tetangga karena ini tatar paling depan; tatar paling dekat pada gapura keluar.
Debu dari jalanan seringkali merangsek masuk dan mengotori teras. Lagian, problemnya tinggal di pusat kota itu-itu saja.
Untuk menggapai kolong ruangan, aku mesti bersujud dan menoleh ke dalam sana. Karena gelap, aku menggapai ponselku di nakas, dan menyalakan senter. Menggunakan sapu, aku menarik keluar sebelah sandal jepit entah milik siapa, bekas kulit jeruk yang telah sepenuhnya membusuk, kancing kemeja, bungkus makanan kemasan, dan amplop aneh dengan perekat sudah ditempeli helai rambut, debu-debuan, serta sobekan kertas origami. Aku membolak-balikkan amplopnya, berusaha mencari kop surat atau setidaknya, nama sang pengirim.
Setelah dirasa suratnya bersifat tidak resmi, dan sudah kusut, aku menarik keluar dua kertas yang saling dihekter di dalamnya. Kertas pertama berupa selembar foto hitam-putih. Awalnya kukira begitu. Namun setelah disidik-sidik lagi, aku sadar itu hasil USG. Di dalam sana, tertulis detail-detail mengenai panjang fontanel, detak jantung bayinya, dan siluet dari bayinya. Aku lantas bertanya-tanya, milik siapa hasil USGnya?
Tercantum angka perkiraan hari lahir dan usia gestasi di lembar cetaknya. Kertas kedua keadaannya cukup mengenaskan; kertasnya kebasahan, dan tintanya luntur. Padahal bagian lunturnya menunjukkan nama instansi kesehatan yang menerbitkan hasil USG ini, profil biofisik, beserta nama dokter obgyn-nya. Si dokter melingkari opsi oligohidramnion pada checklist pemeriksaannya dan meresepkan suplemen tablet tambah darah, asam folat, dan antibiotik.
Taufan perlu menjelaskan. Apa dia punya istri dan istrinya hamil? Kenapa foto USGnya ada di kamarku?
Setelah mengamankan amplopnya di meja tulis, aku menyelesaikan aktivitas bersih-bersih ini, dan berbaring di kasur. Aku mengecek jam di layar ponsel. Sebentar lagi, Taufan pulang. Aku tidak punya kegiatan lain selain menunggu kepulangannya. Aku tidak kenal siapapun di sini kecuali Kikita dan Ayuyu. Aku tidak bekerja, aku pengangguran total. Aku tak punya banyak kenalan. Aku sendirian. Makanya aku kurang kerjaan.
Di minggu kedua pasca koma, aku berniat ingin meminta izin bekerja pada Taufan. Padahal dalam lubuk hati wanita yang tubuhnya aku kendalikan ini—(Nama) di masa lalu, dengan segala konsep pemikirannya—mengatakan bahwasanya aku tidak butuh izin siapapun. Termasuk Taufan.
Dalam logikaku, aku punya dua suara. Suara hatiku sendiri, yaitu suara yang terbentuk dari kepribadianku kini, selalu bisa aku tafsirkan. Namun ada suara lain; itu suaraku, tapi versi lain. Aku nggak tahu kenapa aku punya standar ganda dan penilaian berbeda. Aku sewaktu sebelum koma, dan aku setelah koma, memiliki pertentangan argumen dan gagasan hidup.
Diriku sesudah koma selalu merasa, aku sewaktu sebelum koma berpemikiran terlalu jahat.
Ketika aku melihat Taufan, aku dilingkupi oleh dua perasaan. Secara sederhana, aku menyukai betapa manisnya lesung pipi yang terbentuk di wajah Taufan ketika ia menyengir. Tapi ada perasaan lainnya di dalam kepalaku, perasaan itu mengindikasikan kebencian, dan kemarahan. Saat aku bertengkar dengan diri sendiri, sebelum akhirnya aku versi kini menjalankan peran sebagai hakim—tentu saja, aku-sesudah-koma ialah otoritas dominan di otak—berkeputusan untuk mengabaikan suara penuh kebencian milik (Nama) di masa lalu.
Kurasa tak hanya Taufan. (Nama) di masa lalu benci menyapu, memasak, menunggu kepulangan Taufan, segala mengenai Taufan, Taufan itu sendiri, tetangga tukang gosip, sayuran, dan benci tak berbuat apapun. Wanita pembenci ini bermulut pedas—perlu kukatakan, aku berkali-kali membendung ucapan spontan dari mulutku karena aku tahu sopan santun—membenci banyak hal. Ada satu benda yang kutahu sangat dia cintai. Sup miso.
YOU ARE READING
Taufan x Reader | You Can Call Me Abang
Fanfiction|Taufan x Reader| Aku hanya pengacara yang ditabrak lari oleh oposisiku di persidangan alot sebelumnya karena aku membela seorang nenek-nenek pencuri ayam secara gratis, dan sialnya aku jadi amnesia sehingga Taufan bisa membodohiku. Aku tidak menger...